Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia terhitung tidak berprestasi di level internasional. Jangankan bicara persaingan di Piala Dunia atau Piala Asia, di level persaingan tingkat Asia Tenggara, Tim Merah-Putih hingga kini belum bisa mengakhiri dahaga juara di ajang Piala AFF.
Walau begitu, pencapaian minimalis ini tak lantas membuat Indonesia kehilangan pamor di jagat sepak bola internasional. Fakta menunjukkan kalau sejumlah pesepak bola top dunia sempat singgah di Tanah Air. Tak hanya menjadi pemain, tapi juga pelatih.
Baca Juga
Mereka datang ke Indonesia dengan ambisi tinggi, ingin meningkatkan level kualitas sepak bola negara dengan populasi penggemar balbalan terbanyak di Asia. Bola.com mencatat setidaknya ada lima pesepak bola beken dunia yang pernah singgah di Tanah Air. Siapa saja mereka dan bagaimana kiprahnya di Indonesia?
1. Roger Milla
Roger Milla tampil fenomenal di Piala Dunia 1990. Di usia yang tidak lagi muda (kala itu 38 tahun), ia mengantar Kamerun menembus fase perempat final turnamen paling elite sejagat. Kamerun mencetak sejarah sebagai negara Afrika pertama yang menembus babak tersebut. Tim Singa Afrika tersingkir dengan kekalahan skor tipis 2-3 dari tim elite Inggris.
Di Piala Dunia 1996, Roger Milla mengoleksi empat gol hanya tertinggal dua gol dari Salvatore Schillaci, yang jadi top scorer turnamen. Empat tahun berselang penyerang kelahiran Yaounde, 20 Mei 1952, tampil kembali membela negaranya. Ia mencetak sebiji gol sekaligus mencatatkan diri sebagai pemain tertua yang mencatatkan nama di papan skor ajang World Cup.
Publik sepak bola nasional dibuat heboh kala Pelita Jaya merekrutnya di Liga Indonesia edisi pertama 1994-1995. Ia diboyong bos Pelita, Nirwan Dermawan Bakrie, dari klub Tonnere Kamerun, dengan kontrak yang kabarnya menembus angka Rp 500 juta.
Di usia yang sudah amat gaek untuk ukuran pesepak bola profesional, Milla masih terlihat kompetitif di level persaingan Liga Indonesia. Di Pelita pemain yang dikenal dengan aksi selebrasi goyang pinggul tampil di 23 laga dengan koleksi 13 gol.
Karena Pelita gagal juara kontraknya tak diperpanjang. Milla digaet Putra Samarinda. Bermain di 12 laga, Milla masih terlihat produktif dengan catatan koleksi 18 gol. Indonesia jadi pelabuhan terakhir karier Milla, pada 1996 ia memutuskan gantung sepatu.
2. Mario Kempes
Mario Kempes merupakan salah satu legenda bagi Timnas Argentina. Ia memperkuat tim berjulukan Tim Tango tersebut di tiga edisi Piala Dunia yakni 1974, 1978, dan 1982.
Namun, prestasi terbaik Kempes di timnas terjadi pada Piala Dunia 1978 di negara asalnya. Ketika itu ia berhasil menjadi pencetak gol terbanyak, dengan raihan enam gol. Tak hanya itu, bomber kelahiran 15 Juli 1954 tersebut juga terpilih sebagai pemain terbaik di dalam ajang empat tahun ini. Argentina yang dibela Kempes jadi yang terbaik di dunia pada 1978.
Sempat memutuskan gantung sepatu pada tahun 1995 seusai membela klub Fernandez Vial, Kempes tergiur mencoba peruntungan di Indonesia pada musim 1999.
Saat bergabung ke Pelita Jaya, Kempes diragukan bisa bersinar. Selain usianya sudah melewati masa emas, postur tubuh Kempes yang tambun tak mencerminkan dirinya sebagai pesepak bola profesional. Nyatanya, legenda hidup River Plate itu tetap tajam. Di Liga Indonesia 1999 ia mencetak 10 gol dari 15 laga.
Sayangnya ia hanya semusim di Indonesia. Selepas membela Pelita sang pemain memutuskan benar-benar pensiun dari gemerlap sepak bola.
2
3. Peter Withe
Peter Withe datang ke Indonesia sebagai pelatih setelah mempersembahkan dua kali gelar untuk Timnas Thailand di turnamen Piala AFF 2000 dan 2002.
Kehadiran pria yang kini berusia 64 tahun tersebut, membawa perubahan besar bagi sepak bola Indonesia. Ia juga merupakan orang yang menemukan talenta hebat dari Boaz Solossa yang bersinar di Piala AFF 2004. Walau Indonesia hanya jadi runner-up di Piala AFF, publik sepak bola nasional puas pada performa Tim Garuda yang tampil trengginas sepanjang turnamen sebelum dikalahkan oleh Singapura di laga puncak.
Sebelum banting setir jadi pelatih, Peter Withe terhitung pesepak bola tenar di Inggris. Bermain sebagai seorang striker, ia dikenal amat haus gol. Sepanjang kariernya ia mencetak 178 gol (satu di antaranya buat timnas Inggris).
Ia membawa timnya Aston Villa meraih gelar Piala Champions di tahun 1982 setelah mengalahkan Bayern Munchen. Kemenangan Aston Villa atas Bayern Munchen di final itu tak lepas dari peran Withe. Ia menjadi orang yang mencetak gol semata wayang kemenangan timnya di laga tersebut.
