Bola.com, Jakarta - Di luar fakta Inggris paceklik gelar internasional sejak 1966, kompetisi profesional kasta tertinggi Negeri Ratu Elizabeth berlabel English Premier League jadi ajang paling populer sejagat.
Penggila sepak bola di berbagai belahan dunia seperti tersihir menyaksikan kompetisi yang dianggap memiliki persaingan paling merata di seluruh muka Bumi. Anda mungkin salah satunya.
Padahal, klub-klub asal Inggris tak melulu jadi raja Eropa. Bicara prestasi, La Liga Spanyol mungkin terlihat lebih mentereng 10 tahun belakangan ini. Real Madrid (2013-2014) dan Barcelona (2014-2015) jadi kampiun Liga Champions dua edisi terakhir, mempertegas kalau kompetisi elite Negeri Matador secara signifikan melahirkan tim jempolan dari sisi prestasi.
Namun, kedahsyatan El Real serta Barca tak lantas menggusur hegemoni klub-klub kontestan Liga Premier Inggris, dalam kontes popularitas menjaring penggemar di seluruh dunia. Aksi mereka di lapangan hijau di pentas kompetisi domestik tiap pekannya selalu jadi gulali. Hak siar Liga Premier Inggris harganya terus melambung tinggi di tiap musimnya.
Seperti yang dilaporkan BBC Sport, pengelola kompetisi pada awal 2015 telah menjual hak siar pertandingan sebesar 5,136 miliar poundsterling atau setara dengan Rp 99,4 triliun. Angka yang melebihi dana APBD DKI Jakarta 2015 yang mencapai Rp 72 triliun. Naik 71 persen dari jumlah sebelumnya!
Sky membayar 4,2 miliar poundsterling untuk lima dari tujuh paket dalam pelelangan hak siar televisi. Sementara saingan mereka, BT Sport, mengeluarkan 960 juta poundsterling untuk dua paket lainnya. Kesepakatan itu akan berjalan selama tiga tahun dan dimulai mulai tahun depan.
Peningkatan jumlah tersebut secara otomatis mengatrol harga jual distribusi hak siar yang dikelola kedua stasiun televisi ke negara-negara lain.
Jangan heran dengan jumlah pendapatan yang begitu gemuk, pengelola Liga Premier Inggris begitu memanjakan klub-klub peserta kompetisi. Baru-baru ini Daily Mail merilis data soal pendapatan klub-klub elite Negeri Tiga Singa pada musim 2014-2015.
Chelsea yang berstatus sebagai jawara kompetisi mendapatkan total hadiah 99 juta poundsterling (Rp 2 triliun). Jumlah ini jadi hadiah terbesar yang pernah diterima sebuah klub dalam sebuah kompetisi.
Perinciannya, 24,9 juta poundsterling hadiah langsung karena jadi juara. The Blues juga mengantungi 19,98 juta poundsterling karena pertandingan yang mereka jalani paling banyak disiarkan televisi.
Di sisi lain, klub asuhan Jose Mourinho tersebut juga mengantongi 27,8 juta poundsterling dari hak siar luar negeri. Mereka juga mendapat gelontoran dana dari sponsor utama kompetisi, Barclay, sebesar 4,4 juta poundsterling. Pendapatan yang jumlahnya lebih banyak didapat Barcelona yang musim lalu jadi kampiun Liga Champions. Tim asuhan Luis Enrique itu "hanya" mengantungi total Rp 541,6 miliar sebagai tim terbaik Benua Biru.
Dengan pendapatan yang begitu besar, tidak mengherankan jika klub-klub Inggris tiap musimnya terlihat amat leluasa berbelanja pemain bintang. Pesepak bola top dari berbagai negara menyesaki klub-klub Inggris.
Dengan pendapatan gaji wah, mereka rela jadi robot menjalani rentetan pertandingan yang lebih banyak dibanding saat berlaga di kompetisi negaranya.
Ya, di negara monarki yang satu ini ada tiga ajang rutin yang diputar beriringan dalam satu musim. Selain pentas kompetisi, klub-klub juga berlaga di Piala FA dan Piala Liga. Itu belum ditambah kompetisi Eropa. Saat kompetisi negara Eropa lainnya diliburkan pada pengujung tahun, Liga Premier Inggris tetap berjalan.
Istilah Boxing Day akrab di telinga pecandu sepak bola saat menyaksikan bintang kesayangan bertarung di masa libur Natal dan Tahun Baru.
