Bola.com, Jakarta - Tak terasa sudah 10 tahun Fabiano Beltrame berkarier di Indonesia. Selama 10 tahun, Fabiano telah merasakan pengalaman manis dan pahit sebagai pemain yang mengadu nasib di Tanah Air. Kepada bola.com, pria kalem ini bercerita banyak hal, mulai masa kecil, kehidupan remaja, hingga rencana berikutnya setelah tampil di Piala Presiden bersama Arema Cronus.
Baca Juga
Mari putar balik waktu. Bisa ceritakan bagaimana masa kecil Anda dan awal bermain sepak bola?
Saya tumbuh seperti remaja Brasil pada umumnya. Sekolah, pergi ke gereja dan bermain. Soal sepak bola, semuanya berawal ketika saya sering diajak Ayah ke lapangan sepak bola. Di dekat rumah ada lapangan dan dia yang membawa saya ke situ. Ibu saya sibuk bekerja sepanjang hari. Semua anak-anak di Brasil pasti bermain sepak bola pada sore hari. Itu kultur negara kami yang sudah mengakar.
Saat remaja, hal gila apa yang pernah Anda lakukan?
Nonton film porno dengan teman-teman! Ha-ha-ha.. Ketika itu saya masih berusia 13 tahun dan acara nobar itu hanya untuk seru-seruan saja.
Sekarang masih suka nonton film porno?
Ah, tidak. Saya lebih sering nonton telenovela di televisi berbayar. Kalau ketinggalan satu episode, saya langsung download. Bila sedang libur latihan, bisa seharian nonton telenovela.
Siapa pesepak bola Brasil terbaik menurut Anda? Ronaldo atau Cafu, mungkin?
Bukan keduanya, idola saya bukan pemain top tapi paman. Dia bermain selama 10 tahun untuk klub besar yakni Vasco da Gama dan sering masuk televisi. Mungkin itu jadi motivasi saya untuk mengikuti jejak dia.
Apa yang mendasari Anda meninggalkan Brasil, bukankah kompetisi di sana lebih teratur?
Saya datang ke klub Sao Jose saat umur 20 tahun. Ketika itu, kehidupan saya sangat sulit dan saya berjuang sendiri. Waktu itu kami hampir enam bulan tidak gajian, karena keuangan klub tidak sehat dan ada teman setim yang tidak bisa bayar listrik rumah sampai dua bulan.
Sempat terbersit dalam pikiran untuk mencari pekerjaan lain?
Di saat itu, tentu saja. Buat apa saya susah-susah hidup sebagai pesepak bola. Di rumah ada makanan, air hangat, dan keluarga. Saya bahkan sempat berpikir untuk menyudahi karier, tapi itu membuat mental saya terasah. Kalau saya berhenti jadi pesepak bola, pekerjaan yang saya tekuni di bidang taman. Tapi bagian desain taman dan spesialis tanaman.
Apakah bermain di Indonesia menakutkan bagi Anda?
Tidak juga, kebetulan saya punya kenalan, yakni Pedro Javier. Pada tahun 2005, dia bercerita soal sepak bola Indonesia dan mengajak saya.
Anda dekat sekali dengan Pedro Javier. Bisa ceritakan kapan pertama kali bertemu?
Saya lahir dan besar di kota bernama Foz do Iguacu, Brasil sedangkan dia di Paraguari, Paraguay. Kota kami hanya berjarak 10 menit dan hanya terpisah perbatasan. Saat kecil, kami sudah bertemu sebagai lawan dan bertanding di stadion yang hanya berjarak beberapa meter dari perbatasan dua negara. Biasanya, dua kota itu memang sering menggelar turnamen. Mungkin kalau di Indonesia sama dengan antarkampung.
Lucunya, saya baru berkenalan dengan Pedro ketika di Indonesia. Tahun 2007, saya main untuk Persmin Minahasa sedangkan Pedro di Persibom Bolaang Mongondow. Kami berkenalan di Manado, sejak itu kami terus kontak satu sama lain. Kami juga dua tahun di Persija dan bagi saya dia sudah seperti saudara kandung.
Sekarang, bahasa Indonesia Anda sudah lancar. Bisa ceritakan pengalaman belajar bahasa?
Pertama di Indonesia, saya tidak bisa bahasa Indonesia dan kesulitan ketika berlatih. Saat itu saya berkomunikasi pakai bahasa Inggris namun para pemain Indonesia tidak begitu andal bahasa Inggris. Akhirnya, saya belajar bahasa Indonesia. Saya tidak les, cukup mendengarkan rekan setim, lalu saya berbicara sedikit-sedikit. Ya, sekitar dua tahun saya sudah lancar tanpa harus keluarkan uang untuk guru les.
Kompetisi ISL belum jelas. Apakah Anda tidak kapok bermain di Indonesia?
Saya berharap kompetisi jalan lagi. Turnamen hanya sesaat dan klub tidak bisa melangkah ke level Asia. Lihat nanti saja bagaimana deal dengan manajemen Arema.