Bola.com, Jakarta Hingga akhir Juli ini, sepak bola Indonesia bisa dinilai mengalami masa kelam. Bermula dari SK 01307/2015 mengenai pembekuan yang diterbitkan oleh Menpora kepada Federasi Sepak Bola di Indonesia (PSSI) per tanggal 17 April 2015, sepak bola Tanah Air dalam situasi tak pasti.
Dengan SK itu, Menpora tidak mengakui La Nyalla Mattalitti sebagai Ketua Umum (Ketum) PSSI yang dipilih dalam kongres pada tanggal 18 April 2015. Tidak berhenti disitu saja, Menpora juga tidak mengakui kegiatan sepak bola Indonesia di bawah PSSI pimpinan La Nyalla.
Dengan begitu, Indonesia Super League (ISL) 2015 terpaksa dihentikan dan kompetisi Divisi Utama serta kelompok usia batal diputar. Lebih miris lagi, SK pembekuan yang diterbitkan Menpora itu dianggap sebagai campur tangan pemerintah terhadap kedaulatan PSSI sehingga FIFA menjatuhkan sanksi terhadap PSSI. Akibat palin kentara dari sanksi FIFA itu, Timnas Indonesia di semua level tidak dapat mengikuti event-event internasional sampai batas waktu yang belum ditentukan.
PSSI lantas melayangkan gugatan terhadap Menpora yang dinilai mematikan kegiatan sepak bola Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada sidang 14 Juli 2015, PTUN Jakarta memenangkan gugatan itu. Artinya, Menpora diminta untuk mencabut SK pembekuan yang dikeluarkan.
Atas dasar itu, PSSI melalui Komite Eksekutif (Exco) dan Sekjennya meminta PT Liga Indonesia (PT LI) untuk menjalankan kembali ISL 2015 dan Divisi Utama Liga Indonesia, meski Menpora dipastikan melakukan banding atas keputusan PTUN tersebut.
Karut-marut inilah yang membuat sepak bola Indonesia saat ini seolah mati suri. Tak ada kompetisi domestik reguler, hanya ada pertandingan antarkampung, membuat pelaku serta pencinta sepak bola di Tanah Air jadi korban.
Para pemain, pelatih, dan official klub nasibnya penuh ketidakpastian. Banyak pelaku sepak bola yang diputus kontrak dan tunggakan gajinya belum dibayarkan oleh klub. Sementara di luar lingkungan pelaku sepak bola aktif, ada pula mereka yang berprofesi sebagai pedagang, ikut mendapat pukulan berat atas suramnya sepak bola nasional saat ini.
Tak diragukan lagi, pedagang pernik-pernik sepak bola seperti kaos, kostum, hingga syal mengalami penurunan omset secara signifikan. Kondisi itu membuat pedagang yang menggantungkan nasibnya di sepak bola nasional, hanya sesekali menikmati rezeki. Buat mereka, kesempatan mengais rezeki lebih banyak kini jarang diperoleh. Maka, kala dihelat pertandingan ekshibisi semacam kedatangan AS Roma di Jakarta lalu dan menggelar pertandingan di SUGBK, Sabtu (25/7/2015), mereka begitu memanfaatkan momen itu.
Salah satu pedagang yang dijumpai Bola.com bernama Hertoni asal Bandung. Pria berumur 37 tahun tersebut sudah menggantungkan nasibnya di sepak bola Tanah Air, dengan memperdagangkan jersey klub-klub sepak bola di Indonesia yang sedang bertanding di ajang ISL 2015.
"Saya biasanya keliling ke kota seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang untuk menjual jersey ketika ada pertandingan ISL. Saya juga sering menjual jersey Timnas Indonesia ketika bertanding," ungkap pria yang sudah jadi pedagang sejak 12 tahun tersebut, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (26/7/2015).
Sejak kompetisi di Indonesia terhenti, Hertoni hanya menjual jersey klub tertentu yang menggelar pertandingan ekshibisi di Indonesia. Selain itu, ia juga mengalihkan fokus jualan jerseynya ke klub-klub Eropa, bukan lagi kostum tim lokal.
"Semenjak kompetisi terhenti, dagangan saya menjadi semrawut. Ketika ada pertandingan tertentu saja, saya baru berdagang dan menjual jersey klub yang bertanding tersebut, seperti ketika AS Roma datang," ujar pria yang biasa menjual jersey dengan harga 50 ribu rupiah tersebut
Akibatnya, Hertoni mengaku omsetnya menurun hingga 9 juta rupiah per minggu dari kondisi biasa ketika kompetisi di Indonesia berjalan. "Biasanya saya mengantungi omset sebesar 30 juta rupiah per minggu. Namun sejak kompetisi terhenti, saya hanya mendapatkan 21 juta rupiah per minggunya," lanjutnya.
Hal yang sama diutarakan, Samsul yang berjualan syal klub-klub sepak bola Tanah Air. Ia mengaku sejak kompetisi di Indonesia terhenti, syal yang dijualnya hanya menjadi pajangan kamar saja.
"Saya biasanya menjual syal ketika ada pertandingan, baik kompetisi ISL 2015 dan Timnas Indonesia ketika bertanding. Namun, kompetisi sepak bola di Indonesia terhenti dan Timnas Indonesia tidak bisa bertanding saya mengalami rugi yang sangat besar," ungkap Samsul, yang menjual syalnya dengan kisaran harga 15-25 ribu rupiah.
Selain itu, Samsul mengungkapkan, omset penjualan syalnya mengalami penurunan sejak kompetisi di Indonesia terhenti dan tidak adanya pertandingan yang dijalani Timnas Indonesia. Untuk itu, Samsul mensiasati dagangannya dengan menjual syal yang melibatkan pertandingan tertentu dari sebuah klub, seperti AS Roma, yang melakukan pertandingan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
"Omset jelas menurun drastis. Biasanya sehari mendapat 2 juta rupiah ketika ada kompetisi dan pertandingan timnas. Kini hanya mendapatkan 500 ribu rupiah. Tapi, saat AS Roma datang dan bertanding, saya bisa mencapai keuntungan sampai 1,5 juta rupiah," ungkap pria berumur 29 tahun tersebut.
Kisah Samsul dan Hertoni itu mungkin bisa mewakili kaum pedagang lain yang selama ini mendapatkan rezeki dari sepak bola nasional. Selain penjual pernik-pernik sepak bola, para pedagang makanan yang biasa menjajakan makanan dan minuman di stadion dipastikan juga terdampak.
Semoga cerita nasib yang terkantung-kantung dari pemain, pelatih sampai pedagang bisa menggugah hati para petinggi di Tanah Air untuk mengakhiri masa kelam sepak bola Indonesia. Seluruh pelaku sepak bola dan masyarakat Indonesia tak bosan menunggu untuk kemajuan sepak bola Tanah Air. Tidak ada kata terlambat demi kemajuan sepak bola di negeri ini.
Baca Juga :
Bawa Totti-Nainggolan, Ini Dia Skuat AS Roma ke Indonesia
Garcia: "Pertandingan Tidak Resmi di Indonesia Tak Masalah"
Bagaimana Bisa Julie Estelle dan Julia Perez Jadi Pelatih Roma?