FA Inggris dibuat panik dengan fenomena serbuan legiun asing ke negara mereka. Kedatangan mereka kian memperkecil kesempatan mentas bakat-bakat lokal. Imbasnya, timnas Inggris mati kartu di persaingan elite dunia.
BBC Sport membuka data sepanjang musim 2013-2014, pemain-pemain Inggris hanya bermain sebanyak 32,36% dari total waktu pertandingan Liga Premier Inggris. Ironisnya sepanjang musim itu hanya lima pemain Inggris yang bermain dalam 38 pertandingan. Inggris dijajah di negaranya sendiri.
Rancangan aturan pembatasan pesepak bola impor didengungkan. Namun, dengan jumlah pendapatan yang begitu besar, otoritas tertinggi sepak bola Inggris terlihat lebih banyak mengalah. Pertanyaannya, dengan begitu besarnya pemasukan yang kemudian dibarengi nafsu belanja pemain, apakah neraca keuangan klub-klub Inggris tetap berada di garis positif?
Menjelang akhir musim 2014-2015, Daily Mail mengeluarkan data keuangan klub-klub peserta Liga Inggris. Fakta pahit terungkap, kalau sejumlah klub elite menanggung beban utang besar.
Chelsea menjadi klub yang memiliki utang terbanyak di Liga Inggris. Tercatat, The Blues berutang 958 juta poundsterling. Sementara pendapatan John Terry cs. hanya berjumlah 319,9 juta poundsterling.
Pengeluaran terbesar Chelsea, untuk membayar para pemainnya, mencapai 193 juta pounsterling (60 persen sendiri).
Kalau bicara bisnis, investasi pengusaha asal Rusia, Roman Abramovich, di klub yang bermarkas di kota London tersebut bisa dibilang buntung.
Klub paling populer di dunia, Manchester United, juga punya utang bertumpuk. Utang-Utang The Red Devils berasal dari pinjaman yang dilakukan pemilik klub, Keluarga Glazer, saat mengambil alih klub pada 2003.
Saat itu, pengusaha asal Amerika Serikat itu menggunakan dana pinjaman untuk mengambil alih kepemilikan saham mayoritas klub.
United tercatat memiliki utang 342 juta poundsterling. Beruntung, dengan jumlah pendapatan 433,1 juta poundsterling, neraca keuangan klub masih stabil. Mereka pun masih mampu membayar total gaji pemain yang menembus 215 juta poundsterling.
Arsenal sama juga. Selesai melunasi utang pembangunan Stadion Emirates, The Gunners masih punya kewajiban utang 240,5 juta poundsterling. Walau memang jumlah utang itu masih tergolong aman, jika melihat pendapatan klub yang berjumlah 298 juta poundsterling. Sementara, total gaji yang harus dibayarkan klub kepada pemain mencapai 166,4 juta poundsterling.
Presiden FIFA, Sepp Blatter, yang dikenal amat kapitalis, berulang kali mengkritik agresivitas klub-klub Inggris di bursa transfer. Mereka dinilai terlalu berani membayar pemain dengan gaji di luar biasa tinggi tiap pekannya. Pria asal Swiss itu sempat mengapungkan ide pemberlakukan salary cap di Liga Inggris.
Terlepas dari tingkat popularitas English Premier League yang terus meroket, FIFA khawatir kompetisi yang satu ini akan rontok karena kasus finansial. Di era 1980-1990 pentas Serie A jadi magnet dengan kehadiran seabrek bintang-bintang beken.
Namun, karena tidak dibarengi kecermatan mengelola bisnis, bos-bos klub elite Negeri Azzurri lama-lama ngos-ngosan juga membuang duit mereka untuk mendatangkan pemain top. AC Milan, Internazionale Milan, atau Juventus, yang dulu bak gula yang dikerumuni semut (pesepak bola elite), kini tak lagi terlihat mengilap.
Bangkrutnya AC Parma di Serie A musim lalu bak mencoreng kompetisi yang dulu seperti tontonan wajib bagi fans bola Indonesia tiap akhir pekannya. Sebelumnya, Fiorentina mengalami nasib yang sama sebelum akhirnya bangkit lagi.
Akankah klub-klub Inggris akan mengalami nasib yang sama? Kisah sedih bangkrutnya Portsmouth pada 2012 membuka mata, apapun amat mungkin terjadi jika pengelolaan bisnis klub tidak dilakukan dengan cermat.
