Bola.com, Tangerang - Ismail Marzuki melangkah tegap menuju ke titik lapangan tengah. Fokusnya sudah 100 persen, namun saat dia sedang berjalan tidak terdengar soundtrack fair play yang biasa mengiringi telinganya saat memimpin pertandingan resmi.
Dia sempat keheranan karena hanya ada komentar menggebu-gebu ala penyiar TVRI zaman 70-an yang keluar dari seorang bapak tua yang menuntaskan tugasnya pasca menyeruput kopi dan sebuah rokok di sela-sela tangan kirinya.
Saudara-saudara! Sekarang kita melihat wasit dan dua kesebelasan sudah siap bertanding.
Mari kita tunggu aksi-aksi para bintang ISL dalam turnamen antar kampung Bina Jaya Cup 2015.
Di Panser FC ada Achmad Jufriyanto yang memperkuat Persib Bandung ditemani Leonard Tupamahu yang membela Barito Putera.
Sedangkan lawannya adalah BBC FC memang tidak diperkuat pemain level profesional tapi mereka siap untuk menghibur anda semua.
Kata-kata tersebut sempat membuat Ismail tertegun tapi ada baiknya jika kita berkenalan terlebih dulu dengan Ismail Marzuki. Umurnya 40 tahun dan dia adalah seorang wasit berkelas nasional yang biasanya memimpin laga Divisi Utama dalam sebuah laga profesional.
Sekarang? Dia harus berada di tengah-tengah lapangan yang memiliki kondisi sangat buruk. Lubang yang membuat "wajah" lapangan kian tak elok ada di sana-sini. Umpatan dari penonton menyebutnya bodoh, tak becus dan bego yang hilang ditelan udara karena begitu jauh jaraknya antara wasit dan suporter di stadion kini terdengar jelas di telinganya.
Hanya ada jarak kurang lebih 50 meter antara Ismail dengan orang-orang yang siap melumatnya. Di satu sisi, Ismail merasa miris karena "kegagahannya" sebagai wasit anjlok drastis. Seolah lima tahun yang dihabiskannya untuk mendapatkan lisensi wasit nasional menguap begitu saja.
"Memang ada perasaan seperti itu. Apalagi untuk mendapatkan lisensi wasit nasional seleksinya ketat sekali dan tidak semua orang bisa sampai ke level ini. Setiap tingkat, calon para wasit dituntut untuk menghafal Laws of The Game, harus bisa mengambil keputusan di tengah tekanan dan juga harus punya stamina bagus," mulai Ismail yang memiliki gelar Sarjana Pendidikan Olahraga itu kepada Bola.com.
"Kalau ada satu kriteria yang tak dipunyai calon wasit tersebut, maka dia bakal sulit untuk naik tingkat. Belum lagi, regenerasi wasit di Indonesia juga tidak sekencang pemain bola. Jarang ada orang yang benar-benar berniat untuk menjadi wasit. Biasanya yang masuk ke dunia ini awalnya mau menjadii pemain atau pelatih tapi berhubung persaingan ketat, mereka akhirnya nyemplung ke sini.
Turunnya sanksi dari FIFA terhadap Indonesia beberapa waktu lalu memberikan bukti bahwa masa depan persepakbolaan Indonesia tidak jelas ke depannya. Dampaknya, para pemain pun menganggur dari kegiatan pertandingan resmi. Bahkan tak sedikit para pemain dan wasit profesional mengikuti laga tarkam sebagai penyambung hidup.
"Mau bagaimana lagi, kondisi sepak bola nasional berhenti tapi kan kehidupan harus tetap berjalan dan itu membutuhkan biaya. Berhentinya kompetisi sepak bola nasional berhenti memberikan dampak sangat luar biasa kepada seluruh pihak yang terlibat. Tak hanya pemain, semua perangkat olahraga termasuk wasit juga ikut kena imbasnya."
"Ini terasa sekali, soalnya ada pendapatan yang hilang. Di Divisi Utama wasit yang bertugas di tengah bisa Rp. 2,5 juta per pertandingan sedangkan untuk asisten wasit Rp. 1,5 juta. Saat bertugas di tarkam dan karena hanya dibayar menggunakan patungan dari warga setempat untuk tiga orang wasit dibayar Rp. 750 ribu. Lumayan buat tambah-tambah pemasukan," tutup Ismail.
Baca Juga:
Tibo-Jupe Bermain Tarkam di Ciputat Diiringi Musik Dangdut