Selain di Aston Villa, Peter pernah bermain di klub-klub populer di Inggris macam, Birmingham City, Nottingham Forest, dan Newcastle United. Sayang di Indonesia, mantan penyerang yang dikenal jago dalam duel-duel udara kariernya berakhir tragis. Ia didepak sebagai pelatih Timnas Indonesia, karena gagal membawa Tim Merah-Putih melaju ke semifinal Piala AFF 2007.
4. Lee Hendrie
Pemain kelahiran 18 Mei 1977 tersebut, merupakan salah satu gelandang yang digadang-gadang menjadi bintang besar di timnas Inggris pada era awal tahun 2000-an. Namun, entah kenapa karier Lee Hendrie macet saat memasuki level senior. Berbanding terbalik dengan rekan seangkatannya David Beckham atau Paul Scholes.
Semenjak didepak Aston Villa pada musim 2006-2007, Hendrie berpindah-pindah klub dengan level permainan yang menurun. Kegemarannya berjudi dan menikmati dunia malam disebut jadi salah satu penyebab hancurnya karier sang pemain.
Pada tahun 2011 ia bergabung dengan klub Liga Primer Indonesia, Bandung FC. LPI merupakan liga saingan kompetisi resmi PSSI, Indonesia Super League, yang didanai oleh pengusaha minyak Arifin Panigoro. Keputusan Hendrie menerima pinangan Bandung FC kabarnya karena terpaksa. Ia sedang bangkrut dan tak memiliki klub.
Saat membela Bandung FC Lee Hendrie berhasil mencetak tiga gol, dari 16 pertandingan yang dilakoninya. Namun, klub tersebut Hendrie tidak bertahan lama, karena kompetisi LPI akhirnya bubar jalan pasca tumbangnya rezim kepengurusan Nurdin Halid di PSSI.
Dalam sesi wawancara dengan media Inggris, Lee Hendrie buka kartu kalau keputusannya merumput di Indonesia merupakan kesalahan terbesar. Sempat melakukan upaya bunuh diri, Hendrie akhirnya memutuskan pensiun setelah berkiprah di klub amatir Basford United pada 2014.
5. Wim Rijsbergen
Wim Rijsbergen memulai karier sepak bola lewat klub Leiden Roodenburg. Puncak karier Rijsbergen sebagai pesepak bola terjadi di Feyenoord Rotterdam pada musim 1973-1974. Saat itu, ia sukses meraih dua gelar yaitu Liga Belanda serta Piala UEFA.
Kariernya di timnas Belanda, bisa dikatakan cukup gemilang. Ia berhasil membawa Oranje ke final Piala Dunia 1974 dan 1978, meskipun harus puas di posisi runner-up. Rijsbergen juga membawa Belanda menjadi peringkat tiga Piala Eropa 1976.
Di zamannya Wim Rijsbergen salah satu bek tengah terbaik dunia. Ia dikenal sulit dilewati penyerang-penyerang top dunia.
Memulai karier kepelatihan pada 1988 sebagai pelatih junior Ajax Amsterdam, pada 2005 ia menjadi asisten pelatih Timnas Trinidad dan Tobago. Wim mendampingi pelatih top Belanda, Leo Beenhakker, dan berhasil meloloskan negara tersebut ke putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman.
Saat Leo berhenti dari Trinidad dan Tobago, Wim naik jabatan sebagai pelatih kepala. Hanya belum sempat memberi prestasi apa-apa ia dipecat karena terlibat keributan fisik dengan salah satu pengurus Federasi Sepak Bola Trinidad dan Tobago.
Pada awal tahun 2011, ia menerima pinangan melatih klub Indonesia, PSM Makassar, yang kala itu berlaga di Liga Primer Indonesia. Hanya menangani Tim Juku Eja setengah musim karena kompetisi bubar jalan, Wim dapat tawaran menarik dari PSSI pada awal 2012.
Ia diminta menggantikan Alfred Rield menjadi pelatih Timnas Indonesia. Sayang saat memimpin Tim Merah-Putih di Kualifikasi Piala Dunia 2014.
Sayang saat menukangi timnas banyak pemain resistensi dengan gaya kerasnya. Imbasnya penampilan Indonesia di sepanjang penyisihan amat mengecewakan. Menjelang laga penuntup kualifikasi melawan Bahrain ia dipecat.
Wim digantikan Aji Santoso. Hasil buruk didapat Tim Garuda dengan kalah 0-10 dari Bahrain. "Hasil 0-10 ini tidak membuat saya kaget. Pemain-pemain terbaik Indonesia berlaga di kompetisi ilegal. Jadi kami tidak bisa menyeleksinya untuk timnas. Bagaimana saya bisa membangun tim, kalau saya tidak bisa mendapat pemain-pemain terbaik," tutur Wim dalam sebuah sesi wawancara dengan media Belanda pasca dipecat.
Pencapaian buruk Timnas Indonesia tak bisa dibilang salah Wim Rijsbergen sepenuhnya. Kompetisi profesional Indonesia terbelah. Klub-klub anggota Indonesia Super League melepas pemainnya karena berseteru dengan PSSI. Timnas tampil dengan pemain hanya bersumber dari klub-klub Indonesia Primer League.