Bola.com, London Senin, 21 Maret 2016, pebalap Formula 1 (F1) legendaris Ayrton Senna da Silva berulang tahun ke-56. Saya masih bekerja sebagai editor bidang "motorsports lifestyle and human interest" di sebuah tabloid otomotif Tanah Air 12 tahun yang lalu, saat peringatan 10 tahun wafatnya Senna di San Marino GP, 1 Mei 1994. Redaksi memperingati peristiwa nahas itu dengan menurunkan liputan khusus seputar kepergian sang legenda F1.
KALIMAT BIJAK BECO
Tugas menulis biografi Beco--panggilan kesayangan mendiang dari keluarganya-- jatuh ke tangan saya. Kala itu, perpustakaan redaksi kami berada dalam masa peralihan pra-internet menuju online. Selain mengirim email ke Instituto Ayrton Senna (IAS) yang dikelola kakak perempuannya, Viviane Senna Lalli untuk materi tulisan, saya tenggelam di antara tumpukan buku-buku dan majalah berisi ikon nasional Brasil ini.
Saat tugas saya rampung, bos bertanya bisakah diedit sendiri terlebih dahulu? Satu, karena kesibukan beliau. Kedua, tidak tega memotong-motong artikel karena Senna juga pujaan beliau.
Editor-editor lainnya angkat tangan dengan alasan takut terharu. Akhirnya, mengesampingkan rasa seperti yang dimiliki para editor, jemari saya mulai memangkas tulisan sendiri. Hasil akhir saya serahkan bos, diedit final, ditelaah kembali oleh dua editor, beberapa jam kemudian di-layout dan naik cetak.
Kejadian itu membawa saya pada sebuah pilihan dengan pemikiran, bahwa hal terindah mengenang seseorang adalah di hari kelahirannya. Ada kalimat bijak Senna yang mewakili perasaan saya, "the most important thing to all of us is to keep the good moments". Hal terpenting dari kita semua adalah mengenang momen yang indah.
SALAH DIKENALI
Kalimat Beco tadi juga terngiang di benak, setelah saya tinggal di Inggris sekarang ini. Meski lahir dan tumbuh di Brasil, Ayrton Senna besar serta matang di Inggris, sebelum akhirnya bermukim di Portugal, yang dalam hal bahasa dan cuaca lebih mendekati tanah kelahirannya.
Ada beberapa tempat di Inggris, yang membuat saya merasa Beco masih berada di Inggris, meski ia telah pergi 22 tahun silam. Paling dekat dengan kediaman kami adalah gerai waralaba McDonald's di 49 King's Road, Chelsea, London. Sang legenda mengalami kejadian menggelikan sekaligus mengesalkan di sini, karena ditebak kasir sebagai Alain Prost, musuh bebuyutannya. Ia cuma bisa memaki "caramba" yang diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai "bl**dy hell".
Bersama pasangan saya, kami berdua berkendara menuju Potteries Estate di Tilehurst, Reading, Berkshire, sekitar satu jam perjalanan dari London. Tujuannya melintasi Ayrton Senna Road, nama jalan yang ditahbiskan tahun 1995. Bintang kelahiran tahun 1960 itu pernah menyewa rumah di sini sekitar tahun 1980-an, dan kini, di area yang sama terdapat pula taman bermain berjuluk Ayrton Senna Play Area.
Warga setempat masih mengingat seorang pria muda asal Brasil yang pernah bermukim di dekat mereka. Dengan ban-ban balap bekas ditumpuk di halaman rumah, bebungaan mawar ditanam dekat pintu masuk, serta kamar mandi bercat menyilaukan mata. Tempat tinggal ini, memiliki akses mudah ke dua markas team F1 tempatnya bergabung kelak, McLaren di Woking (Surrey) dan Williams di Didcot (South Oxfordshire).
Di kesempatan lain, kami juga ke Norfolk, sekitar tiga jam dari London. Saat berlaga di Formula Ford di tim Van Diemen milik Ralph Firman, Senna pernah menyewa sebuah rumah dengan dua kamar tidur di Rugge Drive, Eaton, Norwich di tahun 1981.
Temuan terindah kami adalah Sirkuit Donington Park di Leicestershire. Di sinilah Senna memenangkan European GP 1993 dengan first lap spektakuler sepanjang sejarah F1 modern.
Pada tahun 1983, tempat ini juga pernah menjadi tempat Senna melakukan test mobil balap Williams-Cosworth FW08C. Saat itu ia tengah merajai kejuaraan British Formula 3 dan berusia 23 tahun, sama dengan pebalap F1 pertama Indonesia, Rio Haryanto.
Sementara Senna-Fangio Memorial yang diilhami dari peristiwa dipertemukannya Ayrton Senna (juara F1 tiga kali) dengan Juan Manuel Fangio (juara F1 lima kali) di podium Sirkuit Interlagos, Brazilian GP 1993 setelah Senna meraih kemenangan, tampak berdiri tegak di samping lintasan balap Donington Park.
2
KELUAR DARI ZONA NYAMAN
Untuk meraih reputasi sebagai pebalap F1 terbaik dari generasinya, bahkan disebut oleh juara dunia F1 tiga kali Niki Lauda, sebagai terbaik sepanjang masa, Beco rela meninggalkan zona nyaman.
Mulai keluarga sampai segala fasilitas marga Senna da Silva di Sao Paulo. Ia juga meninggalkan cuaca Brasil yang bersahabat, menuju sebuah tempat di Inggris yang disebut Sir Murray Walker, komentator F1 kenamaan, sebagai "bleak Norfolk".
