Bola.com, - Menebak isi kepala dan hati Valentino Rossi seusai insiden clash dengan Marc Marquez di Sirkuit Sepang, Malaysia, butuh pengamatan jeli dan mendalam.
The Doctor yang dikenal spontan dan selalu menghargai tinggi kemampuannya sendiri, menunjukkan sisi lainnya. Kepercayaan diri Rossi mengerut saat berdiri di podium MotoGP Malaysia sebagai rider peringkat ketiga, 25 Oktober lalu. Mungkin setelah sekian lama, baru kali itu Rossi terlihat gugup. Senyumnya aneh, tak lepas seperti biasanya.
Baca Juga
Badai hebat sepertinya berkecamuk dalam kepala pebalap Movistar Yamaha tersebut. Pengalaman 20 tahun berkecimpung di arena Grand Prix membuat insting Rossi terasah, bisa meraba apa yang akan terjadi. Pria kelahiran Urbino, Italia, tersebut tahu benar aksinya di Turn 14 lap ketujuh harus ditebus mahal.
Satu kubu meyakini Rossi sengaja menendang Marquez dengan menyodorkan berbagai argumen termasuk analisis rekaman video. Kubu lain memercayai sebaliknya. Marquez lah yang “menyodorkan diri” ke kaki The Doctor, juga disertai analisis rekaman video yang tak kalah mendalam. Tak pernah ada titik temu. Mungkin kita harus menunggu dahulu terbitnya buku “The Untold Story” dari Rossi dan Marquez untuk mengetahui kebenarannya.
Kekhawatiran yang membuat The Doctor kikuk di podium memang terbukti. Tiga poin penalti dijatuhkan Race Director. Efeknya bagai pukulan telak di ulu hati. Hukuman start paling belakang di MotoGP Valencia sama saja mengebiri impian Rossi menjadi juara dunia untuk kali ke-10. Perumpaan yang dilontarkan mantan pebalap Honda itu tak kalah dramatis. Rossi menyebut penalti itu telah memotong kedua kakinya.
Skenario Dramatis
Seketika itu juga saya membayangkan skenario dramatis. Rossi mengumumkan pensiun dan jagat MotoGP terguncang. Mayoritas pencinta MotoGP mungkin bakal memaklumi jika “sang maskot” ngambek dan undur diri dari lintasan. Momennya sangat pas.
Prediksi saya masih terlihat masuk akal setelah sehari berselang pria yang pernah menggunakan nickname Rossifumi tersebut mengaku ragu tampil di Valencia. Toh, peluang juara dunia sangat tipis, atau bisa dibilang nyaris mustahil. Unggul tujuh poin tak lagi menjadi modal menguntungkan menyambut Grand Finale MotoGP di Sirkuit Ricardo Tormo.
Tapi, sosok Rossi yang melintas dalam angan saya waktu itu ternyata hanya ilusi. Tepat tiga hari setelah insiden Sepang, ia menggaransi akan tampil di Valencia. Komitmen merampungkan apa yang diperjuangkannya musim ini dibarengi dengan langkah mengajukan banding atas penaltinya ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Banding Rossi memang akhirnya ditolak. Tapi, keputusan The Doctor bertarung di Valencia tak direvisi.
Ah, mungkin saya memang tak mengenal sosok pebalap MotoGP terhebat sepanjang masa itu. Demi mencari referensi lebih mendalam tentang pebalap fenomenal asal Italia tersebut, saya menyempatkan diri menelepon seorang sahabat di Solo pada suatu tengah malam.
Sahabat saya ini seperti kamus berjalan jika menyangkut Raja MotoGP tersebut. Kecintaan terhadap pria 36 tahun itu membuatnya rajin melahap berbagai informasi tentang Rossi. Dia lebih hafal nama-nama anggota keluarga, teman-teman, dan mekanik The Doctor, dibanding menteri-menteri di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo atau anggota DPR misalnya.
Tak terasa hampir satu jam kami mengobrol tentang Rossi dari berbagai sisi. Mulai insiden Sepang (yang membuatnya kesal bukan kepalang), masa kecil The Doctor, hubungan Rossi dengan teman-teman, hingga suka-duka di Honda dan Ducati. Saya kemudian mengajukan pertanyaan singkat untuk menyimpulkan perbincangan ngalor-ngidul malam itu. “Apa alasanmu menyukai Rossi?”
Dia terdiam sejenak. Tak lama kemudian jawaban tumpah bak air bah. Deskripsinya padat, ringkas, dan jelas. Rossi pebalap unik. Skill-nya di lintasan mungkin bisa disaingi, namun pebalap yang identik dengan nomor 46 tersebut berkepribadian menyenangkan. Spontan, usil, hangat, dan tak pernah bertingkah seperti selebritas.
“Yang terpenting, Rossi adalah sosok yang tak mudah menyerah, selalu suka tantangan. Gambaran sosoknya tepat seperti judul buku autobiografinya,” kata sahabat saya.
