Bola.com, Jakarta - Langkah Rio Haryanto yang akan menyetorkan dana senilai 15 juta euro atau setara Rp 223 miliar demi mengamankan satu kursi di tim Formula 1, Manor Marussia, kembali memunculkan perdebatan lawas tentang pay driver.
Keberadaan pay driver alias pebalap yang membawa uang atau sponsor sendiri untuk mendapatkan tempat di suatu tim sebenarnya bukan hal baru di arena F1. Hal itu sudah eksis sejak bertahun-tahun silam. Namun, setiap kali muncul seorang pay driver, saat itulah juga perdebatan kembali mencuat.
Baca Juga
Manuver Rio Haryanto tak lepas dari kritikan. Bos Mercedes, Toto Wolff, terang-terangan menyindir pedas. Dia mengatakan apa yang dilakukan pebalap asal Solo, Jawa Tengah, tersebut berpotensi merusak Formula 1. Uang yang disiapkan Rio untuk Manor dianggap terlalu besar. Menurutnya, untuk tim sekelas Manor, Rio tak seharusnya menyetor uang yang nilainya sebesar itu.
Tapi, Wolff mungkin lupa, tim seperti Manor justru butuh biaya besar untuk mengarungi satu musim Formula 1. Menariknya, mulai musim 2016, Manor akan memakai mesin baru dari Mercedes, yang dipimpin oleh Wolff. Mengapa Manor harus menerapkan kebijakan merekrut seorang pay driver? Itulah solusi paling praktis untuk tetap bisa berpartisipasi di ajang F1 dalam kondisi sangat sulit menggaet sponsor.
Bukan Kebijakan Baru
Kesepakatan yang tercipta antara Manor dan Rio Haryanto bukan kebijakan baru di tim itu. Eksistensi pay driver di Manor dimulai menjelang musim 2013, saat tim itu masih berlabel Marussia.
Dalam sebuah konferensi pers menjelang bergulirnya F1 musim 2013, Marussia resmi melepas pebalap mereka, Timo Glock, dengan alasan komersial. Pria Jerman itu adalah pebalap andalan Marussia sejak tim tersebut terjun ke ajang balap jet darat pada 2010 (dengan nama Virgin).
Bahkan, Glock sebenarnya sudah meneken kontrak untuk terus membalap di Marussia bersama Max Chilton pada musim 2013. Namun, situasi berubah dan Glock harus menerima kenyataan didepak dari tim.
Seperti dilansir BBC, bagi tim seperti Marussia, kebutuhan menggaet pebalap yang membawa uang atau sponsor sendiri sangat krusial. Mereka butuh dana tambahan untuk menutup biaya berlaga di F1 yang mencapai lebih dari 40 juta poundsterling atau setara Rp 821 miliar per musim.
Tak heran, Marussia pun berani buka-bukaan tentang kebijakan mereka. Saat jumpa pers membahas kontrak Glock, mereka terang-terangan mengumumkan bakal melibatkan pay driver dalam model bisnis yang dipakai.
Awalnya, Marussia merasa sanggup bertahan dengan menggunakan satu pebalap pay driver dan satu pebalap biasa yang harus digaji. Tapi, perubahan ekonomi global mengubah segalanya. Sponsor semakin sulit digandeng sehingga tim kian sulit memenuhi gaji pebalap. Marussia akhirnya memilih sepenuhnya menggunakan pay driver.
Itulah yang terjadi pada Glock. Pebalap Jerman tersebut memang membawa sponsor ke dalam tim, namun gajinya lebih besar daripada dana yang dihasilkan dari sponsor yang mendukungnya. Kondisi ini membuat Glock akhirnya terdepak.
Heikki Kovalainen mengalami situasi serupa pada 2009 setelah didepak oleh McLaren. Dia akhirnya berlabuh ke Lotus Racing, yang kemudian berganti nama menjadi Caterham. Namun, Caterham, akhirnya juga memilih model pay driver. Setelah memiliki seorang pay driver, Charles Pic, tim tersebut memutuskan menambah satu lagi pebalap yang mampu membawa dana dan sponsor.
