Bola.com, Jakarta - Semua berawal dari sebuah kalimat bahasa jawa Bapa-bapa, ibu-ibu, lare-lare, aku bungah ditampa neng kene (Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak, saya senang bisa diterima di sini). Itu terlontar dari mulut Bambang Iswanto Adna.
Bagi orang awam yang berusaha menggambarkan sosoknya kemungkinan besar mereka akan menyimpulkan pria itu sebagai seorang yang berasal dari etnis Jawa. Namun ternyata persepsi mereka bisa jadi salah besar! Meski memiliki nama yang "Jawa banget" Iswanto memiliki paspor Suriname. Kehadirannya di gedung Kemenpora, Senayan, Selasa (14/4/2015) pagi WIB bermaksud mengeratkan jalinan persahabatan antara Indonesia dengan Suriname.
Menurut Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia Imam Nahrawi Indonesia akan membantu Suriname dalam bidang olahraga dan pemuda. Bantuan tersebut bisa berupa pengiriman pelatih olahraga khususnya bulutangkis dan silat serta dari sektor budaya mengirim perwakilan untuk memperkenalkan budaya Indonesia di sana. Akan tetapi, saat ditanya lebih jauh persiapan yang akan ditempuh, politisi PKB itu belum bisa memberikan gambaran.
"Tadi kami sudah melakukan Memorandum of Understanding (MoU) untuk kerja sama di berbagai bidang olahraga dan pemuda. Selain itu, kami juga akan mengirim dalang kecil untuk lebih mengenalkan budaya Indonesia di Suriname. Belum ada persiapan secara khusus karena mari kita fokus kepada penguatan tali silaturahmi sesama saudara," papar Imam.
Maraknya penggunaan bahasa Jawa di Suriname memang bukan hal yang aneh lagi. Menurut Iswanto yang ditemui Bola.com di sela-sela welcome dinner yang dihelat malam hari pasca penandatanganan MoU, anak-anak Suriname yang bermain sepak bola atau beraktivitas lainnya kerap kali berinteraksi menggunakan bahasa Jawa.
Sejarah Indonesia-Suriname
Semua bisa ditarik ke tahun 1890, kala itu kolonial Hindia-Belanda kesulitan memenuhi tenaga kerja di negara-negara jajahannya. Lantas mereka mengirim orang-orang Jawa ke Suriname untuk bekerja di sektor perkebunan dan pertanian. Saat artikel ini ditulis, ada sekitar 70 ribu warga atau 15 persen dari total warga negara Suriname yang memiliki keturunan Jawa. Sisi keindonesiaan ini tak hanya ditemukan di pinggir jalan tetapi banyak juga menteri kabinet Suriname yang memang orang Jawa.
Dalam sebuah kerja sama tentu harus menguntungkan dua pihak yang terlibat, tapi nyatanya perjanjian antara Indonesia-Suriname bakal lebih menguntungkan pihak kedua. Bila menilik dua peringkat negara di tabel klasemen FIFA, Indonesia yang menempati posisi 159 unggul 10 tempat dari negara yang baru merdeka di tahun 1975 tersebut. Pun halnya dengan bulu tangkis, Indonesia lebih unggul dari Suriname karena masih bisa menyumbangkan atlet-atlet tanah air di berbagai nomor.
Posisi siapa negara pembantu dan siapa negara yang dibantu semakin terlihat ketika Ismanto mengunjungi pelatnas bulu tangkis Indonesia. Menurut pria berusia 52 tahun itu, tingkat ketertarikan para pemuda-pemudi Suriname untuk menyeriusi dunia olahraga tidak diikuti oleh jumlah pelatih yang berkualitas. Kini mereka sedang mengusahaakan atlet tunggal putranya bernama Virgil Soeroredjo yang sedang berlatih di Belanda, untuk bisa lolos ke Olimpiade 2016 Rio de Janeiro.
"Kami masih kekurangan sarana dan prasarana bulu tangkis di sana. Kami ingin seperti di sini, yang punya lebih banyak pemain, pelatih, dan tim yang solid. Apa yang ada di sini adalah sebuah konsep yang bagus. Kami sedang mencoba melakukan hal yang sama di Suriname."
"Di Suriname, bulu tangkis terpusat di kota utama, Paramaribo. Ada delapan klub bulu tangkis di sana, tetapi baik pelatih maupun pemain masih bersifat volunteer. Bulu tangkis adalah salah satu olahraga yang paling cepat berkembang, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan,"ucapnya seperti dilansir Kompas.
Memang MoU yang sudah disepakati tidak sekedar perjanjian bekerja sama tetapi mengingat dua negara ini adalah saudara membantu tanpa mengharapkan pamrih memang bukan hal yang tabu. Bila berkaca dari pernyataan di atas, lebih condong Suriname akan mengirimkan atlet-atletnya ke tanah air. Namun jangan sampai Indonesia membantu atlet-atlet Suriname berprestasi di kancah internasional sedangkan atlet kita leha-leha.
Masih segar dalam ingatan kita nama Carolina Marin. Atlet asal bulu tangkis itu sempat "numpang" latihan di pelatnas Cipayung di tahun 2013 dan ternyata dia menuai medali emas Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2014. Sementara Indonesia? Bisa dibilang prestasi negara ini tak semengilap Marin. Bisa dibilang di situ Indonesia kecolongan, dengan tempat yang sama, fasilitas yang sama tapi output yang keluar berbeda. Semoga saja tak ada lagi "Carolina Marin-Carolina Marin" berikutnya dari Suriname.
Jika itu terjadi, Indonesia hanya bisa gigit jari (lagi)