Bola.com, Surabaya - Ada atmosfer berbeda saat pergelaran laga eksibisi trofeo yang digelar di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya, Kamis (10/9/2015) lalu. Serunya laga yang melibatkan tiga tim yang dihuni para mantan pemain Persebaya 1927, Persibo Bojonegoro, dan Tim Merah-Putih dikalahkan suara khas dengan nada bariton dari seorang MC yang duduk di meja pinggir lapangan. Bola.com sangat hafal dan akrab dengan suara itu.
Ya. Suara itu milik Supangat. Bola.com langsung menghampiri empunya pita suara dan bersalaman. Raut wajahnya telah banyak berubah. Ada keriput dan uban di rambutnya yang lebat. Tapi Bola.com tak pernah lupa dengan suara pria 65 tahun tersebut.
Namanya memang pendek dan ringkas. Supangat! Namun, dia lah saksi hidup perjalanan panjang sejarah kejayaan dan perpecahan Persebaya yang terjadi hingga kini. Bahkan, tiga dasawarsa lebih atau nyaris separuh usia Supangat didedikasikan sebagai MC pertandingan kandang Persebaya di Stadion Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya.
Meski hanya sebagai MC, jiwa Persebaya mengalir deras di seluruh pembuluh darahnya hingga kini.
“Apa kabar cak? Lama sekali saya tak bertemu sampeyan? Kemana saja? Saya kira sudah gantung kamera atau pensiun jadi wartawan?” tanya Supangat bertubi-tubi.
Ah, suara itu masih tetap seperti dulu. Pelan tapi penuh ketegasan dengan intonasi kata yang jelas dan runtut. Kehadiran Supangat di GBT bukan tanpa sebab dan alasan.
Lewat suaranya yang penuh wibawa dan kharisma, panpel Piala Kemerdekaan berharap Supangat bisa mengendalikan sekitar 10 ribu Bonek yang sore itu hadir di GBT untuk menyaksikan aksi Mat Halil dkk.
“Tanpa diundang panpel pun, saya pribadi ingin datang ke sini. Saya sudah kangen dengan Bonek dan pemain Persebaya. Pertimbangan panpel mungkin saya yang selama ini dianggap bisa sebagai pengendali suporter,” tutur Supangat.
Tak disangsikan lagi. Suara Supangat yang sudah dikenali dan dihafal suporter Surabaya hingga turun temurun sejak Persebaya bermarkas di Gelora 10 November selama puluhan tahun lalu. Jika ada keributan kecil di tribun, dengan dialek dan idiom khas Suroboyoan, Supangat bisa mendinginkan suasana yang panas.
“Ayo Rek! Kembang api-ne dipateni (dimatikan). Mengko lek geni ne ngobong sentel ban, awak-e dewe sing rugi (Nanti kalau apinya membakar sentel ban,
kita sendiri yang rugi). Ayo Rek! Nyanyi untuk Persebaya!” teriak Supangat dari mikrofon.
Menyapu Jalan Jadi Resep Sehat
Supangat mungkin salah satu saksi hidup Persebaya yang berusia panjang. Beberapa tokoh yang pernah mengharumkan nama Bajul Ijo telah tutup usia. Penyiar Radio RGS yang berkantor di Stadion Gelora 10 November ini punya resep menjaga kebugaran.
“Tiap hari saya bangun pagi. Sholat subuh, setelah itu minum dan makan camilan. Lalu saya menyapu jalan depan rumah. Terkadang juga jalan-jalan pagi sekitar rumah,” ungkap Supangat yang tinggal dekat mes Eri Irianto Karanggayam atau sebelah selatan stadion legendaris kandang Persebaya.
Bola.com mengajak ngobrol soal Persebaya, nada Supangat pun penuh semangat. Dia pun bercerita soal Bonek, awal kelahirannya hingga jadi kekuatan besar suporter di Indonesia.
“Bonek lahir 1987 saat Persebaya tampil pada final Perserikatan melawan PSIS Semarang di Stadion Utama Senayan Jakarta. Ide tret-tret-tret itu dari surat kabar Jawa Pos. Meski waktu mobilisasi suporter tak terlalu lama, kami bisa menghijaukan Senayan. Itu jadi sejarah perkembangan suporter di Indonesia, di mana mereka berkorban untuk mendukung klub kesayangannya main di luar kota,” tutur Supangat.
Saat itu, lanjut Supangat, sebutan Bonek belum muncul. Yang ada sebutan suporter Green Force Surabaya. Kehadiran suporter dari Surabaya sangat positif. Buktinya, setelah Persebaya dikalahkan PSIS 0-1 tak terjadi tindakan anarkistis dari suporter.
“Tahun berikutnya, nama Bonek lahir. Persebaya final melawan Persija di tempat yang sama. Kami menang 3-2. Tapi konotasi Bonek saat itu sangat positif. Bonek
artinya suporter yang bondo dan nekat.
Saya satu pesawat dengan orang Surabaya. Saya tanya, dia mau ke Jakarta nonton Persebaya. Padahal dia harus meninggalkan pekerjaannya. Apa tak takut dipecat bolos kerja? Orang itu menjawab, kalau dipecat ya cari kerjaan lain lagi. Itulah Bonek yang benar. Bukan seperti sekarang yang konotasinya negatif, suporter yang hanya bondo nekat,” paparnya.
Dualisme Persebaya
Soal dua final di Senayan itu, Supangat masih ingat betul kisahnya. Bahkan, ia ditunjuk sebagai sales tiket resmi panitia Jakarta. "Saat di pesawat, bahkan saya masih bisa menjual 99 tiket VIP dan beberapa tiket ekonomi kepada penumpang yang mau nonton Persebaya di Jakarta," jelasnya.
Sebagai saksi sejarah, Supangat merasa bangga jadi bagian Persebaya. Yang bersangkutan mengatakan beberapa kali didatangi mahasiswa sebagai narasumber untuk penyusunan skripsi.
“Saya bangga, ternyata sepak bola khususnya Persebaya dijadikan karya ilmiah. Karena sepak bola tak lepas dari suporter, soal Bonek pun selalu ditanyakan. Setelah ujian akhir, saya diberi bendel skripsi mereka,” ujarnya.
Soal dualisme Persebaya, jawaban Supangat sangat demokratis dan mengejukan. Dia menilai perpecahan Persebaya saat ini merupakan dinamika berorganisasi.
“Saya sering didatangi Bonek atau pencinta Persebaya. Mereka tanya soal dualisme. Saya jawab biarkan saja. Itu bagian dinamika organisasi. Di belahan dunia mana pun, mungkin hanya Persebaya yang seperti ini. Dualisme tak hanya soal kepemilikan klub, tapi juga suporternya. Arema mengalami dualisme, tapi dinamikanya tak seperti Persebaya. Biarkan saja waktu yang akan menjawabnya,” tegasnya.
Baca Juga:
Tonton Laga Ekshibisi, 10 Ribu Bonek Meriahkan Gelora Bung Tomo
Minta Persebaya Dicoret, Bonek 1927 akan Turun ke Jalan
Wawancara Zulfiandi: "Hati Bonek Sama meski Cara Pandang Beda"