“I Love You”, Kata Sakti Pep Guardiola

oleh Bola diperbarui 30 Jul 2015, 13:53 WIB
Kolom: Angryanto Rachdyatmaka

Oleh: Angryanto Rachdyatmaka
Penulis adalah pengamat olahraga, tinggal di Jakarta

Bola.com, Jakarta - Frasa “cintailah musuhmu" mungkin adalah kata-kata paling absurd yang pernah kita dengar. Akan tetapi, ternyata, banyak keajaiban terjadi justru ketika seseorang membuang jauh-jauh perasaan benci dari dirinya.

Advertisement

Apakah Anda pernah merasa galau karena dicemberutin buah hati saat pulang setelah bekerja seharian? Jika jawabannya adalah "Ya", Anda tidak sendirian. Kegalauan menjadi konsekuensi yang dialami banyak orang tua ketika "terpaksa" memutuskan meninggalkan rumah karena tuntutan pekerjaan, kebutuhan ekonomi, atau eksistensi modernitas.

Saya, misalnya, kerap termangu-mangu karena Pho, anak saya yang baru beranjak 9 bulan, melengos ketika saya pulang kerja. Si Kecil lebih suka menyosong Ibunya – atau mendekap erat baby sitter-nya.

“Makanya jangan langsung duduk di teras,” ujar istri saya lembut. “Cobalah ajak bercanda, tersenyum. Habiskan waktu sebanyak mungkin dengan Pho,” lanjutnya.

Ajaib! Baby Pho perlahan mulai mau berceloteh riang tiap kali saya menjejakkan kaki di pintu rumah. Kebetulan jam kerja di bulan Ramadhan memungkinkan saya berangkat dan pulang lebih cepat. Mengganti ritual bersantai di teras dengan bersendau gurau bersama buah hati.

Giliran istri saya yang cemberut, karena anak semata wayang kami kini justru lebih suka tertawa-tawa dengan saya. Hanya berpaling pada Ibunya jika mencari ASI eksklusifnya.

Sentuhlah seseorang dengan perhatian, maka tidak terlalu sulit untuk mengharapkan datangnya perubahan, atau bahkan keajaiban, persis seperti yang dilakukan oleh pelatih Bayern Muenchen, Pep Guardiola.

"I LOVE YOU"
Pep Guardiola pantas disebut keajaiban sepakbola. Di bawah asuhannya selama empat musim, Barcelona meraih 14 piala, termasuk 3 gelar La Liga dan 2 gelar Liga Champions. Sempat diragukan bakal bisa tetap berjaya di Allianz Arena, Pep telah membawa Bayern Munchen meraih lima trofi. 

Dalam sebuah acara amal yang digelar belum lama ini di Barcelona, Pep mengurai rahasianya bak seorang filsuf, “Semua yang saya lakukan dalam hidup ini adalah untuk dicintai. Saya tidak berambisi menang dan juara. Seorang ahli pendidikan pernah menulis, anak-anak tidak mau belajar jika dia tidak punya empati dengan gurunya. Saya hanya berusaha mempraktekkan hal itu dalam pekerjaan saya.”
Empati. Itulah ternyata rahasia terbesar Pep.

Dalam buku Pep Confidential: Inside Guardiola's First Season at Bayern Munich, Marti Perarnau mengulas bagaimana cara pelatih kelahiran Santpedor, Spanyol itu memenangkan hati para pemainnya. 

Pertama-tama komunikasi. Enam bulan sebelum menjejakkan kaki di Allianz Arena, Pep mengambil kursus bahasa Jerman. Bukan hanya langsung bisa berbahasa Jerman dalam press conference pertamanya, namun juga lebih bisa memahami dan dipahami oleh timnya.

Lalu, memastikan sang pemain merasa dihargai. Dalam sebuah rekaman sesi latihan, Pep kedapatan secara spontan dan lantang tanpa malu-malu berteriak “Yes! Yes! Yes! Badstuber, I love you!”

Pada lain waktu, Pep memeluk kapten Phillip Lahm usai pertandingan sambil berujar lugas, “Phillip, I love you. Thank you for great performance today.”

Ketika komunikasi verbal dianggap tidak cukup, Pep melengkapinya dengan bahasa tubuh. Memeluk, menepuk pundak, mencium untuk memastikan para pemain merasa dimengerti, dihargai, dicintai.

Bagi Pep, ekspresi emosi itu tak ada hubungannya dengan manajemen kepemimpinan atau kultur wibawa pelatih-pemain. Melulu dia lakukan untuk memberi sekaligus mendapatkan cinta dari timnya. Empati yang tak jarang juga menguras air mata dan keseluruhan enerjinya.

“Ketika Ayahku divonis kanker ganas, Pep menelpon dan ikut menangis bersama,” kisah Pierre-Emile Hojbjerg, pemain muda Bayern. “Dia mengatakan bahwa orang yang sangat dekat dan sangat kita cintai adalah yang terpenting dan harus diutamakan meski dengan mengorbankan pekerjaan.“

Cinta Pep tidak buta. Ketika Pierre-Emile Hojbjerg memaksa segera dimasukkan ke dalam skuad utama Bayern karena merasa berbakat dan banyak dipuji media, Pep bergeming. Saat pemain berumur 19 tahun itu ngambek dan minta dipinjamkan ke FC Augsburg, Pep mengabulkan permintaan itu tetapi memintanya segera kembali ke Allianz Arena jika saatnya sudah tepat.

“Pemain kesal dan marah karena merasa tidak dihargai, bukan karena tidak dimainkan,” kata Pep. “Ada pemain top mandul dalam beberapa partai, saya ajak ke kafe untuk bicara banyak hal di luar sepakbola. Esoknya dia mencetak 2 dari 4 gol tim. Dia merasa spesial dan dicintai sehingga tampil menggila," lanjut Pep.

Pep mungkin memang benar adalah pelatih hebat dan jenius sebagai modal utama untuk memburu gelar demi gelar yang telah dikoleksinya. Tapi, yang pasti, dia adalah sesosok manusia yang pandai memenangkan hati orang-orang terdekatnya – yang dengan senang hati mengeluarkan kemampuan terbaik mereka karena merasa didengarkan, dimengerti, dicintai.

Tiba-tiba saya teringat pada Pho, our little angel. Di dalam hati, saya berbisik untuk lebih banyak memberinya waktu, senyum dan hati. Janji sederhana yang sesungguhnya bisa kita arahkan kepada siapa saja untuk memenangkan hati dan cinta orang-orang di sekitar kita, menanamkan damai, mengubur benci dan permusuhan...