100 Tahun PSM, Nostalgia Lintas Negara ala Miro Baldo Bento

oleh Abdi Satria diperbarui 02 Nov 2015, 20:10 WIB
Miro Baldo Bento bernostalgia di Makassar, saat merayakan HUT PSM ke-100, Senin (2/11/2015) di Lapangan Hasanuddin, Makassar. (Bola.com/Ahmad Latando)

Bola.com, Jakarta - Miro Baldo Bento pernah mewarnai pentas sepak bola nasional. Eks striker timnas Indonesia ini membawa PSM Makassar juara Liga Indonesia 1999-2000.

Selain membawa Juku Eja juara, Bento masuk tiga besar daftar top scorer LI 1999-2000 dengan 21 gol. Dia hanya kalah tiga gol dari Bambang Pamungkas, top scorer saat itu dan kalah dua gol dari rekan setimnya, Kurniawan Dwi Julianto yang berada di peringkat dua.

Sejak 2013, Bento pulang kampung ke Timor Leste dan berganti paspor sebagai warga Timor Leste. Meski begitu, Bento mengaku intens mengikuti perkembangan sepak bola Indonesia yang pernah membesarkan namanya. Memperingati 100 tahun PSM, kepada bola.com, Bento bercerita soal aktivitas di Timor Leste dan harapan terhadap PSM serta sepak bola Indonesia.

Anda masih terlibat bugar di usia 40 tahun. Apa resepnya?

Saya masih aktif main sepak bola di Timor Leste. Saat ini saya bergabung di Porto Taibessi, klub Divisi Utama sebagai pemain merangkap asisten pelatih. Di Porto, saya bemain sebagai gelandang serang, bukan striker lagi. Rencananya kompetisi akan digelar 5 Desember diikuti 22 klub dan hanya delapan klub teratas yang berhak promosi ke Liga Super.

Bisa ceritakan proses Anda bergabung dengan Porto Taibessi?

Prosesnya tidak rumit. Sejak kecil saya sudah berlatih di klub ini. Dulu, nama asal Porto adalah Hiber (Hitam Bersaudara). Lapangan tempat kami berlatih hanya berjarak 200 meter dari rumah keluarga besar saya. Terus terang, pada awalnya, saya sudah berniat pensiun dari sepak bola ketika kembali ke Timor Leste. Saya membantu bisnis keluarga yang memiliki depo minyak di Tibar, sebuah kecamatan yang ditempuh sekitar 30 menit dari Dili. Tapi, paman saya, Pedro Bayasa, yang melatih Porto mengajak saya bergabung. Saya tidak bisa menolak karena darah saya adalah sepak bola.

Advertisement

Terkait PSM yang tahun ini berusia satu abad, apa yang ingin Anda ungkapkan?

Bermain selama tiga musim di PSM jadi kenangan terindah dalam karir saya. Di PSM, saya mendapatkan segalanya. Mulai gelar juara, kebanggaan, dan keluarga. Semuanya di Makassar. Oleh karena itu, saya sangat prihatin melihat prestasi PSM yang kian melempem dari tahun ke tahun. Praktis, sejak tampil superior pada LI 1999-2000, PSM tidak pernah lagi juara Liga Indonesia.

Saat LI 1999-2000, PSM disebut tim impian. Ada tanggapan?

Indikatornya jelas. Selain gelar juara, pemain terbaik juga digaet Bima Sakti. Dua pemain PSM, saya dan kurniawan masuk tiga besar top scorer liga.

Ada kenangan apa yang Anda ingat dari masa itu?

Saya sangat respek terhadap Kurniawan. Saya punya cerita, sebenarnya Kurniawan bisa jadi top scorer musim itu, andai dia mau jadi eksekutor penalti. Dia selalu menolak jadi algojo kalau PSM mendapat penalti. Saya malah kerap memaksanya. Ada enam kali dia menolak tawaran itu. Seharusnya dia bisa mencetak lebih dari 23 gol dan jadi pencetak gol terbanyak.

Terkait kondisi sepak bola Indonesia. Apa komentar Anda?

Seperti insan sepakbola lainnya, saya berharap para pemangku dan penentu kebijaksanaan bisa duduk bersama. Hilangkan ego dan kepentingan tertentu demi nasib belasan ribu pemain di berbagai kasta. Belum lagi nasib mereka yang terkait dengan sepak bola seperti offisial, pedagang, juru parkir dll. Danj yang terpenting, kompetisi wajib dijalankan. Tidak ada prestasi yang lahir tanpa kompetisi berjenjang.

Harapan Anda untuk PSM?

Saya berharap HUT ke-100 jadi momentum kebangkitan PSM.

Berita Terkait