Beco mesti berdamai dengan cuaca beku Norfolk dan sekitarnya, sampai kehilangan istri, Lilian de Vasconcelos Souza. Ia memilih pulang ke Brasil dan tidak pernah kembali ke Inggris, karena gagal beradaptasi dengan cuaca.
Kesetiaan Senna adalah fokus kepada satu hal: balap. Hal ini diakui pula oleh sang mantan istri. Dedikasinya sebagai sportsman di pentas F1 sangat besar. Tak cuma berlaga di kokpit, namun ia juga memperjuangkan safety di sirkuit bagi rekan-rekan pebalap. Penggemar atau pengidolanya pun tidak hanya datang dari masa atau generasinya semata, namun sudah mengalami lintas generasi. Termasuk pebalap F1 Indonesia, Rio Haryanto.
Senna dan Rio memiliki gap generasi lebih dari 30 tahun, bahkan Rio baru berusia sekitar satu setengah tahun ketika sang legenda berpulang. Toh pebalap kelahiran Solo 22 Januari 1993 ini mengungkapkan, bahwa mendiang Senna adalah idolanya.
"Saya sangat suka filosofi dia. Senna adalah pembalap yang sangat fokus, sangat intens, dan sangat kritis terhadap dirinya sendiri,” ucap Rio.
Di dunia balap, terdapat banyak faktor, diantaranya mobil, teknis, kru, dan tim yang harus bekerja sama. Tetapi, lebih daripada itu, seorang pebalap harus memiliki kontrol atas semuanya.
Kontrol diri adalah unsur menonjol dari karakter Senna. Contohnya terlihat jelas saat ia menjawab pertanyaan jurnalis. Sebagai seseorang yang menghabiskan sepertiga usianya di Britania Raya serta bergabung dengan berbagai tim dan rekan setim dari Inggris mulai ajang gokart, Formula Ford, sampai F1, bahasa Inggris adalah santapan sehari-hari Beco. Namun ia selalu hening sejenak, bahkan sampai beberapa saat, sebelum memaparkan jawaban yang bernas dan begitu detail. Ia terlebih dahulu memikirkan dampak dari segala ucapannya.
3
DETERMINASI
Beco terkenal sebagai petarung gigih. “Di sirkuit kami berkompetisi untuk menang. Bila membiarkan ada celah di trek dan tidak ada kemauan untuk memperkecil jarak, maka namanya bukan lagi balapan,” ujarnya dalam sebuah kesempatan wawancara.
Tidak heran, bila ia juga dikenal sebagai pebalap tanpa rasa takut. Ngotot dan pantang menyerah. Uniknya, sisi humanis dia tetap terasah.
Seperti saat di sesi latihan melihat pebalap Eric Comas mengalami nahas, Senna langsung meminggirkan tunggangannya dan lari menyelamatkan. Sampai beredar seloroh di kalangan pebalap F1 bahwa Senna yang paling cepat membuat pebalap lain tersingkir dari lintasan, tetapi juga paling kilat menolong bila terjadi kecelakaan di trek.
Saat ia masih belia, keluarga besar Beco sempat was-was akan keseimbangan motoriknya, karena ia mengalami kesulitan naik turun tangga. Bila minta es krim, ia mesti diberi dua, karena salah satunya pasti jatuh saat dipegang. Tetapi begitu mendapat kado gokart mini, bakatnya langsung terlihat.
Kemurahan hatinya juga tampak sejak kanak-kanak. Saat ibunya, Neide Senna, membolehkan Beco mengundang teman-teman di hari ulang tahun, sang putra membawa kejutan. Ia memboyong anak-anak sebaya, baik kenal maupun tidak, dari kampung sekitar untuk diajak makan bersama.
Tanpa basa basi, setelah memenangi GP Brasil 1991, Beco berteriak bangga karena menangguk sukses di rumah sendiri, lalu memanggil-manggil ayahnya, Milton da Silva, untuk berbagi rasa sakit karena ia mengalami kram. Tangannya bekerja ekstra keras mengoperasikan perpindahan gigi setelah girboks mobilnya rusak.
Meski sudah begitu terkenal, sampai menyandang status "mystical" di kalangan penggemarnya di Jepang, Beco tetap membutuhkan Neide untuk menjahit sarung tangannya yang koyak, rata-rata lebih banyak bagian kiri karena ia adalah seorang kidal.
Begitulah sekelumit kenangan manis akan Beco, yang mengagumi pendahulunya, juara F1 lima kali Juan Manuel Fangio. Ia juga sanggup membicarakan seterunya Alain Prost tanpa pernah menyebut nama, Ia tidak pernah memandang remeh musuhnya meski bukan dari pentas F1 (Terry Fullerton, juara dunia gokart 1973). Ia senantiasa bersikap kompetitif, bahkan terhadap anggota keluarga sendiri yang berusia 23 tahun lebih muda, terutama dalam hal bermain jetski (Bruno Senna).
Sebuah sikap yang bisa dirangkum dalam satu kata: determinasi. Keinginan kuat. Seperti imbauannya untuk anak-anak di Brasil yang ditayangkan televisi: Let me say that whoever you may be in your life ... you must show great strength and determination and do everything with love, and with a deep belief in God. Siapapun dan menjadi apapun, kalian harus menunjukkan kekuatan, determinasi, dan mengerjakan apapun dengan cinta, serta kepercayaan yang penuh ke Tuhan.
Akhirnya, Parabéns a você, Ayrton Senna da Silva! Selamat berulang tahun. Kenangan tentang dirimu tak pernah usang, bahkan sanggup menginspirasi mereka yang baru saja mengenalmu.
*Ukirsari. Travel writer, mantan editor sebuah media otomotif cetak di Indonesia, saat ini bermukim di London.