Bola.com, Jayapura - Meski belakangan pamor Persipura Jayapura meredup, tidak perlu disangsikan lagi Tim Mutiara Hitam adalah klub tersukses di Indonesia. Empat gelar juara, yaitu Liga Indonesia 2005 dan Indonesia Super League 2008-2009, 2010-2011, serta 2013, menjadi bukti kehebatan Persipura. Ditambah lagi: Boaz Solossa dkk. pernah jadi semifinalis Piala AFC 2014.
Namun, kehebatan itu sejatinya belum terasa sempurna. Alasannya karena tembok terakhir Persipura saat meraih empat gelar juara itu selalu dikawal kiper "asing".
Ketika juara Divisi Utama 2005, kiper utama Persipura adalah Jendry Pitoy. Ia masih mengawal gawang Tim Mutiara Hitam saat memenangi juara ISL 2008-2009. Sedangkan kala sukses jadi juara ISL 2010-2011 dan 2013, posisi kiper dijaga Yoo Jae-hoon. Seperti diketahui, Jandry berasal dari Manado, sementara Jae-hoon merupakan kiper asing asal Korea Selatan.
Baca Juga
Keterbatasan stok penjaga gawang andal dari Tanah Papua jadi salah satu alasan Persipura hampir tak pernah merekrut kiper lokal, setidaknya dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir.
Nyaris tak ada kiper ternama yang muncul dari provinsi paling timur Indonesia ini. Berbeda dengan posisi lain yang hampir senantiasa memunculkan bintang baru dalam setiap generasi. Hal ini pula yang jadi salah satu perhatian pelaku sepak bola Papua.
Legenda Persipura, Eduard Ivakdalam, berujar mayoritas pemain muda di Tanah Papua memang tidak tertarik jadi kiper. "Entah mengapa, tapi kebanyakan mereka ingin jadi striker atau gelandang. Mungkin karena posisi itu memungkinkan mereka mencetak gol," kata Eduard, yang kini lebih banyak meluangkan waktu melatih di SSB Putra Pasifik di Jayapura.
Kondisi kekurangan kiper lokal ini juga jadi perhatian Yoo Jae-hoon. Kepada bola.com, kiper berusia 32 tahun ini punya rencana indah untuk Persipura dan sepak bola Papua.
"Kelak bila saya sudah gantung sepatu, saya tidak akan pulang ke Korsel. Saya masih ingin di sini (Jayapura) dan jadi pelatih kiper di Persipura. Saya ingin membantu tim ini, juga sepak bola Papua, mendapatkan kiper yang andal. Saya ingin melatih kiper lokal Papua agar bisa bisa jadi lebih baik," kata Jae-hoon.
"Tentu, bila Persipura mengizinkan saya merealisasikan cita-cita saya itu," imbuh mantan kiper Daejeon Citizen itu.
Meski masih sebatas rencana, keinginan hati Jae-hoon itu pantas diapresiasi. Pasalnya, tidak banyak kiper asing yang bersedia berkarier di Indonesia sebagai pelatih selepas pensiun dari aktivitas pemain profesional.
Cita-cita kiper dengan postur 186 cm dan 73 kilogram ini tidak datang begitu saja. Kecintaan terhadap Persipura, Jayapura, Papua, dan sepak bola Indonesia yang mendasari keinginan itu.
Kaget Jayapura
Hingga sekarang, sudah enam tahun lamanya Jae-hoon berkarier di Indonesia. Meski banyak pemain asing lain yang lebih lama berkarier di negeri ini, enam tahun tetap bukan waktu yang singkat. Selama itu pula Jae-hoon merasakan suka dan duka bersama Persipura di Jayapura.
Waktu enam tahun itu mayoritas dihabiskan kiper kelahiran Ulsan, 7 Juli 1983, ini untuk menjaga gawang Tim Mutiara Hitam. Kendati, ia sempat membela Bali United pada ISL 2015 yang akhirnya terhenti, serta Pusamania Borneo FC di ajang Piala Gubernur Kaltim lalu. Namun, cinta yang membawanya kembali ke pelukan Persipura.
"Saya betah di Persipura karena tim ini punya kekompakan, kekeluargaan, dan kebersamaan. Beda dengan tim lain. Saya pernah memperkuat klub lain, tapi rasanya tak seperti di Persipura," tutur Jae-hoon dalam sebuah perbincangan dengan bola.com di Jayapura baru-baru ini.
Ia menambahkan, kebaikan manajemen Persipura yang diterimanya sejauh ini makin membuatnya sulit beranjak dari klub kebanggaan warga Papua itu. "Manajemen selalu membantu saya dan keluarga saya," ucapnya.
Situasi itulah yang sempat membuat Jae-hoon kesulitan menjawab ketika bola.com menanyakan hal apa yang membuatnya sedih selama membela Persipura. Jae-hoon butuh waktu agak lama sampai akhirnya ia menjawab dengan tertawa.
