Bola.com, Jakarta -- Lewis Hamilton meraih kemenangan kedua pada musim 2016 di Sirkuit Gilles Villeneuve, Montreal, alias di GP Kanada, Minggu (12/6/2016). Efeknya signifikan. Dari tertinggal 47 poin usai GP Rusia dibanding rekan satu timnya, Nico Rosberg, Hamilton mampu memangkas margin tinggal sembilan poin hanya dalam dua race.
Perlu diingat, GP Spanyol tidak berarti apa-apa bagi duo pebalap Mercedes ini karena sama-sama tak finis setelah bertabrakan.
Kemenangan itu mengubah momentum Hamilton. Setelah kans mempertahankan gelar juara dunia terasa berat pada empat seri awal, pria Inggris tersebut kini mendapat angin segar. Perbedaan sembilan poin di Formula 1 terasa sangat kecil, karena bisa dengan mudah diputarbalikkan hanya dalam satu seri.
Baca Juga
Pada empat seri awal, saat Rosberg meraih empat kemenangan beruntun, sulit membantah jika musim 2016 diklaim sebagai saat yang tepat baginya menjadi juara dunia. Wajar Rosberg menginginkan gelar tersebut. Dialah pebalap yang setia di Mercedes sejak tim tersebut kembali tampil sebagai tim F1 pada 2010. Anak juara dunia F1 1982, Keke Rosberg, itu juga orang Jerman, yang terasa pas berada di tim asal Jerman. Saat timnya mendominasi pentas F1 sejak 2014, ia juga punya peluang sama besar untuk merengkuh gelar juara dunia seperti Hamilton.
Musim 2016 memang masih panjang karena ada 14 seri lagi hingga ditutup di Abu Dhabi. Masih akan banyak drama terjadi dalam perburuan gelar juara dunia. Pertanyaan yang muncul, apakah musim ini akan kembali didominasi Mercedes seperti pada 2014 dan 2015?
Mercedes tercatat meraih 34 kemenangan dari 38 seri pada musim 2014 dan 2015. Sedangkan pada musim 2016, tim asal Jerman tersebut sudah mengemas enam kemenangan dalam tujuh seri (empat Rosberg, dua Hamilton, dan satu lagi dimenangi tim Red Bull lewat Max Verstappen).
Namun, jika melihat lomba di Monako dan Montreal, potensi dua tim papan atas lainnya yaitu Red Bull dan Ferrari untuk mengakhiri dominasi Mercedes sangat besar.
Di Monako, Hamilton di tengah kondisi cuaca yang sulit, tampil brilian dan berani dengan strategi sekali masuk pit yang penuh perjudian. Namun, jangan lupakan kemenangan Hamilton di Monako sedikit-banyak terbantu kekacauan komunikasi di tim Red Bull. Sang pebalap Red Bull, Daniel Ricciardo, tertahan di pit dan harus melupakan peluang merebut kemenangan yang sudah di depan mata. Selain itu, dan ini yang paling penting, peningkatan performa Red Bull sangat terasa sejak Renault melakukan perbaikan di mesin mereka.
Hasil lomba juga membuktikan hal tersebut. Daniel Ricciardo, usai masalah di pitstop, hanya tertinggal 7,252 detik saat lomba berakhir. Bandingkan hasil di GP China saat Sebastian Vettel menempati posisi kedua dan tertinggal hingga 37,776 detik dari Rosberg. Tengok juga GP Bahrain ketika Kimi Raikkonen tertinggal 10,282 detik dari sang juara.
Di Montreal, margin waktu menyempit hingga hanya 5,011 detik saat Vettel finis kedua di belakang Hamilton. Di sirkuit yang dibangun di lokasi bekas Olimpiade Montreal 1976 itu, Hamilton juga unggul lewat strategi ban atau pitstop. Ferrari sejak awal menerapkan strategi dua stop (ultra soft-super soft dan super soft-soft) untuk Vettel. Sementara Hamilton sekali lagi menunjukkan daya tahan ban ultra soft Pirelli dengan sekali masuk pit untuk langsung menggunakan ban prime (soft). Namun, dari sisi performa mobil, baik Mercedes dengan Red Bull di Monako dan Mercedes dengan Ferrari di Montreal, nyaris tidak ada perbedaan.
"Sirkuit ini, yang sangat didominasi power (mesin), pada 12 bulan lalu kami tertinggal satu lap, dan kami kalah 1,5 detik di kualifikasi. Tahun ini, kami hanya kalah 0,3 detik. Ini adalah langkah dengan arah yang benar. Ada trek di mana Ferrari akan sangat kuat dan semoga kami mendapatkan kesempatan tampil kuat juga,” sebut Christian Horner, bos Red Bull.
