Bola.com, Malang - Tidak banyak klub alumni kompetisi Galatama yang masih bertahan hingga saat ini. Salah satu yang masih eksis adalah Arema Cronus yang merupakan jelmaan dari Arema Malang.
Tim berjulukan Singo Edan ini usianya tergolong masih muda. Klub ini baru berdiri di tahun 1987. Artinya, usianya masih 28 untuk saat ini. Bandingkan dengan klub ternama di negeri ini yang mayoritas berusia lebih tua.
Baca Juga
Hebatnya lagi Arema jadi klub alumnus Galatama yang memiliki massa pendukung berlimpah layaknya tim-tim asal Perserikatan. Klub jawara Galatama 1993, Piala Indonesia 2005 dan 2006, Indonesia Super League 2009-2010 tersebut bak identitas bagi masyarakat Malang. Kelompok suporter Aremania amat setia dan punya loyalitas tinggi. Mereka selalu hadir di mana pun penggawa Kera-kera Ngalam bertanding.
Meski masih muda, tim ini sudah melahirkan beberapa pemain yang layak disebut legenda. Para pemain yang masuk jajaran legendaris ini didominasi oleh pemain yang menjuarai kompetisi Galatama 1992-1993. Ketika itu banyak pemain yang merupakan putra daerah yang muncul dan mencuri perhatian.
Siapa saja mereka? Berikut lima pesepak bola legendaris tersebut:
Singgih Pitono
Hingga saat ini belum ada striker Arema yang bisa menandingi kehebatan Singgih Pitono. Maklum, ketika memperkuat Arema selama kurang lebih sembilan tahun (1987-1996), dia bisa meraih gelar top scorer era Galatama tahun 1991 dan 1992. Gelar juara juga dipersembahkan kepada publik Malang pada kompetisi Galatama 1992-1993.
Singgih merupakan pemain dengan bakat alami. Dia ditemukan manajemen Arema saat tarkam di tempat kelahirannya, Tulungagung.Tendangan keras dengan akurasi tinggi yang membuat manajemen langsung tertarik.
Singgih jadi salah satu pemain generasi pertama Arema yang sukses bersinar. Pada tahun pertama, Singgih masih beradaptasi dari karakter tarkam ke Galatama. Maklum, dia bergabung pada usia yang masih muda, 20 tahun.
Hasilnya terlihat ketika Arema berbenah dari tahun ke tahun. Singgih bisa mengeluarkan andalannya, tendangan keras dengan akurasi jitu. Tidak jarang dia menjebol gawang lewat tendangan bebas. Duetnya kala itu dengan striker asal Papua, Mecky Tata, sangat disegani.
Singgih tercatat dua kali menjadi top scorer, yakni pada Galatama XI tahun 1991-1992 dengan torehan 21 gol dan Galatama XII 1992-1993 dengan 16 gol. Selain itu ia mampu menempatkan diri sebagai top scorer tim pada Liga Indonesia I di tahun 1994-1995 dengan 14 gol. Prestasinya ini membuat dia sempat terpanggil ke Timnas senior.
Di saat usianya tidak muda lagi, produktivitasnya menurun. Tahun 1996 jadi akhir era keemasannya. Dia hanya bisa mencetak empat gol dalam satu musim.
Di pengujung kariernya Singgih sempat mencoba peruntungan bersama Putra Samarinda, Persema Malang, dan akhirnya pensiun di klub kampung halaman, Perseta Tulungagung.
Namun demikian, jika menyebut nama Singgih, kesan sebagai striker tajam masih melekat kepadanya. Saat ini Singgih menjabat sebagai pelatih kepala di Akademi Arema Tulungagung.
Pada 2014 dia sempat jadi pelatih kepala Arema U-21 dan menembus delapan besar ISL U-21. Ini merupakan bentuk pengabdian kepada Tim Singo Edan, klub yang membesarkan namanya.
