Bola.com, Jakarta - Berlaga hingga babak final di Piala Jenderal Sudirman (PJS) merupakan suatu hal yang di luar dugaan bagi Semen Padang. Pasalnya, sejak awal, target tim pelatih hanyalah lolos dari babak penyisihan grup. Kesuksesan tersebut, salah satunya tidak lepas dari sistem pertahanan yang diterapkan Nilmaizar.
Di saat sudah banyak tim Indonesia yang mulai mengikuti tren formasi 4-2-3-1, Nilmaizar tetap menerapkan gaya bermain 4-4-2 dengan empat bek yang berdiri sejajar, memasang garis pertahanan rendah, serta bek sayap jarang sampai ke pertahanan lawan. Salah satu kunci utama dari skema ini adalah peran seorang gelandang bertahan.
Selama PJS, Nilmaizar mempercayai Mamadou El Hadji untuk menjadi jenderal utama di lini pertahanan. Sedangkan untuk posisi gelandang bertahan, peran Yoo Hyun-koo seolah tidak tergantikan sejak 2010. Usai PJS, dua pemain ini dilepas oleh manajemen Semen Padang.
Baca Juga
Lalu, bagaimana performa Semen Padang setelah dua pemain kunci tersebut hengkang ? Teranyar, Piala Gubernur Kalimantan Timur (PGK) menjadi turnamen yang diikuti Kabau Sirah. Tim Urang Awak harus pulang lebih cepat setelah gagal bersaing dengan Persiba Balikpapan, Surabaya United, dan tim PON Kalimantan Timur.
Perbedaan yang cukup mencolok dalam permainan Semen Padang pasca PJS adalah tidak adanya seorang pemain yang mampu mengontrol lini tengah. Pemain anyar asal Brasil, Fernando Chagas yang diplot sebagai gelandang bertahan, bermain terlalu dalam dan statis.
Pada pertandingan pertama melawan Persiba, jarak yang begitu renggang tercipta antara Fernando dan Vendry Mofu. Hasilnya, banyak bola yang didistribusikan melalui sektor sayap. Tercatat, pada pertandingan melawan Persiba, jumlah umpan terbanyak Semen Padang dipegang oleh Hengki Ardiles (56), sedangkan saat melawan PON Kaltim, Novan Setya menjadi pemain terbanyak kedua dalam melakukan umpan (57).
Ketidakmampuan Fernando dalam melepaskan umpan panjang yang akurat menjadi salah satu yang kontras dengan Hyun-koo. Fernando memang baik dalam melakukan tugas sebagai tukang jegal, namun ia tidak cukup baik saat berperan sebagai dirigen lapangan tengah. Sebagai perbandingan, rasio umpan sukses Hyun-koo di PJS adalah 80%, sedangkan Fernando sendiri 75%.
Pada pertandingan ketiga melawan PON Kaltim, Nilmaizar mencoba bermain dengan tiga gelandang dengan Rudi diinstruksikan bermain agak ke dalam menemani Fernando.
Kombinasi umpan kedua pemain ini merupakan yang terbanyak, yakni sebanyak 114 umpan, dengan jumlah umpan sukses 98 kali. Namun masalahnya, bola terlalu banyak berada di tengah. Sehingga, Taffarel dan Nur Iskandar kerap terisolasi di lini depan tanpa adanya dukungan bola dari tengah dan sayap.
Jika dikombinasi antara Nur, Taffarel, dan Christovel Sibi, tercatat tiga pemain ini hanya mampu melepaskan total 10 tembakan di Piala Gubernur Kaltim! Sebuah angka yang sangat kontras jika dilihat dari jumlah penguasaan bola rata-rata Semen Padang yang mencapai angka 54%.
Dapat disimpulkan, perbedaan Semen Padang di PJS dan Piala Gubernur Kaltim adalah ketiadaan pemain yang mampu menjadi kreator serangan tim. Selain itu, tidak adanya pemain depan yang rajin turun menjemput bola, terutama jika melihat dari memprihatinkannya jumlah tembakan Semen Padang selama di Piala Gubernur Kaltim.
Kondisi ini membuat Nilmaizar dan jajaran manajemen Semen Padang harus memutar otak sebelum turun di turnamen selanjutnya.