***
Di era kapitalisasi global, istilah besar pasak dari tiang secara terus menerus jadi barang haram. Ibarat kata, mesin uang harus terus berproduksi maksimal untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.
Pada akhirnya para pemilik klub Inggris macam, Roman Abramovich (Chelsea), Khaldoon Al Mubarak (Manchester City), Stan Kroenke (Arsenal), John W. Henry (Liverpool), tak bisa terus dipaksa berinvestasi kosong. Mereka pasti juga ingin dapat keuntungan materi.
Cerminan kehati-hatian klub-klub Inggris terlihat di musim 2015-2016. Sang juara bertahan Chelsea yang biasanya agresif memburu pemain mahal, berhati-hati di transfer window kali ini. The Blues hanya menggaet Radamel Falcao dari AS Monaco dengan status pinjaman selama satu musim. Tambahan lainnya kiper Stoke City, Asmir Begovic, yang hanya bernilai 7 juta poundsterling.
Bandingkan dengan musim lalu, Chelsea seperti lapar pemain berbanderol mahal Cesc Fabregas (30 juta poundsterling), Diego Costa (32 juta poundsterling), Juan Cuadrado (27 juta pounsterling).
Arsenal yang musim lalu menggelontorkan kocek 30 juta poundsterling (Rp 677 miliar) untuk memboyong striker asal Cile, Alexis Sanchez, plus ditambah 16 juta poundsterling buat menggaet Danny Welbeck dari Manchester United, kini cenderung santai-santai saja di bursa transfer.
Rekrutmen mentereng The Gunners hanya kiper Petr Cech yang dibeli dari Chelsea dengan nominal 11 juta poundsterling.
Manchester City yang beberapa musim terakhir gila-gilaan menghamburkan uang buat mendatangkan pesepak bola top juga terlihat adem-ayem.
Kehebohan yang mereka buat hanya saat membayar anak muda Raheem Sterling sebesar 49 juta poundsterling dari Liverpool. Di saat bersamaan mereka melepas Endin Dzeko (AS Roma), James Milner (Liverpool), Stevan Jovetic (Internazionale Milan). Beban pengajian klub berkurang seiring kepergian para pemain tersebut.
Jika dikalkulasi sejak 2011 hingga 2014, total belanja pemain tim berkostum biru langit itu menembus angka 283 juta poundsterling! Pengeluaran tersebut berbuah dua gelar juara Liga Premier Inggris, musim 2011-2012 dan 2013-2014.
Sayangnya, jika bicara soal pembukuan keuangan, neraca City masih minus.
UEFA bersikap tegas menegakkan aturan main Financial Fair Play UEFA ke City. Pada Mei 2014, UEFA menjatuhkan sanksi denda sebesar 60 juta poundsterling plus hanya bisa mendaftarkan 21 pemain saja di Liga Champions 2014-2015. Jangan heran jika City terkesan mengerem pengeluaran musim ini.
UEFA kini memantau ketat kondisi keuangan klub-klub Inggris. Poinnya, Michels Platini dkk. ingin klub-klub negara penguasa Britania Raya membuang-buang uang seenaknya, tanpa memerhatikan keseimbangan kondisi keuangannya.
Regulasi Financial Fair Play mengharuskan seluruh tim yang terdaftar untuk kompetisi UEFA tidak berutang kepada klub lain, pemain-pemain mereka, dan otoritas sosial/pajak pada sepanjang musim berjalan.
Klub-klub juga wajib menaati aturan break even, yang artinya mereka dilarang membelanjakan uang lebih banyak ketimbang yang dihasilkan.
Situasi ini membuat bursa transfer di Liga Inggris lebih terkendali. Praktis, hanya Manchester United yang terlihat ganas memboyong banyak pemain bintang.
Lantas akankah tensi persaingan English Premier League menurun? Nikmati dan kita lihat nanti.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah klub-klub kita terinspirasi dengan perubahan budaya belanja pemain di Inggris? Maraknya kasus tunggakan gaji ke pemain di pentas Indonesia Super League beberapa musim terakhir menunjukkan keroposnya pengelolaan bisnis klub-klub Tanah Air. Kapan mau berbenah?
Ah sudahlah. Damai dulu PSSI dan Menpora.
***
Baca Juga:
KOLOM: Belajar dari Bahrain Mengelola Sepak Bola
“I Love You”, Kata Sakti Pep Guardiola
FEATURE: Mario Balotelli "Why Not Always Him Anymore"