"Sebenarnya saya juga ingin sukses jadi pelatih seperti rekan seangkatan Aji Santoso, Joko Susilo. Tapi mungkin rejekinya harus membina pemain muda, jadi harus disyukuri," kata Singgih yang kini tinggal di Tulungagung.
Selanjutnya
Aji Santoso
Jika membahas legenda Arema, tidak akan lengkap jika nama Aji Santoso tidak turut disertakan. Sebab, Aji Santoso adalah produk lokal Malang yang paling sukses dalam karier di dunia sepak bola Tanah Air.
Aji masuk daftar skuat pertama Singo Edan karena dia bergabung tahun 1988, setahun setelah Arema berdiri. Bakatnya tercium oleh pelatih Arema waktu itu, Alm Sinyo Aliandoe, tepatnya saat Arema beruji coba dengan klub lokal PS Gajayana.
Menempati posisi sebagai bek sayap kiri, Aji bermain dengan mengandalkan kecepatan dan teknik. Sangat berbeda dengan karakter pemain Malang yang mengandalkan karakter keras. Maklum, Aji dibina sejak kecil dalam klub sepak bola.
Meski sejak duduk di sekolah dasar bermain bola, bakat Aji baru mulai terarah sejak bergabung dengan klub lokal AMS Kepanjen. Dua tahun di sana, pria kelahiran 6 April 1970 ini sering dipinjam klub lokal Kota Malang, seperti PS Gajayana hingga masuk skuat Persema Junior.
Pada 1988, dua pendiri Arema, yakni Lucky Zaenal dan Ovan Tobing, turun tangan langsung untuk mengajaknya bergabung dengan tim Singo Edan. Di usia yang masih 17 tahun, Aji bergabung Arema tanpa seleksi dan langsung jadi pemain inti.
Insting pendiri Arema bahwa Aji akan jadi pemain besar tak meleset. Belum genap setahun di Arema, dia dipanggil masuk Timnas Senior untuk pertandingan tournament King's Cup di Thailand tahun 1989. Waktu itu usianya masih 18 tahun.
Setahun berikutnya, Aji menempati posisi inti di Timnas Indonesia menggeser pemain seniornya, Jaya Hartono. Ketika bersama Arema belum meraih prestasi, Aji lebih dulu menyabet medali emas di ajang SEA Games 1991 Manila.
Pengalaman di timnas jadi modal pemain yang disebut salah satu bek sayap kiri Indonesia terbaik sepanjang masa membuat Arema tampil lebih trengginas. Dia pun ikut membawa Arema juara Galatama musim 1992-1993.
Setelah tujuh tahun jadi pujaan Aremania, Aji berpikir mencari suasana baru. Risiko tinggi diambilnya saat pindah menuju rival abadi Arema, Persebaya Surabaya, musim 1995.
Keputusan itu sekaligus jadi kenang pahitnya dengan publik Malang. Di tahun itu Aji didemo Aremania gara-gara memutuskan hengkang ke Persebaya, yang notabene musuh bebuyutan Arema. Sekitar 500 Aremania membentangkan spanduk berisi protes, tepat di depan hotel tempat resepsi pernikahannya dihelat.
"Saya sampai dicap sebagai pengkhianat. Tapi, saya tanggapi dengan tenang. Saya justru berprasangka baik bahwa Aremania protes karena mereka mencintai saya," ujarnya.
Setelah bermain di Persebaya, PSM, dan Persema, Aji balik ke kandang ke Singo Edan pada 2002. Tetapi, dia kembali tidak dalam kondisi fisik seperti dulu. Arema sempat terdegradasi ke Divisi I (2003). Sejak itu Aji mulai berpikir untuk pensiun.
Tahun 2004 dia memutuskan gantung sepatu di klub tempat dia memulai karier sebagai pemain profesional. Tidak butuh waktu lama bagi Aji untuk jadi pelatih papan atas. Hingga kini Aji sudah merasakan memegang Timnas Indonesia senior, Timnas Indonesia U-23, dan beberapa klub. Saat timnas vakum seperti sekarang, Aji kini fokus mengelola Akademi Asifa yang didirikannya di Malang.
