Bola.com, Surabaya - Di era Peserikatan, Galatama hingga Liga Indonesia, Surabaya dikenal sebagai salah satu kota yang memiliki kultur sepak bola yang sangat kuat. Ini tak lepas dari keberadaan klub-klub besar di kota ini. Sebut saja Persebaya Surabaya, NIAC Mitra/Mitra Surabaya, dan Assyabaab. Tragisnya kisah indah masa lalu seakan tak berbekas saat ini.
Baca Juga
Kala masa jayanya klub-klub yang bermarkas di Kota Pahlawan mempunyai tempat di hati masa pendukungnya sendiri-sendiri. Bahkan beberapa orang bisa mendukung dua atau tiga klub itu sekaligus ketika mereka tampil di kandang. Hebatnya, meski mereka bersaing memperebutkan posisi terbaik di kompetisi, tidak ada aroma permusuhan di antara mereka maupun pendukungnya.
Persebaya sebagai klub tertua di kota ini memang sejak dulu memiliki jumlah suporter terbesar. NIAC Mitra/Mitra Surabaya berada di tempat kedua, dan Assyabaab di urutan berikutnya. Namun suasana kala itu sangat kondusif.
“Siapa pun yang bertanding di Surabaya, publik Surabaya ramai-ramai memberikan dukungan kepada mereka,” sebut Edy Yuwono Slamet, eks Sekretaris Persebaya di era 1990-an.
Namun masa-masa itu sudah berlalu. Seiring bubarnya kompetisi Galatama dan kemudian berganti menjadi Liga Indonesia, satu per satu klub di Surabaya rontok.
Praktis tinggal Persebaya yang masih tersisa di kota terbesar kedua di Tanah Air tersebut. Ngenesnya Tim Bajul Ijo kini limbung karena kasus dualisme.
Sejak konflik sepak bola nasional pecah di tahun 2010, dan Persebaya terbelah menjadi dua: Persebaya 1927 dan Persebaya ISL. Keharmonisan publik sepak bola Surabaya di masa lalu ikutan sirna. Suporter fanatik (Bonek Mania) serta publik Surabaya seakan tak mau mengaca pada sejarah tersebut.
Massa pendukung masing-masing klub saling ejek dan menjatuhkan satu sama lain. Hal ini terjadi lantaran mayoritas Bonek Mania merasa dizalimi oleh PSSI era Nurdin Halid kala itu. Persebaya merasa jadi korban konspirasi di Indonesia Super League 2009-2010.
Mereka menganggap Persebaya tidak seharusnya terdegradasi ke Divisi Utama jika PSSI tak memberikan kemenangan Walk Out pada laga penutup kompetisi menghadapi Persik Kediri.
Seperti diketahui, Persebaya seharusnya sudah menang WO ketika Persik gagal menggelar pertandingan di Kediri menyusul tidak keluarnya izin pertandingan dari kepolisian setempat.
Sebab, panpel Persik Kediri baru melaporkan izin dari kepolisian tak keluar H-1 jelang pertandingan. Padahal sesuai regulasi, panpel harus melaporkan minimal tujuh hari sebelum laga digelar.
Selanjutnya
Alih-alih memberikan kemenangan WO, PSSI mengalihkan pertandingan tersebut ke Palembang. Namun, Persebaya yang merasa dikerjai oleh PSSI tidak memberangkatkan timnya ke Palembang. Keputusan itulah yang membuat mereka dinyatakan kalah WO dan harus terdegradasi ke kompetisi kasta kedua.
Tak hanya itu, lahirnya Persebaya ISL (yang awalnya tampil di Divisi Utama) dinilai publik Surabaya adalah hasil sebuah rekayasa yang dilakukan PSSI. Sebab tim ini tak diperkuat pemain-pemain Persebaya di musim sebelumnya. Klub ini kerap diolok-olok Persebaya "Persikubar" karena materi skuat di Divisi Utama musim 2010-2011 dicomot secara instan dari klub Persikubar.
Singkat cerita, konflik ini semakin runcing ketika PSSI mengakui Persebaya ISL dan tidak menyertakan Persebaya 1927 di kompetisi Indonesia Super League (ISL) musim 2013. Di saat bersamaan Indonesia Primer League yang jadi wadah bagi Persebaya 1927 berkompetisi dibubarkan paksa oleh rezim baru PSSI hasil rekonsiliasi.