Komentar Horner muncul setelah melihat pertarungan pada posisi empat dan lima antara Verstappen dan Rosberg. Meski berulang kali hampir tersusul, mobil yang dikendarai Verstappen mampu mengimbangi ketangguhan mesin Mercedes. Rosberg bahkan nyaris mengakhiri lomba di satu lap menjelang lomba berakhir saat memaksakan diri menyusul Verstappen di tikungan terakhir.
Prinsipal tim Ferrari, Maurizio Arrivabene, sepakat dengan Horner dan memuji kerja keras timnya. Bagi Arrivabene, selisih lima detik dari pemenang lomba dianggapnya sebagai bayaran atas upaya perbaikan yang dilakukan Ferrari. Di Montreal, Ferrari merilis versi update turbo mesin mereka yang terbukti mampu mendongkrak penampilan mobil, khususnya yang digeber Vettel.
Apa yang dilakukan Red Bull dan Ferrari untuk meruntuhkan dominasi Mercedes membuat F1 musim 2016 semakin menarik diikuti. Untungnya, situasi ini terjadi saat musim baru berjalan tujuh seri dan masih tersisa 14 seri.
1
Rio Versus Pascal
Bicara sepertiga musim alias tujuh seri yang telah berjalan, tidak lengkap jika tidak menilai penampilan pebalap Indonesia, Rio Haryanto. Membandingkan performa Rio dengan tim-tim papan atas jelas tidak adil karena ia tampil bersama tim terlemah di F1 saat ini.
Cara paling mudah adalah membandingkan dengan rekan satu timnya, Pascal Wehrlein. Pebalap yang tergabung di program Mercedes junior ini mungkin adalah rekan satu tim paling ideal bagi Rio pada musim perdananya. Alasannya, Wehrlein juga sedang berusaha membuktikan kemampuan.
Perbandingan diambil hanya dari sesi kualifikasi karena tidak ada unsur strategi lomba dan perbedaan jenis ban yang digunakan. Pada sesi ini, semua pebalap biasanya menggunakan ban dengan kompon terlunak yang disediakan pemasok ban Pirelli.
Di Australia, Rio lebih cepat di kualifikasi dengan catatan 1 menit 29,627 detik, sementara Wehrlein 1 menit 29,642 detik. Meski lebih cepat, Rio harus menempati posisi start lebih buruk karena terkena penalti tiga posisi. Penalti diterima pebalap berusia 23 tahun tersebut usai bertabrakan di pitlane dengan pebalap Haas, Romain Grosjean. Jika melihat hasil murni kualifikasi, di Australia bisa disebut Rio unggul dibanding Wehrlein.
Pada seri berikutnya di Bahrain, Rio kalah telak. Wehrlein menempati posisi ke-16, sedangkan Rio di posisi ke-20. Adapun balapan di China tak bisa dijadikan perbandingan karena Wehrlein tidak mencatatkan waktu kualifikasi setelah tabrakan pada awal sesi kualifikasi. Di China, Rio (1 menit 40,264 detik) start di depan Wehrlein dan Hamilton. Ini terjadi setelah Hamilton mengganti girboks dan terkena penalti lima posisi.
Rusia menjadi arena persaingan yang seimbang antara Rio dan Wehrlein. Pascal Wehrlein unggul tipis sekitar 0,064 detik atas Rio. Situasi serupa juga terjadi di Spanyol saat keduanya mencatatkan waktu kualifikasi dengan selisih tipis (0,194 detik; Rio 1 menit 25,939 detik, Wehrlein 1 menit 25,745 detik). Hingga GP Spanyol, Wehrlein unggul 3-1 atas Rio untuk catatan waktu kualifikasi.
Di Monako, giliran Rio unggul 0,157 detik atas Wehrlein (Rio 1 menit 17,295 detik, Wehrlein 1 menit 17,452 detik). Poin plus untuk Rio karena mampu tampil lebih baik di sirkuit yang secara teknis sulit ditaklukkan.
Terakhir di Montreal, Rio mencatat waktu 1 menit 17,052 detik, sedangkan Wehrlein unggul dengan catatan waktu 1 menit 15,599 detik. Skor kualifikasi secara murni dari catatan waktu menjadi 4-2 untuk keunggulan Wehrlein.
Satu kelebihan Rio seperti yang diungkap oleh Grand Prix Editor majalah terkemuka Inggris, Autosport, Ben Anderson, adalah dalam menentukan strategi pemilihan ban. Pendapat Anderson ini bisa dianggap fair karena tidak bersifat normatif atau karena kebetulan ditanya wartawan (terutama dari Indonesia) mengenai pendapatnya tentang Rio.
Sayangnya, tidak disebutkan strategi pemilihan ban seperti apa yang dimaksud. Apakah memilih 10 set ban yang wajib dilakukan setiap pebalap sebelum sebuah seri berlangsung atau strategi ban pada saat lomba.
Yang pasti, 14 seri ke depan hingga seri terakhir akan banyak terjadi kejutan di F1, baik yang terjadi di pertarungan papan atas atau yang terjadi pada Rio Haryanto.