Sepenggal Kisah Anak Gawang di Sudut Si Jalak Harupat

oleh Aning Jati diperbarui 03 Sep 2015, 10:03 WIB
Anak gawang di Stadion Si Jalak Harupat melampiaskan kerinduan "bertugas" di stadion dengan memburu tanda tangan pesepak bola. (Bola.com/Aning Jati)

Bola.com, Bandung - Di suatu sore yang cerah cenderung gerah, satu-dua anak-anak usia Sekolah Dasar tampak setengah berlari di tangga tribun barat Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Bandung. Tujuan mereka, menghampiri sesosok pesepak bola yang tengah duduk di samping Bola.com.

Pesepak bola itu, Charles Orock. Striker Martapura FC yang belum bisa bermain di laga pertama karena baru bergabung bersama tim. "Bang, minta tanda tangannya. Minta tanda tangannya," kata bocah itu sambil menyodorkan kaus yang mereka pakai.

Advertisement

Bocah itu tergabung dalam sebuah Sekolah Sepak Bola (SSB) di Bandung. Sore itu mereka bertugas "mengawal" pemain memasuki stadion sebelum bertanding.

Melihat satu-dua temannya sukses mendapatkan tanda tangan, beberapa temannya yang lain ikut bergabung dan berdesakan antri tanda tangan. Dengan polos mereka melepas kaus yang sedang dipakai untuk dibubuhi tanda tangan Orock.

Sang pemain yang mendapat serangan tiba-tiba, cukup sabar meladeni permintaan itu. "Antri ya, satu-satu," kata penyerang yang sudah 10 tahun bermain di Indonesia itu.

Sejurus kemudian teriakan terdengar. "Ayo kausnya dibentangkan. Sini difoto dulu," celetuk seorang ibu kepada sang anak yang baru saja mendapat tanda tangan Orock.

Kepuasan tergambar di wajah mereka. Pemandangan semacam itu mungkin sudah terasa jamak dilihat. Bisa jadi pula tak ada yang spesial. Namun, bila melihat lebih dalam, momen itu terasa menyentuh. Pasalnya, bila tak ada pertandingan yang berlangsung seperti pada Rabu (2/9/2015) sore itu, akankah bocah-bocah itu mendapatkan kesempatan melampiaskan hobi memburu tanda tangan para pemain yang beredar di sepak bola nasional?

Bila direnungkan lebih dalam, vakumnya kompetisi ternyata tak hanya berdampak secara langsung pada pelaku sepak bola, seperti pemain, pelatih, ofisial tim, dan perangkat pertandingan.

Para pedagang yang biasa mangkal di area stadion hingga usaha jasa lain pun ikut terdampak. Bocah kecil pemburu tanda tangan juga tak punya lagi kesempatan bertemu dengan pesepak bola, sosok yang saat itu mungkin diimpikan untuk diikuti jejaknya kelak.

Terasa dangkal dan tak penting? Tergantung cara pandang yang digunakan. Tetapi, yang pasti menggeliatnya kembali sepak bola Indonesia melalui pergelaran Piala Presiden 2015 disambut positif. Pelaku sepak bola bisa kembali menggeluti aktivitas di lapangan hijau, pedagang bisa memutar usahanya, bocah-bocah cilik bisa kembali ceria memburu pemain di lapangan.

Tak ada yang lebih berharga selain melihat wajah-wajah ceria nan polos dari anak-anak yang baru saja mendapatkan tanda tangan. Di usia seperti mereka, jiwa bermain menuntut untuk dipenuhi. Mereka hanya ingin merasakan "kebanggaan dan kepuasan" bisa mendapat tanda tangan pesepak bola, tak peduli apakah pemain itu terkenal atau tidak.

Penuturan polos meluncur dari bibir Yayan, bocah kelas 6 SD yang melepas kausnya dan antri tanda tangan Orock. "Saya tak kenal siapa dia," ucapnya ketika Bola.com menanyainya. "Saya cuma senang kaus saya ada ada tanda tangan pemain," imbuhnya sambil malu-malu.

Akankah para petinggi yang berseteru melihat sampai sejauh itu? Bilamana turnamen ini nanti berakhir dan konflik yang menyebabkan vakumnya kompetisi nasional masih terus berlangsung? Akankah kegembiraan bocah-bocah cilik di stadion itu memudar? Tentu semuanya berharap hal itu tak terjadi karena sesungguhnya merekalah yang empunya mimpi melihat sepak bola Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.

Baca Juga :

Ilija Spasojevic: Terima Kasih Tuhan, Hari Ini Datang Juga

Milo Camp Jadi Pengalaman Tak Terlupakan untuk Pemain Mungil Ini

ASSI Ingin Ikut Mengisi Kemerdekaan dengan Sepak Bola Jalanan