Bola.com, Padang - Tokoh sepak bola Sumatra Barat, Suhatman Imam, pesimistis ISL 2015-2016 diputar Oktober mendatang. Hal itu tak terlepas dari belum beresnya rentetan masalah antara PSSI dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi.
Mantan pilar timnas senior Pra Oliampiade 1975 serta mantan pelatih dan direktur teknis Semen Padang itu menilai banyak masalah yang harus diselesaikan antara otoritas sepak bola nasional dan pemerintah menyangkut kelangsungan sepak bola Indonesia.
Kisruh kedua lembaga itu disebutnya berdampak besar bukan hanya bagi pelaku sepak bola nasional, namun juga masyarakat yang mengandalkan kehidupannya dari bergulirnya kompetisi.
Berikut wawancara Bola.com bersama mantan kapten Timnas Piala Asia 1977 itu menyangkut kelangsungan kompetisi di tengah kisruh sepak bola nasional.
Ada wacana ISL digelar Oktober mendatang. Apa anda yakin hal itu bisa terealisasi?
Kalau memang kompetisi jadi digelar Oktober mendatang tentu gairah sepak bola Indonesia kembali ada. Tentunya juga insan sepak bola kembali berkiprah. Selama ini kan mulai dari pemain, pelatih, dan ofisial tim tidak aktif. Rata-rata pemain dan pelatih diputus kontrak olah manajemen tim. Nah, kalau ditanya yakinkah kompetisi digelar tahun ini, saya pesimistis.
Apa yang membuat Anda pesimistis?
Sekarang yang perlu diperhatikan adalah apakah Menpora sudah memberi izin kompetisi bisa diputar? Apakah hubungan Menpora dengan PSSI sudah membaik? Apakah Menpora sudah mencabut surat pembekuan PSSI? Terus apakah PSSI mengakui BOPI?
Banyak lagi masalah yang harus diselesaikan sehinggal ISL yang rencananya bulan Oktober nanti legal. Masalah lain itu apakah kontestan ISL benar-benar siap? Contohnya saja Semen Padang. Hingga saat ini manajemen belum memanggil pemain yang selama ini dirumahkan. Makanya saya bilang tak mudah menggelar ISL pada Oktober.
Harusnya apa yang dilakukan PSSI sebagai otoritas sepak bola nasional agar kompetisi nantinya mendapat restu pemerintah?
PSSI dan pemerintah harus duduk bersama, saling memaafkan, saling berempati, dan saling mengalah untuk orang banyak. Bukan malah mengutamakan ego dan kekuatan masing-masing yang ditonjolkan.
Apa makna yang bisa Anda ambil dari kisruh sepak bola saat ini?
Bagi saya pribadi masalah ini cukup sekali ini saja. Jangan sampai terulang lagi. Kisruh ini melibatkan serta merugikan banyak orang. Para pemegang keputusan baik di PSSI maupun pemerintah harus memikirkan dampak besar yang ditimbulkan dari penghentian kompetisi.
Bisa dikatakan tak ada sisi positif dari masalah yang tercipta. Bahkan sejak sanksi FIFA keluar, masyarakat sepak bola seolah terhukum, pemain nganggur, pelatih juga seperti itu. Masyarakat juga kena imbas yang sama. Tidak ada lagi hiburan rakyat yang ditunggu di setiap pekannya.
Bagaimana Anda memandang sanksi FIFA?
Kalau bagi saya, sanksi itu merupakan hasil perbuatan bersama, buntut kesalahan masa lalu kita sendiri. Untuk itu mau tak mau kita harus menanggung risiko. Namun, dengan adanya indikasi membaiknya hubungan Menpora dan PSSI berarti ada kesempatan sanksi itu dicabut lagi. Kalau itu terealisasi, tentu sanksi tersebut bisa dicabut secepatnya.
Sanksi FIFA diharapkan akan menjadi pengalaman yang diharapkan kedepannya kekonyolan PSSI dan Menpora tak terulang lagi. Sejatinya bukan ego mereka saja yang dipikirkan. Banyak insan lain yang juga kena imbas dari polemik ini. Klub menderita, masyarakat juga, bahkan pedagang kaki lima yang mencari nafkah di setiap pertandingan juga merasakan dampaknya.
Baca Juga :
Wawancara Victor Igbonefo: Murni Ingin Main, Bukan Soal Gaji
Wawancara Maldini Pali: Evan Dimas Layak Bermain di Luar Negeri
Wawancara Waketum PSSI Erwin Budiawan: Verifikasi Wilayah PSSI