Pada 2005, Rossi merilis autobiografi dengan sampul dominan biru berjudul What if I Had Never Tried It (Andai Saya Tak Pernah Mencoba). Sampul buku dihiasi foto Rossi mengenakan jaket warna biru, bibir terkatup dengan tatapan mata tajam namun ramah. Foto tersebut menjadi penggambaran sempurna judul yang dipilih. Seseorang yang tak gentar mengambil risiko dan berani menantang dirinya sendiri.
Sifat menyukai tantangan sudah muncul sejak Rossi masih bocah. Di kala anak-anak di Tavullia, kota tempat tinggalnya setelah pindah dari Urbino, memilih berkutat dengan hobi bermain sepak bola layaknya seorang Italiano, Rossi menapaki jalur berbeda. Rossi kecil menghabiskan waktu dengan mengayuh sepeda untuk menjajal rute-rute datar hingga berliku di Tavullia.
Tinggalkan Honda
Itu hanya contoh kecil. Judul buku tersebut lebih merujuk kepada salah satu keputusan besar dalam hidup The Doctor, ketika nekat meninggalkan Honda menuju Yamaha.
Banyak yang menganggap Rossi terlalu berani berjudi melawan nasib saat meninggalkan singgasana Honda yang harum dan masyur pada akhir musim 2003. Motor Honda kala itu mengggaransi datangnya gelar. Cepat, tangguh, nyaris tak tersentuh. Namun, justru kedidgayaan itulah yang mendorong Rossi bergeser menjauh. Dalam “kamus balap” Rossi, manusia diposisikan lebih penting daripada mesin. Nasib motor bergantung dengan kecerdasan sang pebalap, bukan sebaliknya.
“Saya menginginkan tim yang mementingkan peran pebalapnya dan yang lebih memercayai pengalaman dan sensitivitas manusia daripada data komputer semata. Sebuah tim yang tenang dan santai. Sebuah tim yang memberi saya, juga kepala mekanik saya Jeremy (Burgess), kesempatan untuk mengembangkan motornya,” ungkap Rossi mengenai alasannya meninggalkan kenyamanan di Honda demi tantangan baru di Yamaha.
Suasana paddock Honda sangat kaku, serba teratur, dan sedingin mesin. Bertolak belakang dengan karakter spontan, cair, dan hangat khas Italiano di nadi The Doctor. Merasa terkekang dan kontribusinya tak dihargai, Rossi hengkang.
Kepindahan Rossi diiringi kesadaran penuh kariernya mungkin bakal melorot, tak bisa menang sesering biasanya. Banyak yang mencibir keputusan Rossi meninggalkan Honda, salah satunya sang seteru, Max Biaggi. Di mata Biaggi, The Doctor mengambil langkah konyol, meninggalkan motor juara ke tim Yamaha yang miskin prestasi. Rossi bergeming. Hasilnya?
Alih-alih prestasinya terjun bebas, pria berusia 36 tahun yang selalu memakai anting di telinga kirinya itu langsung juara di seri perdana bersama Yamaha di Sirkuit Welkom, Afrika Selatan. Ia satu-satunya rider yang memenangi dua balapan beruntun bersama pabrikan berbeda. Tamparan keras untuk Biaggi, yang sempat meremehkan.
Pukulan telak untuk Honda datang di akhir musim. Valentino Rossi langsung juara dunia di musim pertamanya bersama Yamaha. Apa jadinya jika saat itu Rossi tak berani mencoba bertualang bersama Yamaha?
1
Masa Suram di Ducati
Selain kepindahan dari Honda ke Yamaha, kisah Rossi meninggalkan Yamaha dan bergabung dengan Ducati lebih menarik dibahas. Spekulasi bermunculan bak cendawan di musim hujan tentang alasan Rossi pindah ke Ducati. Uang disebut-sebut sebagai motivasi utamanya. Tudingan ini dibantah The Doctor. Gaji Rossi di Yamaha dan Ducati tak terpaut jauh.
Belakangan terungkap empat alasan yang mendorong Rossi menyeberang ke tim pabrikan Italia tersebut. Pertama, sosok Masao Furusawa. Orang nomor satu di Yamaha tersebut memutuskan pensiun di akhir musim 2010. Furusawa menjabat sebagai Executive Officer of Engineering Operations Yamaha, Godfather-nya Yamaha YZR-M1. Kolaborasi Furusawa, Rossi, dan Jeremy Burgess, menghasilkan kemenenangan di 44 seri MotoGP dan 4 mahkota juara dunia, musim 2004, 2005, 2008, dan 2009. Tanpa Furusawa, Rossi sulit menebak masa depan Yamaha.
Alasan kedua, sosok Filippo Preziosi, manajer umum Ducati. Karakter Preziosi mirip dengan Furusawa saat menyambut kepindahan Rossi dari Honda pada 2004. Mereka meyakini Rossi mampu membawa perubahan dan katalis kemajuan tim. Rossi pun tertantang.