Sejarah Panjang Pay Driver
Ditarik lebih panjang ke belakang, fenomena pay driver sebenarnya sudah sangat jamak. Sergio Perez, rekan setim Jenson Button di McLaren pada 2013, bisa bergabung ke tim tim F1 Sauber pada 2011 berkat dukungan dana dari negaranya, Meksiko. Dalam hal ini, dia jelas seorang pay driver.
Hal sama juga terjadi di Williams. Mereka menggaet pebalap Venezuela, Pastor Maldonado, pada awal 2011 karena embel-embel sponsor yang menyertai. Maldonado membawa dana segar 30 juta poudsterling yang berasal dari perusahaan minyak di Venezuela. Kesepakatan itu bahkan langsung melibatkan Presiden Venezuela, Hugo Chavez.
Meskipun berstatus pay driver, tak ada seorang pun yang mengatakan keduanya tak layak berada di F1. Keduanya jelas pantas berpartisipasi di ajang balap mobil paling prestisius tersebut.
Maldonado mampu memenangi balapan di Spanyol pada musim 2012, sedangkan Perez juga tampil tak mengecewakan. Pada kasus mereka, uang yang dibawa berfungsi memuluskan langkah menuju tim F1. Di sisi lain, mereka memang punya kemampuan untuk bersaing di kancah balap jet darat.
Fenomena pay driver bisa dibilang sesuatu yang sulit dihapus dari olahraga yang sangat mahal seperti F1. Bahkan karier sejumlah pebalap hebat juga tak lepas dari pengaruh dukungan uang.
Pebalap Argentina Juan Manuel Fangio, juara dunia lima kali pada periode 1950-an, mungkin tak akan pernah merambah Eropa tanpa dukungan pemerintahan Juan Peron.
Sebastian Vettel tak akan terjun ke F1 tanpa bantuan Red Bull sejak dia masih bocah. Begitu juga dengan juara dunia tiga kali, Lewis Hamilton. Karier Pebalap Inggris itu mendapat dukungan dana besar dari Mclaren.
Deal antara Ferrari dan Fernando Alonso juga tak lepas dari campur tangan sponsor. Tim Kuda Jingkrak memang naksir berat terhadap Alonso. Namun, faktanya kesepakatan kedua kubu berjalan mulus berkat deal dengan bank asal Spanyol, Santander, yang bersedia jadi sponsor.
Faktanya, hampir semua pebalap harus menemukan sumber dana untuk melancarkan langkah mereka menuju F1. Tak terkecuali Rio Haryanto yang kini tinggal selangkah lagi bakal tampil di ajang F1 bersama Manor. Putra pasangan Sinyo Haryanto dan Indah Pennywati ini mendapat dukungan dana senilai 5 juta euro dari Pertamina. Sedangkan 10 juta lainnya sudah dijamin oleh Pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kemenpora lah yang akan mencarikan dana tersebut untuk Rio.
Tak Terganggu
Rio Haryanto pun tak terganggu dengan sindiran Wolff. Dia tetap fokus menunggu hasil verifikasi dari Federation Internationale de l'Automobile (FIA) untuk bisa terjun ke balapan F1 musim 2016.
“Sejak pertama kali lomba F1 digelar, harus ada seseorang yang menanggung biaya kompetisi. Baik itu tim, sponsor, bahkan pemerintah, dan presiden dari suatu negara. F1 bukan sekadar olahraga, tapi juga erat kaitannya dengan bisnis karena audiensnya mencapai 1,8 miliar pasang mata,” kata Rio melalui email kepada bola.com, Sabtu (2/1/2015).
Melihat kondisi F1 yang semakin sulit menarik sponsor dan kian ditinggalkan penggemar, fenomena pay driver sepertinya akan tetap ada. Sepanjang F1 masih menjadi olahraga yang mahal, selama itu pula pay driver bakal tetap eksis.