Tukang Ojek, Resista, dan Indonesia

oleh Bola diperbarui 01 Agu 2015, 20:32 WIB
Beberapa pemain Liga Super Indonesia seperti Leonard Tupamahu, Titus Bonay, Aditya Harlan, Syahroni dan Achmad Jufriyanto bermain sepak bola tarkam di lapangan sepak bola Latus, Kedaung Tangerang Selatan. (Bola.com/Peksi Cahyo)

untuk Bapak-bapak tak bernama dan untuk Ibu Resista....


Jakarta, Bola.com
- Suatu hari saya mengalami kecelakaan lalu lintas di Jembatan Semanggi, Jakarta. Saat itu, saya mengendari sepeda motor dari arah Jakarta Barat.

Advertisement

Kecelakaan itu cukup parah, tetapi saya tak sampai kehilangan kesadaran. Saya masih ingat, bagaimana seorang pengemudi sepeda motor meluncur hendak masuk jalur busway, tetapi tiba-tiba mengerem dan membanting setir ke kiri untuk kembali masuk jalur reguler.

Ban belakang sepeda motor orang itu mengenai ban depan sepeda motor saya. Saya jatuh dan berusaha segera bangkit, tetapi langsung jatuh lagi. Saya tidak lemas, tetapi keseimbangan saya hilang.

Beberapa orang datang membantu saya. Ada yang mengangkat badan saya ke trotoar dan ada yang meminggirkan sepeda motor saya. Sementara dibopong, saya melihat beberapa polisi berdiri sekitar 200-300 meter dari tempat saya terjatuh. Namun, seingat saya, tak ada yang datang ke tempat kejadian perkara.

Sampai di trotoar, saya merebahkan diri. Seorang pria kemudian datang membawakan air minum kemasan untuk saya.

"Minum dan kumur, Pak. Mulut Bapak berdarah," begitu kata orang itu.

Segera saja lidah saya bergerak berusaha "mencari-cari" bagian yang berdarah. Saya terkejut. Bukan karena lidah saya mendapati bagian yang luka itu, tetapi karena lidah saya merasa gigi depan bagian atas saya tidak genap.

Tak berapa lama, datang seorang pemuda menghampiri saya. Ia mengendarai sepeda motor sendirian.

"Bagaimana, Pak? Kalau sudah kuat, ayo saya antar ke rumah sakit, Pak," kata orang itu.

Lagi-lagi, beberapa orang di sekitar saya mendekat, membantu saya berdiri dan naik sepeda motor.

Setelah mendapatkan perawatan ala kadarnya dari rumah sakit terdekat, saya berjalan kaki ke tempat saya mengalami kecelakaan, hendak mengambil sepeda motor. Orang-orang yang tadi membantu saya, masih ada di situ. Mereka menyongsong saya.

Kami kemudian duduk dan berbincang-bincang. Setelah agak lama mengobrol, seorang dari mereka bangun dari duduk untuk mengambil sepeda motor saya dari suatu tempat tak jauh dari tempat kami berbincang.

Saya tidak tahu cara berterima kasih yang pantas. Saya hanya tahu, masih ada uang di saku dan sepeda motor saya masih punya cukup bensin untuk saya pacu sampai ke rumah. Saya menyodorkan semua uang yang saya masih punya.

Namun, uang saya "tidak laku" di situ. Orang-orang yang rata-rata tukang ojek itu menolak uang saya. Mereka bilang, "pamali pamrih sama orang yang kena musibah." Mereka kemudian bertanya kalau-kalau saya perlu diantar pulang, tetapi saya akhirnya pulang sendiri.

Saya mengalami kecelakaan itu pada Maret 2011. Ingatan saya tiba-tiba melompat ke peristiwa itu, tak lama setelah saya mendapatkan kembali telepon selular saya, pada Jumat (31/7/2015).

Telepon genggam itu tertinggal di sebuah taksi pada Kamis (30/7/2014) malam. Setelah menghubungi call centre taksi itu, saya mencoba menelepon nomor telepon genggam saya yang "hilang" itu. Saya mencobanya beberapa kali dan selalu "masuk", tetapi tidak ada yang mengangkat. 

Keesokan harinya, istri saya mencoba menghubungi nomor saya itu. Usaha istri saya membuahkan kabar baik. Pemegang telepon seluler saya mengangkat telepon dari istri saya.

Ternyata orang yang menemukan telepon saya itu adalah seorang perempuan, customer taksi setelah saya. Perempuan tersebut menemukan telepon selular saya di taksi, tetapi takut untuk menyerahkan kepada sopir taksi itu, sehingga memilih menyimpannya sendiri.

Singkat cerita, saya berhasil menemui perempuan itu di kantornya dan mendapatkan kembali telepon selular saya. Perempuan itu bernama Resista dan bekerja sebagai resepsionis. Dan, ternyata, perempuan yang bicara dengan istri saya di telepon bukan Mbak Resista, melainkan rekannya, Ibu Mustika.

Pengalaman saya menjadi "korban" tidak ada apa-apanya dibanding yang dialami pemain-pemain sepak bola negeri ini. Saya kehilangan beberapa gigi, tetapi tidak kehilangan pekerjaan. Tanpa gigi, saya masih bisa menafkahi keluarga, tetapi bagaimana jika saya tak punya pekerjaan?

Dari derita yang "tak seberapa" itu, saya bahkan masih mendapatkan bonus, vitamin harapan, karena setelah sekian tahun berlalu, saya masih bertemu orang baik di Jakarta. Coba lihat pemain-pemain sepak bola negeri ini. Setelah FIFA membekukan sepak bola Indonesia pada Mei 2015, pemain-pemain kesulitan mencari nafkah. Ada pihak-pihak yang berencana menggelar "tarkam", tetapi sejauh ini tidak terealisasi, karena PSSI dan Kemenpora keberatan gengsi.

Mungkin, mereka masih menunggu wangsit. Namun, sementara mereka menunggu, beban hidup pemain dan "korban" semakin banyak. Jika mau melihat lebih jauh, ada banyak orang lagi yang susah, wasit, pemotong rumput stadion, tukang parkir, juga calo tiket.

Seandainya tukang-tukang ojek dan Mbak Resista menolong saya karena rasa kasihan, lantaran sepeda motor saya butut dan telepon genggam saya tidak high-end dan itu menjadi acuan menilai status sosial seseorang, maka lebih malang lagi para pesepak bola Indonesia, karena orang-orang yang seharusnya mengurus mereka, menimbang kepentingan dan berhitung harga diri.

Namun, saya yakin, tukang-tukang ojek itu dan Resista membantu saya karena sesuatu yang lebih bernilai dan sebetulnya sederhana, kemanusiaan. Jika keyakinan saya benar.... Ah, saya tak sampai hati mengatakannya... 

Baca juga: 

Kompetisi Terhenti, Alan Martha Pilih Kuliah dan Main Tarkam

Jordus Cup: Tarkam Seru saat Ramadan dan Lebaran di Tanahdatar

Nasib Apes Djemba-Djemba, dari MU Kini Tarkam di Banyuwangi