"Saya tak pernah sedih. Kalah dan menang dalam sebuah pertandingan merupakan hal wajar. Jadi, saya hampir tak pernah sedih," katanya blakblakan.
Jae-hoon lantas teringat masa-masa awal tiba di Jayapura. "Sebelum saya ke Jayapura, saya pikir kota ini sama seperti kota-kota lain di Indonesia, semisal Jakarta. Dulu, saya hanya mengenal Jakarta. Tapi, setiba di sini, saya kaget karena kotanya sangat jauh berbeda," ungkapnya dalam obrolan dengan bola.com di Hotel Yasmin, Jayapura.
Lambat-laun Jae-hoon merasa nyaman bahkan kerasan bermukim di kota paling timur di Indonesia ini. Pria ramah ini mengungkapkan rahasianya bisa beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di Jayapura.
"Saya bukan cari kota, tapi tim sepak bola. Puji Tuhan, pada tahun pertama gabung Persipura, saya bisa langsung mendapat gelar juara," katanya.
Usaha bapak dari satu putra ini untuk menyatu dengan rekan setim maupun warga sekitar pada masa awal berkarier di Indonesia juga pantas diacungi jempol. Layaknya pemain asing lain, bahasa jadi kendala utama yang musti diatasinya.
"Saya masih ingat, pertandingan pertama saya ketika Persipura melawan Pelita Jaya di Karawang. Saat itu saya baru seminggu gabung dengan Persipura dan belum bisa bahasa Indonesia. Jadinya, selama pertandingan saya hanya berteriak-teriak tak keruan," kenangnya.
Jae-hoon lantas belajar bahasa Indonesia begitu menyadari ia harus memahami bahasa negara ini agar bisa berkomunikasi dengan rekan setim. "Agak lama hingga membuat komunikasi menggunakan bahasa Indonesia lancar seperti sekarang, butuh waktu satu-dua tahun," ujarnya.
Keluarga Segalanya
Seiring berjalannya waktu, Jae-hoon kini dengan mudah menikmati hari-harinya di luar aktivitas pertandingan dan latihan. Ia sudah mengetahui banyak tempat indah di negeri ini yang bisa ditujunya bersama keluarga kecilnya di saat senggang.
Jae-hoon tidak sendirian dalam menjalani karier di Indonesia karena istri tercinta, Bae Jeong-hyeon, dan putra semata wayangnya, Yoo Ji-hoo, setia mendampingi dalam beberapa tahun terakhir.
Jeong-hyeon dan Ji-hoo kerap ikut serta dalam rombongan tim ketika menjalani laga tandang. Keduanya terbilang dekat dengan rekan setim Jae-hoon dan keluarga mereka. Ji-hoo, yang tampak aktif, ceria bermain bersama rekan-rekan sang ayah.
"Dia saya panggil Coco. Lucu," kata pelatih Persipura, Jafri Sastra, mengomentari Yoo Ji-hoo.
Berbeda dengan putranya yang lincah, istri Jae-hoon cenderung menutup diri terhadap media. Jeong-hyeon lebih suka perhatian hanya terarah kepada sang suami.
Di saat waktu luang, Jae-hoon menuturkan biasanya ia membawa istri dan putranya berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan di Jayapura atau bersantai di sejumlah pantai yang ada di Jayapura dan sekitarnya. "Bila Persipura away ke Jakarta, Surabaya, Bali mereka biasanya ikut sekalian berlibur," jelas Jae-hoon.
Keberadaan Jeong-hyeon dan Ji-hoo membuat Jae-hoon bisa berkonsentrasi dan makin termotivasi demi memberikan kontribusi terbaik pada Persipura. Apalagi, hingga laga ketiga Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 Presented by IM3 Ooredoo, penampilan tim Mutiara Hitam masih belum meyakinkan dengan hanya mengoleksi dua poin hasil dua kali bermain imbang.
Selain istri dan putranya, kiper yang sudah kebobolan tiga gol di TSC 2016 ini memiliki rahasia lain untuk mendongkrak penampilannya. Belakangan ini ia mengaku kerap menonton aksi-aksi Gianluigi Buffon saat menjaga gawang Juventus.
"Saya biasanya tak memiliki pemain idola, tapi akhir-akhir ini saya sering menonton Liga Italia, termasuk Juventus. Saya suka Buffon. Semakin berumur dia semakin matang. Ia mampu mempertahankan posisinya sebagai penjaga gawang utama di Juventus dan timnas Italia. Kalau bisa, tentu saya ingin sepertinya," tuturnya.
Dengan kualitas yang dimilikinya, dengan dukungan keluarga serta rekan setim, Jae-hoon tentu ingin mengembalikan Persipura ke trek sebenarnya; jadi tim yang disegani di kancah sepak bola Indonesia. Bila tugasnya itu sudah dituntaskannya, ia bakal menggapai cita-citanya, yakni melatih kiper-kiper lokal agar mampu jadi benteng terakhir yang kokoh bagi Tim Mutiara Hitam.