Bola.com - Jakarta Samsul Arif mengenakan baju koko dan sarung, saat Bola.com berkunjung ke rumahnya di kawasan Dieng Eksklusif, Kota Malang, Jumat (18/9/2015) malam silam. Saat itu adalah satu hari sebelum ia mencetak gol penentu kemenangan Arema Cronus atas Bali United Pusam di leg pertama babak perempat final Piala Presiden di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Dengan ramah, pria yang tengah menantikan kelahiran anak pertama dari pernikahan dengan Yuniaz Fadilla Asyif itu menyambut Bola.com. Kopi hangat, bakso, dan buah melon menemani obrolan dengan Samsul. Sekadar mengingatkan, tahun ini genap satu dekade kiprah pemain asal Bojonegoro itu di kompetisi Indonesia.
“Maaf nih, tidak ada apa-apa di rumah. Silakan dinikmati yang ada, ya. Istri saya ada di kamar, mau istirahat,” kata Samsul.
Berbincang dengan Samsul seperti mengobrol dengan kawan lama. Menggunakan bahasa Jawa, kadang diselipi dengan banyolan polos yang membuat suasana semakin asyik. Ia bercerita banyak hal yang terjadi selama 10 tahun bergelut di pentas kompetisi Indonesia.
Di awal karier, Samsul tak membayangkan bisa sukses seperti sekarang. Ia menyadari persaingan di dunia sepak bola Tanah Air sangat ketat. Khususnya bagi pemain yang tidak menempuh pendidikan khusus di akademi atau SSB.
Setelah belajar secara otodidak di desa Mojodelik, Bojonegoro, Samsul Arif berkelana ke Blora dengan bergabung Persikaba. Waktu itu ia masih sekolah di SMAN 2 Bojonegoro.
“Baru pada 2005 saya memperkuat Persibo di kompetisi Divisi I. Sebelum gabung dengan Persibo, saya hanya pemain sepak bola antarkampung. Saya masih ingat gaji pertama bermain bola waktu itu sebesar Rp 300 ribu. Uangnya saya belikan baju dan alat salat. Rasanya bangga sekali. Dari bermain di sawah pakai bola plastik, saya akhirnya bisa tampil di stadion,” ceritanya.
Kesederhanaan dalam hidup membuat Samsul tak mau patah arang dalam situasi apapun. Pada awal perjalanan, ia berjuang lolos seleksi hingga menuju tim utama. Sebagai striker, gol adalah pembuktian.
Gol Pertama
Momen yang ia nantikan datang juga. Pada 29 Juni 2005 di Stadion Sultan Agung Bantul, Samsul mencetak gol pertama di kompetisi Indonesia, saat Persibo mengalahkan Persiba Bantul dengan skor 2-1. Ketika itu, pelatih Persibo adalah Sanusi Rahman. Di musim tersebut, Persibo masih bertahan di Divisi I.
“Dulu stadion di Bantul belum ada tribun seperti sekarang. Saya turun menjadi pemain pengganti dan mencetak gol. Kadang seorang pemain butuh momen untuk memotivasi dalam berkarier. Bagi saya, gol pertama dari bangku cadangan yang memberi semangat,” ujarnya.
Waktu terus berlalu. Pada 2009, Samsul berkelana lagi dan singgah di Persela Lamongan. Saat itu merupakan kali pertama ia tampil di Indonesia Super League, yang memasuki musim kedua. Gol pertama Samsul di ISL cukup dramatis. Samsul menjebol gawang klubnya saat ini, Arema. Persela menang 1-0 atas Arema di Stadion Surajaya, 16 Desember 2009.
Momen indah Samsul bertambah lagi kala ia mencetak hattrick pertama di ISL, saat Persela menang telak atas Persiwa Wamena dengan skor 7-2. Trigol Samsul terjadi secara beruntun, yakni pada menit ke-3, 24, dan 33. Sayangnya, di akhir musim, Persela terbenam di posisi ke-14. Juara ISL 2009/2010 adalah Arema, di tangan pelatih Robert Rene Albert.
Siapa sangka, empat tahun kemudian Samsul berlabuh ke Arema Cronus, klub yang memiliki popularitas besar di Indonesia. Samsul sudah matang sehingga tak ada rasa minder kala bergabung dengan Tim Singo Edan. Kabarnya, nilai kontrak Samsul di Arema menembus 1 miliar rupiah.
