Bola.com, Manama - Bahrain, negara kepulauan di Teluk Persia memang tidak begitu mencolok, seperti halnya Qatar yang lebih populer di mata pecandu sepak bola dunia dengan perhelatan kompetisi bertabur bintang berbanderol mahal. Mereka kalah mentereng dibanding Arab Saudi, langganan Piala Dunia. Tetapi bicara pencapaian di pentas internasional, jangan anggap remeh Bahrain.
Bahrain hampir masuk di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, hanya kalah di fase akhir kualifikasi menghadapi Selandia Baru. Di edisi terakhir Piala Dunia 2014 Brasil, mereka bersaing hingga level akhir kualifikasi.
Luas wilayah Bahrain setara dengan luas wilayah DKI Jakarta, dengan populasi penduduk yang tidak terlalu banyak, hanya 1,3 juta orang. Dari sudut religi, kehidupan keseharian masyarakat Bahrain tenteram dan damai. Penganut Syiah dan Suni hidup berdampingan, tanpa gejolak konflik.
Bahrain dipimpin pemerintahan monarki Suni dengan mayoritas penduduk penganut Syiah. Dengan fakta perbedaan itu, pada kenyataannya mereka bisa saling dukung di dunia sepak bola.
Saya yang baru berkecimpung sebagai asisten pelatih klub Al Najma merasakan aura positif kekompakan tersebut. Pemerintah membangun fasilitas kelas wahid yang dipakai klub-klub profesional Bahrain. Untuk level klub kasta kedua sekalipun seperti Al Najma, fasilitas di sini luar biasa. Selain lapangan, klub dilengkapi gym, ruang physiotherapist, ruang dokter, football squash room, dan lain-lain.
Sistem antarjemput diterapkan bagi siswa akademi, bagi pemain profesional juga diberi fasilitas mobil dan flat atau apartemen.
Di tiap klub di sini, minimal mereka memiliki dua lapangan latihan berstandar internasional dan satu stadion yang dipakai buat bertanding. Buat saya hal ini luar biasa. Ego, idealisme, religi masing-masing kelompok bisa dikesampingkan demi kemajuan sepak bola.
Dan yang menariknya pemerintah Bahrain sama sekali tidak melakukan intervensi ke Federasi Sepak Bola Bahrain (BFA). Mereka dibiarkan bebas mengelola dan membina sepak bola. Subdisi rutin tahunan tetap mengucur sekalipun secara menyakitkan Bahrain gagal di fase akhir penyisihan Piala Dunia.
Yang ada pemerintah mereka terus mendukung federasi agar bisa melakukan terobosan program pembinaan demi mengangkat prestasi sepak bola Bahrain. Pengelola balbalan negeri ini bisa bekerja tenang tanpa perasaan was-was, kalau mereka akan terkena hukuman jika Bahrain tidak berprestasi.
Sekadar untuk diketahui, rata-rata pesepak bola Bahrain bekerja di pagi hingga siang hari (kebanyakan sebagai tentara). Pada sore harinya mereka baru bergabung dengan klub sepak bola masing-masing. Pemain yang bekerja full time sebagai pesepak bola di klubnya, kisarannya hanya 40 persen dari keseluruhan masing-masing tim.
Kecenderungan itu berlaku dari level junior hingga senior, dari kompetisi kasta tertinggi hingga terendah. Program pembinaan berjenjang tertata rapi. Ada benang merah yang menghubungkan dalam pembinaan. Sinergi ini memudahkan Federasi Sepak Bola Bahrain mengelola sepak bola profesional mereka. Apakah pemerintah Bahrain cawe-cawe melakukan intervensi? Tidak sama sekali.
Menariknya Presiden AFC saat ini berasal Dari Bahrain. Shaikh Salman bin Ebrahim Al Khalifa. Pria kelahiran 2 November 1965 lahir dari keluarga ningrat kerajaan Bahrain. Saat muda ia pemain bola. Salman berkiprah di klub Divisi Satu, Riffa Club, sebelum akhirnya memutuskan gantung sepatu untuk menekuni pendidikan.
Salman yang masih berstatus Presiden Federasi Sepak Bola Bahrain, didukung penuh menjalankan program kerjanya. Melihat tata kelola sepak bola yang benar-benar profesional, saya melihat bukan sesuatu yang mustahil negara ini suatu saat akan sukses menembus persaingan elite Piala Dunia. Setidaknya mereka jadi poros kekuatan Asia di Timur Tengah.
BAHAN RENUNGAN
Kembali ke Tanah Air, saya harap tulisan ini menjadi menjadi renungan bagi Kemenpora dan pemerintah Republik Indonesia. Dibanding terus berkonflik dengan PSSI, ada baiknya keduanya duduk bareng dengan federasi untuk bekerja sama membangun sepak bola lebih maju.
Pembekuan PSSI saat ini yang diikuti dengan berhentinya kompetisi berbagai level mematikan pembinaan sepak bola di negara kita. Talenta-talenta terbaik Indonesia tidak bisa berkecimpung di pentas internasional karena FIFA menjatuhkan sanksi ke PSSI, karena beranggapan langkah Kemenpora membekukan PSSI sebagai sebuah intervensi yang diharamkan di dunia sepak bola.
Efek negatif konflik mulai terasa di mana-mana. Ribuan orang mendadak jadi pengangguran karena kompetisi terhenti. Para pemain muda yang punya mimpi mengecap persaingan dengan negara-negara lain terbelenggu.
Di sisi lain, banyak pelatih yang ingin menimba ilmu ke AFC harus gigit jari karena sepak bola Indonesia tengah dikucilkan dari dunia internasional. Belum lagi kalau kita bicara hajat hidup orang-orang yang menggantungkan periuk nasi dari kegiatan balbalan, seperti misalnya pedagang yang ada di sekitar stadion sepak bola. Semua menderita karena kisruh sepak bola nasional yang tak berkesudahan.
Dengan kondisi yang terpuruk seperti ini kapan Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia? Pembinaan mati suri, bagaimana bisa membentuk tim nasional yang solid dan kompetitif?
Saya tidak menutup mata di balik dunia sepak bola nasional ada hal-hal negatif terjadi. Seperti isu mafia sepak bola atau match fixing. Semestinya orang-orang yang merusak sepak bola seperti itu ditindak tegas. Bekerja bareng dengan PSSI, pemerintah bisa sama-sama membuat aturan main untuk membatasi ruang gerak mereka. Mau menangkap tikus jangan di bakar seluruh lumbung padi. Mau tetap terpuruk seperti ini?
*) Penulis pelatih berusia 32 tahun yang memiliki lisensi A AFC. Saat ini berstatus sebagai asisten pelatih kepala dan Direktur Teknik Pengembangan Pemain Muda klub Al Najma (Bahrain).