Selanjutnya
Kuncoro
Kuncoro dikenal sebagai pemain belakang yang punya karakter khas Arema, keras dan tidak kenal kompromi ketika berhadapan dengan lawan. Urat takut pemain yang satu ini sepertinya sudah hilang saat dia masih muda.
Kuncoro dilahirkan oleh SSB Kaki Mas Dampit. Sebuah sekolah sekaligus klub yang banyak menelurkan pemain profesional era Galatama. Dia bergabung dengan Arema saat usianya masih 19 tahun di musim 1989.
Banyak pemain lawan yang lebih senior mengaku sudah keder, meski baru melihat wajah Kuncoro karena penampilannya bak preman ketimbang pesepak bola. "Dulu rambut saya gondrong dan memakai kalung rantai besi. Jaman jahiliyah istilahnya, karena aturannya ketika itu belum ketat. Prinsipnya, siapa mendekat langsung ambil," kata pria keturuan Madura ini.
Kuncoro jadi salah satu generasi emas Arema di era Galatama. Cara pemainnya yang keras menjurus kasar sangat digandrungi Aremania. Namun, risikonya dia akrab dengan kartu kuning dan merah. Tidak jarang Kuncoro baku hantam dengan pemain lawan.
Tetapi, berbagai catatan hitam itu justru membuat kecintaan Aremania terhadapnya tak pernah luntur karena dia berjuang dengan berbagai cara demi Arema.
Pemain timnas era 1990-an seperti Bambang Nurdiansyah, I Made Pasek Wijaya pun sempat merasakan keganasan Kuncoro saat berhadapan di lapangan. Mereka lebih memilih menghindar ketika harus berduel dengan pemain yang dijuluki tukang jagal ini.
Tetapi, setelah tujuh tahun bermain di Arema, dia ikut gerbong pemain yang hengkang di musim 1996. Kuncoro memilih pindah ke klub Assyabaab dan dilanjutkan dengan Mitra Surabaya.
Kuncoro sempat jadi kutu loncat dengan setiap tahun hengkang ke klub lain, seperti ke Persija Jakarta, PSM Makassar, kembali ke Arema lagi di tahun 2001, lalu pergi lagi ke sejumlah tim Jawa Timur dan Bali.
Tetapi, sebelum kembali ke Arema, Kuncoro pernah mengegerkan sepak bola nasional dengan keterlibatannya dalam kasus narkoba. Beruntung kebiasaan itu tidak membuat nyawanya melayang. Dia pun bertobat dan lebih religius.
Yang unik dalam perjalaman kariernya, justru Kuncoro mengakhiri karier sebagai pemain Persebaya Surabaya yang waktu itu terdampar di Divisi Utama tahun 2010. "Saya sempat dimarahi anak saya karena main untuk Persebaya. Tapi, mau bagaimana lagi," kenangnya.
Meski mengakhiri karier di tim rival, Kuncoro tetap dicintai Aremania dan manajemen Arema. Itulah mengapa sejak 2012 dia dipanggil kembali untuk bergabung dengan Singo Edan sebagai asisten pelatih.
Selanjutnya
4. Joko Susilo
Saat jadi pemain namanya tidak sepopuler seperti Singgih Pitono, Aji Santoso, Kuncoro. Sebab, prianyang akrab disapa Getuk ini tidak mengawali karer di Arema. Setelah memperkuat tim seperti Persikaba Blora, PPSM Magelang, Persibo Bojonegoro, dan Niac Mitra baru di tahun 1992 dia berlabuh ke Arema.
Selama di Tim Singo Edan dia lebih banyak jadi cadangan Singgih Pitono. "Saya ini hanya menang beruntung saja. Sebelumnya gabung Arema saya nyaris ke Pelita Jaya. Sudah latihan di sana, sebelum tiba-tiba dikontak manajemen untuk bermain di Arema. Saya akhirnya mengiyakan karena markas klub tersebut dekat dengan kampung halaman," cerita Getuk mengenang masa lalu.