Gol pertama Samsul di Arema tak lagi dramatis, tapi sudah masuk ke level elite karena bersanding dengan tiga gol pemain asing. Tepatnya pada 3 Februari 2014 di Stadion Kanjuruhan, Arema menang 4-1 atas Persijap. Selain Samsul, pencetak gol Arema di laga itu adalah Cristian Gonzales, Alberto Goncalves, dan Gustavo Lopez. Tiga bulan kemudian, ia membukukan hattrick saat Arema mengalahkan Gresik United 5-0.
"Widodo C. Putro? Aduh, Malu Saya"
Di tengah perbincangan, Samsul menunjukkan isi lemari buffetnya. Di antara sekian banyak barang, ada satu yang menarik perhatian, yakni otobiografi Sir Alex Ferguson. Meski ia penggemar Juventus, buku itu merupakan salah satu yang paling digemari.
“Ya, saya senang membaca. Banyak hal yang bisa saya dapat dari hobi saya ini,” kata dia.
Bicara soal pelatih, ada kisah lucu kala ia berjumpa dengan Widodo C. Putro di Persela Lamongan. Samsul tak menyangka akan dilatih oleh pemain idolanya saat kecil. Latihan perdana menjadi momen yang paling menggelikan bagi dia. Ceritanya, begitu melihat Widodo, sebenarnya dalam hati Samsul ingin berfoto dan meminta tanda tangan. Tapi apa daya, saat itu ia sudah menjadi pemain yang dilatih Widodo. Alhasil, Samsul hanya diam tersipu sambil menjalankan latihan.
“Waktu itu saya membayangkan. Dulu hanya melihat Widodo di televisi, tapi sekarang jadi anak buahnya,” ia menambahkan.
Selama 10 tahun berkelana di lapangan hijau, Samsul berterima kasih kepada semua pelatih yang membinanya. Namun ada satu nama yang menurut dia paling berjasa dalam membentuk karakter. Pelatih itu adalah Sartono Anwar, yang akrab disapa Mbah Sar. Di tangan Sartono, Samsul mengaku terbentuk sebagai penyerang haus gol.
“Meski hanya satu tahun, tapi saat dilatih Mbah Sar saya merasa ada perbedaan. Tapi, pelatih yang lain juga memberi banyak hal kepada saya. Saya sangat berterima kasih,” ucapnya.
Jadi Kolumnis dan Petani
Di sela kesibukannya menjadi pesepak bola, Samsul mencurahkan hobi menulis. Beberapa tahun lalu saat ia masih tinggal di Bojonegoro, Samsul menjadi penulis opini di surat kabar lokal Bojonegoro, dari tahun 2012-2013. Tema yang ia tulis tak hanya soal olah raga, tapi pertanian, kehidupan sosial, dan ekonomi di sekitar tempat tinggalnya.
Salah satu hal yang membuatnya rajin mengirim tulisan ke media adalah ia ingin menyuarakan nasib petani. Keluarga Samsul di Bojonegoro adalah petani jagung dan padi. Pada saat itu, ia menyuarakan keluh kesah para petani di tengah eksplorasi minyak di kawasan Ngasem.
“Sementara ini masih belum menulis lagi,” kata dia.
Sebenarnya, kans Samsul untuk menjadi kolomnis di bidang sepak bola cukup terbuka. Ia sudah memiliki popularitas dan berpengalaman di sepak bola. Namun, Samsul tak cukup percaya diri untuk memulai hal itu. Alasannya sepele.
“Ah, masih malu. Nanti tulisan saya dibaca orang se-Indonesia,” ujarnya sambil tertawa.
Saat ini, Samsul belum memikirkan hal lain di luar sepak bola, meski dalam hatinya dipenuhi segudang pertanyaan dan kegelisahan karena kompetisi di Indonesia dalam ketidakpastian. Ia bersyukur masih bisa bertahan di tengah kondisi sepak bola Indonesia yang tak menentu. Soal timnas, Samsul juga berharap sanksi FIFA segera berakhir, sehingga ada kesempatan lagi mentas di timnas senior.
“Itu adalah doa semua pemain. Semoga masa depan sepak bola Indonesia kembali cerah,” harapnya.
Menutup pembicaraan, putra pasangan Muhammad Munip dan Sringah itu berandai-andai bila ia tak jadi pemain sepak bola.
“Saya pasti jadi petani yang sukses.”
Baca Juga:
Vladimir Vujovic: Sang Pengelana Bersiap Berpetualang ke Malaysia
Terkuak, Pedro Javier Jadi Pesepak Bola Berkat Gerardo Martino
Nyoman Sukarja, Pembobol Gawang Arema yang Incar Kaus Gonzales