Laporan langsung jurnalis Bola.com, Ary Wibowo dan Vitalis Yogi Trisna, dari Paris, Prancis JARUM jam di tangan menunjukkan pukul 11 malam, saat kereta api bawah tanah yang saya tumpangi berhenti di Stasiun Etienne Marcel, Paris, Prancis. Sebagian penumpang berhamburan keluar, sementara hanya segelintir yang masuk untuk menuju tempat tujuan.
Baca Juga
Hanya butuh waktu 10 menit untuk keluar lorong stasiun dan tiba di Rue Saint-Denis, salah satu jalan tertua dalam perjalanan sejarah Prancis. Rue Saint-Denis lebih kurang mirip dengan Legian, di Bali. Ruas jalan tidak terlalu lebar, hanya satu arah bagi kendaraan yang melintas.
Hawa dingin pun langsung menusuk tulang begitu berada di ruang terbuka jalan tersebut. Maklum, meski sudah memasuki musim panas, beberapa wilayah di Prancis sejak beberapa pekan terakhir sering diguyur hujan. Jadi, suhu udara pada malam hari berkisar 15-18 derajat celsius.
Warna-warni dari neon nama-nama toko menyala terang. Lampu-lampu jalan berbalut nuansa bangunan Eropa klasik memberikan rona temaram. Kursi kedai-kedai kopi ibarat godaan bagi pengunjung yang lelah berjalan atau sekadar ingin duduk-duduk santai menikmati malam.
Baru berjalan kaki 15 menit, seorang wanita memakai pakaian minim datang menghampiri. Dari fisik dan gaya bahasa, wanita itu tampaknya beretnis Eropa Timur. Dengan memakai jaket parka hitam dan sepatu hak tinggi, senyumnya merekah dan tangannya pun langsung menjulur.
"Halo, selamat malam. Anda dari mana?" sapa wanita berkulit putih dengan rambut panjang lurus terurai itu dengah bahasa Inggris. Ternyata sapaan tersebut adalah awal promosi dia mengenai lakon tertua dalam sejarah peradaban manusia bernama: prostitusi.
Hampir setiap berjalan 50 meter, selalu saja ada wanita yang menyapa. Wisatawan mancanegara menjadi salah satu target utama mereka. Namun, tak semua layanan dipromosikan sang wanita sendiri. Ada juga makelar yang tak kalah ahli menawarkan urusan birahi.
Bahkan, sang makelar juga biasanya merupakan wanita-wanita yang berparas cantik. Jika bersedia, pengunjung lalu akan dibawa ke dalam ruangan yang terdapat foto wanita-wanita seksi tanpa busana. Di bawah foto tersebut ada harga yang harus dikeluarkan calon pelanggan.
Di luar urusan "komersial" itu dan ramainya pengunjung, Rue Saint-Denis ternyata juga menyisakan tempat bagi sejumlah tunawisma. Beberapa di antaranya tampak duduk-duduk di bangku semen sambil menenteng tas kumal besar. Mereka rata-rata sudah berusia lanjut.
Di depan salah satu pertokoan, seorang tukang semir merangkap tunawisma sibuk mengelap sepatu salah satu pengunjung dengan air dari botol mineral. Lalu-lalang orang-orang di sekitar tak dihiraukan pria dengan baju lusuh itu, termasuk ketika mobil patroli polisi melintas.
Les Miserables
Menurut catatan sejarah, Rue Saint-Denis memiliki kisah tersendiri di Prancis. Andrew Hussey dalam Paris: The Secret History (2006), menuliskan, pada abad ke-17, jalan tersebut merupakan salah satu pusat peristiwa bersejarah, Revolusi Juni (June Rebellion), pada 1832.
Pada abad ke-17, siapa pun yang berjalan dari barat ke timur kota Paris, melintasi Rue Saint-Denis atau sering disebut juga Rue Saint-Martin, pasti merasa was-was. Sebab, berbagai tindakan kekerasan, pertikaian, hingga kemarahan antarkelas sosial sering terjadi di daerah tersebut.
Kala itu, kalangan rakyat jelata sedang berada titik nadir ketika mengalami kekurangan pangan, serta kematian akibat wabah kolera yang memakan puluhan ribu korban jiwa. Pemerintah pimpinan Raja Louis-Philippe pun dituduh sengaja meracuni sumber air agar mereka makin menderita.
Para pemuda yang menamakan barisan revolusioner lalu merancang aksi revolusi. Juni dipilih sebagai waktu pelaksanaan karena bertepatan pemakaman tokoh politik, Jean Maximilien Lamarque. Sayang, nasib mereka berakhir tragis dan revolusi berlangsung singkat (5-7 Juni).
Perjuangan mereka kemudian digambarkan dengan jelas dalam novel Les Miserables, karya Victor Hugo. Secara garis besar, novel itu menceritakan kerumitan kisah penuh nuansa humanisme di tengah masa revolusi yang sedang berlangsung dalam masyarakat Prancis.
Ratusan tahun berlalu, berbagai peristiwa besar kemudian muncul hingga era modern saat ini. Berbagai bangunan bersejarah hingga museum yang menyimpan benda-benda fenomenal, membuat Prancis bertransformasi menjadi salah satu destinasi wisata favorit paling terkenal.
Di sisi lain, hanya wanita malam, "makelar", dan tunawisma yang tersisa di Rue Saint-Denis. Meski malam kian larut, Rue Saint-Denis pun tetap berdenyut, laiknya detak jantung para suporter sepak bola di fan zone Menara Eiffel yang hanya berjarak tujuh kilometer dari jalan tersebut.
Bersambung...