Keputusan PSSI yang dimotori duet Djohar Arifin Husin-La Nyalla Mattalitti ini memicu kemarahan yang lebih besar mayoritas Bonek Mania.
Mereka juga semakin antipati terhadap Persebaya ISL yang kembali mentas ke kompetisi kasta tertinggi. Imbasnya, ketika mereka bertanding di kandang, hanya sedikit massa suporter yang mendukung mereka. Betapa tidak, jumlah suporter di setiap pertandingan rata-rata di bawah 5.000 orang. Jumlah yang amat sedikit mengingat Surabaya punya banyak pencinta sepak bola.
Belakangan Persebaya ISL berganti nama menjadi Surabaya United (sebelumnya sempat Bonek FC), karena kubu Persebaya 1927 yang dimotori Cholid Goromah-Saleh Mukadar mendaftarkan hak paten penggunaan logo Tim Bajul Ijo.
"Jangan coba-coba menggunakan nama Persebaya, karena kami pemilik hak paten logo dan nama klub yang sah," ucap Saleh Mukadar melayangkan ancaman ke petinggi Persebaya 1927.
Mulai ISL musim 2013 hingga 2014 serta era pergelaran turnamen pada tahun 2015 Surabaya United seperti menjadi anak tiri di kota mereka sendiri. Pemilik klub Gede Widiade, tekor puluhan hingga ratusan juta rupiah per pertandingan karena minimnya dukungan penonton.
Mahalnya biaya sewa Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya yang mencapai Rp 105 juta per pertandingan membuat Surabaya United berencana pindah kandang ke Stadion Gelora Delta Sidoarjo ketika ambil bagian di Indonesia Soccer Championship 2016
mendatang.
Selanjutnya
Terkini, klub tersebut melakukan merger dengan tim amatir milik Kepolisian Indoonesia, PS Polri. Aroma Persebaya kian hilang dari tim ini.
Di sisi lain Persebaya 1927 dalam kondisi hidup segan mati tak mau. Mereka menjalani aktivitas latihan tapi tak punya medium berkompetisi. PSSI yang kini di bawah kendali La Nyalla Mattaliiti tetap tidak mengakui eksistensi klub tersebut.
Pihak swasta yang menggelar sejumlah turnamen di masa kompetisi tak satu pun mengundang klub yang dapat dukungan penuh dari Bonek Mania.
Kondisi internal Persebaya 1927 juga tidak bisa dibilang sehat. Mereka punya ganjalan tunggakan utang gaji pemain dan ofisial tim Persebaya 1927 pada IPL musim 2012 lalu. Bonek Mania kabarnya mulai gerah dengan petinggi klub yang mereka anggap tidak punya itikad baik menuntaskan masalah ini.
Peluang Persebaya 1927 bangkit dari kubur amat besar. Posisi PSSI saat ini tengah dibekukan oleh Menpora, Imam Nahrawi. Jika rezim kepengurusan di otoritas tertinggi sepak bola Tanah Air tumbang, mereka punya kans kembali jadi anggota PSSI.
Perasaan optimisme masih mencuat di kalangan Bonek Mania, yang sampai saat ini emoh mendukung Surabaya United.
Mereka yakin klub menyelesaikan utang gaji pemain. Saat ini Bonek Mania dan pengurus Persebaya 1927 membentuk tim kecil yang bertugas dan bekerja untuk mencari investor guna menghidupkan lagi Persebaya 1927.
“Kami kok yakin bisa. Karena dari hitungan kami, kebutuhan dana itu masih terjangkau dan bisa ditutupi. Asal semua elemen di tim kecil bekerja maksimal, Persebaya bisa bangkit lagi,” tutur Saputra, anggota tim kecil Persebaya 1927 dari unsur suporter.
Namun keyakinan tersebut tidak bisa menutupi fakta kalau sepak bola di Surabaya tengah mati suri. Pencinta sepak bola Kota Pahlawan kehilangan hiburan karena konflik dualisme Persebaya Surabaya. Sampai kapan derita mereka berakhir?