Ketiga, romantisme kebangsaan. Ducati tim Italia, tanah kelahiran Rossi. Alasan yang terakhir, Rossi merasa suasana di Yamaha sudah berubah. Cinta dan perhatian Yamaha terbelah. Meroketnya perfoma Jorge Lorenzo rupanya mengusik The Doctor.
"Motor Yamaha kini luar biasa dan mungkin yang terbaik. Yamaha juga punya pebalap hebat, khususnya Jorge Lorenzo,” kata Rossi. Tak mau jadi orang nomor dua, The Doctor kembali berjudi. Tapi, kali ini sang Raja MotoGP kalah.
Bersama Honda Rossi berkibar di puncak. Bersama Yamaha dunia berhasil dikuasai. Tapi, Ducati menjadi noda dalam buku prestasi putra Graziano Rossi ini. Harapan yang membubung di awal kepindahan, sedikit demi sedikit terkikis. Ducati Desmosedici yang ditunggangi Rossi sulit “dijinakkan”.
Keahlian Rossi beradaptasi dan mengembangkan motor baru bagai hilang tak berbekas. Musim 2011 berjalan mengenaskan. Rossi hanya sekali naik podium dan tercecer di peringkat ketujuh klasemen akhir.
Harapan memperbaiki performa pada musim 2012 juga kandas. Prestasi terbaik The Doctor malah hanya finis kedua di San Marino dan Prancis. Posisi keenam di peringkat akhir jelas bukan hasil mengesankan untuk Sang Dewa MotoGP.
Menyesalkah Rossi memutuskan hengkang ke Ducati? Malu iya, menyesal tidak. Dalam suatu wawancara dengan media, kekasih Linda Morseli tersebut mengaku tidak menyesali gabung Ducati karena saat itu terhampar tantangan besar menjadi juara dunia bersama tim baru.
Walaupun akhirnya gagal total, Rossi tak patah arang. Bila waktu dapat kembali diputar pun, Rossi mengaku tak akan merevisi periode suramnya bersama Ducati. Jadi, apa jadinya bila Rossi tak mencoba pindah ke Ducati?
Keajaiban atau Kegagalan
Dua momen penting dalam karier Rossi di arena MotoGP tersebut memiliki benang merah dengan kontroversi yang sedang mengemuka.
Lagi-lagi soal tantangan baru...tentang keberanian mencoba.
Start dari posisi paling belakang di MotoGP Valencia bukan posisi ideal untuk seseorang yang tengah menghadapi pacuan pamungkas perebutan titel juara dunia. Rossi memang tak harus finis pertama supaya merengkuh juara dunia untuk kali ke-10. Bahkan gagal finis pun Rossi masih unggul perolehan poin asalkan Jorge Lorenzo juga tak sukses mendulang angka.
Sayangnya, kans Lorenzo meraup poin seterang sinar matahari di musim kemarau. Dalam sesi kualifikasi MotoGP Valencia kemarin, pebalap berjuluk X-Fuera tersebut bukan hanya merebut pole position, tapi juga membukukan catatan lap terbaik sepanjang kariernya! Aura positif melingkupi pria Spanyol tersebut. Potensinya memenangi balapan ini terbuka lebar. Asalkan tak mengalami nasib sial, Lorenzo bakal naik podium. Misi Rossi semakin berat.
Jika Lorenzo finis pertama, Rossi wajib berada di urutan kedua untuk jadi juara dunia. Bila Lorenzo berada di posisi kedua, The Doctor wajib finis ketiga. Misi mustahil? Mungkin iya, mungkin tidak.
Ilmu forecasting (perhitungan yang objektif dengan menggunakan data-data masa lalu, untuk menentukan sesuatu di masa yang akan datang) yang canggih pun sulit membantu menjawab pertanyaan pelik tersebut. Jawabannya bakal menjadi misteri selamanya jika Rossi menyerah begitu saja, dengan membalap asal-asalan dan tanpa motivasi
Namun, jika tantangan itu diambil, bisa saja Rossi bakal menciptakan sebuah keajaiban terbesar di jagat MotoGP. It's never over till it's over. Alangkah dahsyatnya andai Rossi mampu melesat ke depan, naik podium, dan jadi juara dunia. Momen tersebut dipastikan mendapat posisi terhormat dalam lembaran sejarah MotoGP.
Ada juga kemungkinan balapan berakhir datar, Jorge Lorenzo juara dan The Doctor tercecer entah di mana. Yang jelas, kuncinya terletak pada keberanian Rossi untuk menantang dan memotivasi dirinya sendiri. Jika pria Italia itu masih konsisten dengan kalimat di bukunya ini, saya yakin dia berani menyambar tantangan tersebut.
Bayangkanlah kalau dulu saya tak pernah ikut balapan motor. Pasti semua jadi lain ceritanya. Bayangkan sekali lagi kalau saya sama sekali tak pernah mencobanya.