Kisah Heroik Lius Pongoh si Bola Karet di Indonesia Open 1984

oleh Erwin Fitriansyah diperbarui 03 Jun 2016, 07:30 WIB
Noslatgia Indonesia Open 1984 Lius Pongoh (bola.com/Rudi Riana)

Bola.com, Jakarta - Lius Pongoh hanya sekali meraih gelar juara di ajang Indonesia Open. Ia menjadi juara turnamen tersebut pada tahun 1984. Meski cuma sekali, kisah Lius dalam meraih mahkota juara tersebut layak dikenang karena ia harus melalui jalan yang berat dalam usahanya menjadi yang terbaik. 

Advertisement

Semasa bermain, Lius dijuluki si Bola Karet. Lius mengandalkan permainan gigih dan tak kenal menyerah untuk mengalahkan lawan. Ia tak memiliki smes dahsyat seperti yang dimiliki Liem Swie King. Senjata Lius adalah kegigihan mengejar kok ke seluruh area lapangan, sehingga lawan menjadi frustasi, kelelahan, hingga akhirnya kalah.

Sebelum tampil menjadi juara di Indonesia Open 1984, Lius melewati perjalanan berliku dalam karirnya. Ia dipanggil masuk ke pelatnas pada usia 19 tahun pada tahun 1979.

Setelah itu, ia tampil di sejumlah turnamen individu ataupun kejuaraan beregu Piala Thomas. Tak hanya bermain di nomor tunggal putra, Lius juga sempat bermain di nomor ganda putra bersama Christian Hadinata.

Setelah masuk pelatnas, Lius sempat mendapat cobaan karena menderita cedera pinggang pada tahun 1982. Atas saran sang ayah, Darius, yang melatihnya sejak kecil, Lius kemudian memutuskan keluar dari pelatnas untuk menyembuhkan cedera.

Setahun berada di luar pelatnas, Lius sembuh dari cedera pinggang. Ia kemudian merangkak lagi dengan tampil di kejurcab, kejurda, hingga kejurnas. Lius kemudian mengikuti seleknas dan berhasil kembali masuk ke pelatnas.

Setelah kembali ke pelatnas, Lius tampil di ajang Indonesia Open 1984. Turnamen ini adalah salah satu momen paling spesial dalam karir Lius Pongoh.

Sepanjang turnamen, Lius harus membagi konsentrasi karena sang mama, Kartini, sedang sakit kanker pankreas dan dirawat di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Saat malam, Lius yang ditemani rekannya sesama pebulutangkis pelatnas Richard Mainaky, menunggui sang mama di rumah sakit. Keesokan harinya Lius dan Richard yang berkawan sejak kecil tetap bertanding di Istora Senayan.

"Terus terang waktu itu saya tidak terlalu memikirkan pertandingan. Saya lebih memikirkan mama yang sedang sakit. Beliau sudah sakit dan dirawat sebelum turnamen Indonesia Open dimulai," kenang Lius.

Hasil undian kala itu menempatkan Lius berada dalam grup yang sama dengan jagoan Malaysia, Misbun Sidek. Namun sebelum bertemu Lius, Misbun lebih dulu kalah dari Richard Mainaky. Uniknya, langkah Richard kemudian dihentikan Lius.

"Kalau saja Misbun tidak kalah dari Richard, belum tentu saya bisa jadi juara. Mungkin saat melawan saya Richard sengaja mengalah, karena kasihan pada saya yang harus bolak balik ke rumah sakit. Dia kan juga sempat dilatih oleh papa saya sewaktu masih kecil," kata Lius sambil tertawa.

2 dari 2 halaman

2

Lius Pongoh, kini memiliki kesibukan untuk menjadi pemandu bakat dalam audisi bulutangkis yang digelar PB Djarum. (Bola.com/Arief Bagus)

Partai paling layak dikenang terjadi saat Lius berhadapan dengan Liem Swie King di babak perempat final. Saat itu pertandingan bulutangkis masih memakai sistem lama. Setiap gim berakhir di angka 15 jika tidak ada deuce.

Beda dengan sistem reli poin seperti sekarang, saat itu pemain baru mendapat poin ketika memperoleh kesempatan melakukan serve dan berhasil mematikan lawan. Jika gagal, kok akan berpindah ke lawan dan giliran lawan yang berpeluang menambah poin.

Pada gim pertama, Lius unggul 18-15 atas King. Namun pada gim kedua, Lius kalah telak 5-15. Kejadian spektakuler tersaji pada gim ketiga ketika King sudah unggul hingga skor 14-1.

Lius kemudian membuktikan kenapa ia dijuluki sebagai si Bola Karet. Saat itu Lius berjuang habis-habisan dan mengumpulkan poin sedikit demi sedikit. King yang tinggal butuh satu angka untuk menyelesaikan gim malah frustasi, terkejar, dan akhirnya kalah 14-15.

Setelah itu, pada babak semifinal Lius unggul dari pemain idolanya, Morten Frost Hansen, asal Denmark. Pada laga final, Lius kemudian menang dari Hastomo Arbi dengan skor 15-5, 10-15, 15-13. Sungguh ssebuah perjalanan yang luar biasa buat Lius Pongoh.

Hingga saat ini, Lius selalu menolak berkomentar banyak jika ditanya soal partai fenomenalnya lawan Liem Swie King itu. Ia menyebut hasil itu adalah pertolongan dari Tuhan.

"Hasil itu sudah diatur oleh Yang di Atas. Kebetulan saja saya bisa menang waktu itu. Saya tampil tanpa beban, tak memikirkan pertandingan karena pikiran saya hanya untuk mama yang sedang sakit. Mungkin karena tampil tanpa beban itu akhirnya saya bisa menang dan jadi juara," ucap Lius.

Lius kemudian mempersembahkan trofi dan gelar juara buat sang mama. Dua hari setelah laga final Indonesia Open 1984, Lius yang sedang berada di pelatnas dan bersiap melakukan latihan pagi mendapat kabar mamanya meninggal dunia.

Lius menderita cedera pada lutut kirinya pada tahun 1988. Ia kemudian memutuskan mundur dari pelatnas untuk memberikan kesempatan pada pemain yang lebih muda dan sehat.

Setelah pensiun, Lius tetap menggeluti dunia olah raga tepok bulu. Ia sempat menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI di era Ketua Umum Joko Santoso 2008-2012. Ia mundur dari jabatan di tengah jalan karena merasa beda visi dengan pengurus.

Saat ini, kesibukan Lius adalah menjadi salah satu anggota Satlak Prima. Ia juga menjadi pemandu bakat dari audisi bulutangkis yang sudah beberapa tahun belakangan ini digelar oleh PB Djarum untuk menjaring bibit pemain muda.