Bola.com, Sleman - Aktivitas kompetisi sepak bola nasional baik Liga Super Indonesia (ISL) maupun Divisi Utama hampir setahun vakum. Para pelaku baik pemain hingga pelatih merasakan dampak yang cukup besar. Termasuk dua pelatih Seto Nurdiyantoro (eks PSIM Yogyakarta) dan mantan pelatih Perserang Serang, Widyantoro.
''Sementara saya lebih banyak di rumah sambil ternak teri alias mengantar anak serta istri sekolah dan bekerja. Kadang-kadang lihat tempat cucian mobil dan lapangan futsal milik istri di daerah Godean, Sleman,'' ungkap Seto saat berbincang dengan bola.com di kediamannya, Perumahan Jogja Regency, Yogyakarta, Sabtu (09/01/2016).
Baca Juga
Setiap pagi, Seto mengantar anak pertama, Hafidza Shadrima ke SDN Sapen Yogya dan Nafeeza Salena ke TK yang tak jauh dari rumah. Sementara itu, sang istri, Hanita Kurniawati diantarnya ke salah satu kantor notari di Sleman.
Selama ini, mantan pemain Pelita Solo itu memang menjadi juru taktik skuat Pra PON DIY. Namun tak jelasnya kelanjutan babak kualifikasi PON Jabar 2016 membuatnya tak memiliki program jelas untuk Pra PON DIY.
Dampak berhentinya kompetisi benar-benar dirasakan Seto. Berkecimpung di dunia sepak bola selama 20 tahun, gairah ke lapangan hijau dirasakan sedikit luntur.
''Apalagi saya kan baru semangat-semangatnya melatih, malah tak ada kompetisi. Kadang-kadang masih main bola dengan pemain sebaya untuk menghilangkan penat. Mudah-mudahan masalah ini cepat selesai,'' tuturnya.
Kegiatan tak jauh berbeda dilakukan Widyantoro. Mantan pelatih Persis Solo itu setiap harinya jadi tukang ojek dengan mengantar-jemput dua putrinya ke sekolah. Rutinitas tersebut dilakukan selama empat bulan terakhir setelah gelaran Piala Kemerdekaan lalu
''Masih beruntung istri saja bekerja. Kalau tidak bisa tambah pusing karena tidak ada kegiatan apa-apa. Sempat ada tawaran melatih SSB di Magelang, namun belum saya terima,'' ungkap pria yang akrab disapa Wiwid di Magelang.
Pelatih yang semasa aktif bermain untuk klub Galatama BPD Jateng itu berharap konflik elite PSSI dan Menpora, Imam Nahrawi, segera usai. Sebab, kisruh tersebut dinilainya sangat mengorbankan para pelaku sepak bola, karena banyak kehilangan mata pencaharian.
''Kalau yang atas-atas sana konflik masih dapat penghasilan. Kalau seperti kami dan para pemain dapat uang dari mana?'' tutur Widyantoro.