Di Arema dia ikut merasakan gelar juara Galatama 1993. Dan Getuk pun sering jadi supersub untuk memecah kebuntuan. "Posisi saya dulu itu mirip seperti Sunarto di tim Arema sekarang, jadi penyerang sayap. Bertanding sebagai pemain pengganti tapi beruntung kadang cetak gol penentu," kata pria kelahiran," Cepu ini.
Getuk sempat hengkang dari Arema tahun 1995. Dia bergabung dengan tim elite seperti PSM Makassar dan Persija Jakarta. Tapi tahun 1998 dia kembali ke Arema hingga pensiun tahun 2003 silam.
Pengabdian terakhir Getuk itu yang menempatkannya sebagai legenda di tim kebanggaan Aremania itu. Bahkan saat manajemen kesulitan dana dia masih mau bertahan. Kesempatan main yang didapatkannya juga lebih banyak karena waktu itu Tim Singo Edan tidak banyak memiliki pemain bagus.
Setelah pensiun, pengabdiannya tak berakhir. Dia merintis karier sebagai pelatih dari bawah bersama Akademi Arema. Dia banyak menimba ilmu kepelatihan dari Benny Dollo yang jadi nakhoda klub pada periode tahun 2004-2006.
Setelah matang dia naik jadi asisten pelatih era Miroslav Janu musim 2007. Ia sempat jadi pelatih kepala tahun 2015 silam, menggantikan Suharno yang meninggal mendadak menjelang perhelatan Piala Presiden. Joko kini jadi asisten Milomir Seslija.
Walau punya kesempatan menjadi pelatih di klub lain Joko Susilo tetap setia berada di Arema, klub yang ia nilai memberi kenyamanan. "Arema sudah seperti keluarga sendiri. Sampai saat ini saya belum berfikir untuk pergi dari sini," ungkap Getuk.
Selanjutnya
Fransisco 'Pacho' Rubio
Label legenda tim sebenarnya lekat dengan pengabdian panjang. Namun pengecualian bagi pemain asal Chile, Fransisco 'Pacho' Rubio. Pemain yang satu ini sudah diberi predikat legenda Arema Indonesia meski hanya bermain setengah musim!
Dia datang pada paruh musim 2000 dengan total mencetak 10 gol. Dia dibawa oleh kakak kandungnya Juan Rubio yang waktu itu juga jadi bek Arema.Lantas apa yang membuatnya begitu digilai Aremania?
Tentu karakter meledak-ledaknya di lapangan. Dia sering disebut sebagai bad boy ketika sudah beraksi di lapangan.
Meskipun secara skill Pacho sebenarnya tergolong bagus. Hanya saja dia sering bereaksi terlalu berlebihan jika dikasari lawan dan wasit tidak memberikan hukuman.
Nama Pacho melejit ketika membawa Arema ke fase 8 besar Liga Indonesia 2000. Dia mengemas 3 gol di fase itu. Totalitasnya terlihat jelas di sini. Pacho sempat mengalami cedera retak di tulang tangan kanannya dan cedera di bagian kaki kanan setelah berduel dengan pemain asing Persikota Tangerang Armand Basille.
Namun, Pacho melakukan pembalasan di luar pertandingan. Dia memukul Basile didorong ganti Stadion Utama Gelora Bung Karno di laga delapan besar terakhir waktu itu.
Akibat serangkaian ulah dan tindakan kurang terpuji itu Pacho harus menerima kenyataan pahit. Dia mendapatkan skorsing dilarang main di Indonesia seumur hidup oleh komisi disiplin PSSI. Justru karena hukuman itu Aremania makin simpati kepada Pacho.
Fransisco 'Pacho' Rubio, yang begitu terusir dari Indonesia melanjutkan karier di Vietnam, terlihat amat mencintai Arema. Sang striker juga rajin menjalin komunikasi dengan Aremania dan memberi semangat pada tim saat menghadapi masa sulit. Jangan heran kalau penyerang asal Chile ini disebut pemain berhati singa.