Bola.com, Jakarta - Sepak bola Indonesia, khususnya Sumatra Barat mengenal Suhatman Imam (59 tahun) sebagai salah satu legenda. Di kalangan keluarga sepak bola Sumatra Barat, Suhatman dipanggil dengan Pak Haji. Ia tercatat melatih Tim PON Sumbar, PSP Padang, Semen Padang, hingga Persebaya dan kini menemai Nilmaizar dengan menjabat sebagai penasihat teknik Kabau Sirah.
Suhatman Imam telah malang melintang di dunia sepak bola sejak tahun 1970-an. Ia pun bercerita tentang masa mudanya, saat harus berpisah dengan sepak bola pada usia produktif. Umur Suhatman baru 21 tahun, ketika menerima kenyataan pahit mengalami cedera lutut. Padahal, karier sepak bolanya tengah menanjak, setelah ia menjalani pemusatan latihan PSSI usia muda di Salatiga pada tahun 1974.
Baca Juga
“Saya masuk PSSI A yang dilatih Wiel Coerver, saat umur 21 tahun. Setelah mengikuti Pra Piala Dunia pada tahun 1977, saya memperkuat Indonesia di Kejuaraan Asia U-21 di Bangkok. Saat itu saya menjadi kapten. Namun, saat itu juga saya mengalami cedera lutut,” katanya.
“Indonesia tak punya dokter ahli untuk cedera lutut (ACL). Jadi pada tahun 1970-an memang banyak pemain cedera yang kariernya terganggu. Saya salah satunya, selain itu Andjasasmara dan Sutan Harharah juga cedera dan tidak diobati maksimal,” imbuh Suhatman.
Pemeriksaan medis yang kurang maksimal membuat Suhatman langsung memutuskan pensiun. Ia bersyukur, setelah jadi pemain timnas, ia telah mendapat pekerjaan di BDN (Bank Dagang Negara-sekarang Bank Mandiri), yang diberikan oleh pemerintah.
Semangat sepak bola dalam diri Suhatman masih membara. Tiga tahun kemudian tepatnya pada 1979, ia mendirikan sekolah sepak bola bernama PS Kinantan di Padang. Beberapa murid PS Kinantan di antaranya Khairul Anshar, Aprius, Nilmaizar, Delfi Adri, hingga Indra Sjafri.
“Setelah cedera, saya langsung berpikir untuk membina anak-anak muda Sumatra Barat. Tujuan saya supaya ada generasi baru yang bisa berkiprah untuk sepak bola nasional,” ungkap Suhatman.
Setelah menjadi pegawai bank, Suhatman memang lebih fokus bekerja di kantor. Pada tahun 1985, Dirut PT Semen Padang secara khusus memintanya mengarsiteki Semen Padang. “Waktu itu negosiasinya antar-Direktur BDN dan PT Semen Padang. Jadi bisa dikatakan karier melatih saya di liga profesional (Galatama) diawali karena dapat tugas dari atasan,” kenang Suhatman.
Tentang Wiel Coerver dan Trio Pelatih Minang
Menjalankan tugas sebagai pelatih tak ubahnya seperti pekerjaan guru. Bisa guru sekolah, guru mengaji, atau guru karakter. Di sepak bola, Suhatman menerapkan ketiga metode tersebut. Sebagai guru, ia berusaha memberikan pemikiran kepada anak didiknya sehingga melahirkan karakter kuat.
“Teori di sepak bola tetap penting. Tahun 1994 saya membuka kurus kepelatihan di Padang, salah satu pesertanya Emral Abus. Dia adik angkatan saya, karakter dia begitu akademik jadi memang cocok mengembangkan ilmu sepak bola secara teori,” paparnya.
Sementara, tiga murid Suhatman yang lain, Indra Sjafri, Nilmaizar, dan Jafri Sastra punya karakter berbeda. Tapi, ada satu garis, menurut Suhatman, yang bisa mendefinisikan tiga pelatih itu jadi satu ungkapan, yakni karakter tegas.
“Indra dan Nilmaizar dari luar mirip, sama tegasnya. Tapi sebenarnya Jafri Sastra juga sama tegas, hanya penampilan dia saja yang lebih terlihat santai.”
Menurut Suhatman, jadi pelatih memang harus keras. Keras bukan berarti memaki-maki, tapi punya harga diri dan mampu mengendalikan semua aspek di tim. Hal itu ia pelajari kala ia dilatih Wiel Coerver. Dunia mengenal Coerver sebagai bapak sepak bola hingga ia dilabeli sebagai Albert Einstein-nya lapangan hijau.
Di mata Suhatman, Wiel Coerver tak hanya sebatas itu. “Dia tegas dan punya prinsip. Galak? Sudah pasti, bahkan ketika ayah saya meninggal dan PSSI A sedang melakukan tur Eropa, saya dilarang pulang. Tapi saya menentang keputusan itu dan akhirnya dia luluh,” ucapnya.
Satu dari sekian banyak ilmu yang ia dapat dari Coerver adalah pentingnya memahami pemain atau pelatih yang bagus adalah membentuk karakter sendiri, bukan dari pelatih.
“Pelatih hanya mengarahkan dan sebagai pemain akan membentuk karakter sendiri dari apa yang diberikan pelatih. Misalnya latihan fisik yang berat, setelah melakukan itu pasti ada banyak peningkatan yang didapat. Begitu seterusnya, dia minta pemain mengamati perkembangan diri dalam setiap sesi latihan. Seperti itulah Coerver mengajarkan kami untuk punya karakter yang dibangun secara alami,” jelas Suhatman, yang jadi bagian dari tim Semen Padang saat juara LPI dan lolos ke babak 8 besar Piala AFC.
Data-diri:
Nama: Suhatman Iman
Lahir: Padang, 26 Februari 1956
Karier Melatih:
1978: PS Kinantan
1981: PON Sumbar
1982: PSP Padang
1984: Pra PON Sumbar
1985-1992: Semen Padang
1992: PSSI Primavera
2000: PSP Padang
2002-2004: Semen Padang
2007-2008 Persebaya
2010-2011: Dirtek Semen Padang
2011: Semen Padang
2013-sekarang: Penasihat Teknik Semen Padang