Bola.com, Jakarta - Turnamen sepak bola akbar Benua Biru Piala Eropa 2016 telah selesai. Portugal sukses menjadi juara lewat kemenangan dramatis 1-0 atas tuan rumah Prancis. Pergelaran kompetisi berkualitas ini telah selesai dengan mengukir banyak cerita.
Dari mulai perjalanan tertatih Portugal di penyisihan, taktik brilian Antonio Conte, hingga kegemilangan negeri liliput Wales dan Islandia. Lantas, apa pelajaran Euro 2016 yang bisa kita ambil untuk pembinaan sepak bola usia muda kita?
Baca Juga
Piala Eropa 2016 adalah gambaran sepak bola top level saa tini. Pembinaan usia muda memiliki tugas mencetak pemain masa depan. Mengambil pelajaran dari Euro 2016 adalah sebuah keharusan demi sukses mencetak pemain top level di masa mendatang.
Pelajaran Euro 2016 Melihat apa yang terjadi di banyak pertandingan Euro 2016, dapat diambil beberapa kesimpulan penting sebagai berikut:
Dinamis dan Tak Terprediksi
Prancis 2016 menunjukkan bahwa pertandingan dinamis selalu berubah tiap detik. Memiliki satu rencana taktik takkan pernah cukup.
Laga final turnamen yang mempertemukan Portugal kontra Prancis merupakan contoh terbaik. Sepanjang turnamen, Portugal mainkan varian formasi yang amat tergantung pada duet Luis Nani-Cristiano Ronaldo.
Ronaldo cedera dan timnas Portugal harus main dengan satu striker. Sesuatu yang tak pernah mereka mainkan, bahkan tak pernah mereka latih. Di banyak pertandingan lain juga terjadi. Suatu rencana taktik bisa langsung masuk tong sampah.
Pemain cedera, kartu merah, skor mengubah segalanya. Dinamika permainan ini menuntut pemain untuk selalu beradaptasi dengan situasi baru. Pemain dituntut cepat membaca perubahan situasi dan memiliki wawasan taktik untuk meresponnya.
Berhitung Lawan
“Kami tidak peduli taktik lawan, kami hanya fokus dengan taktik sendiri”
Pembaca mungkin tak asing dengan seruan di atas. Secara filosofis, pernyataan itu jelas omong kosong. Sejatinya sepak bola adalah soal interaksi 11 orang dengan 11 orang lawannya.
Gaya bermain tim sendiri tidak dapat independen tanpa terkait lawan. Ambil contoh ekstrim tim Anda memiliki gaya bermain umpan pendek. Tiba-tiba kiper lawan tertidur. Apakah tim Anda tak menyesuaikan lawan dan mencoba umpan panjang ke depan?
Contoh tersebut ekstrim, tetapi itulah sepak bola. Euro 2016 menguatkan fakta objektif tersebut. Jerman berganti formasi andalan dari 1-4-2-3-1 menjadi 1-3-5-2 untuk meladeni skema 1-3-5-2 Italia yang amat solid.
Lalu Portugal modifikasi patron permainan 1-4-4-2 flatnya menjadi 1-4-4-2 berlian demi meredam agresivitas 1-3-5-2 Wales di semifinal.
Jika Joachim Low dan Fernando Santos tidak peduli pada taktik lawan dan hanya fokus dengan taktik sendiri, keduanya pasti kesulitan.
Multi Posisi
Dua poin sebelumnya membuat formasi menjadi begitu cair. Pemain terus berotasi menyesuaikan situasi pertandingan dan menyesuaikan lawan. Ini membuat formasi menjadi deretan angka belaka, tanpa makna.
Piala Eropa 2016 menunjukkan bahwa sepak bola bola modern tidak menganut sistem zone dependant (bergantung pada daerah), tetapi space dependant (bergantung pada ruang).
Joshua Kimmich bermain sebagai bek kanan, tetapi pindah posisi menjadiwingback kanan pada saat Jerman bersua Italia di perempat final. Antoine Griezmann terus bermain sayap kanan, saat pertandingan perempat final antara Prancis kontra Islandia berubah bermain mengapung di tengah.
Jangan dilupakan juga perubahan posisi Marco Parolo dari gelandang serang box to box, menjadi gelandang bertahan saat Tim Ayam Jantan meladeni Jerman di semifinal.
Perubahan posisi ini juga bukan cuma terjadi dari pertandingan ke pertandingan, tapi dalam satu laga. Kita masih ingat Nani yang berpindah dari striker ke sayap kanan pada menit-menir akhir duel final. Atau perpindahan Wayne Rooney dari gelandang menjadi striker dan sebaliknya dalam beberapa laga Three Lions.
Multi Peran
Selain pemain harus dapat bermain di berbagai posisi di seluruh area penjuru lapangan, pemain juga harus bisa memainkan berbagai peran. Dalam 90 menit, ia bisa saja tetap bermain di posisi yang sama, tetapi tak menutup kemungkinan sesuai kebutuhan strategi memainkan peran yang berbeda.
Pemain yang punya satu kegemaran saja, misal gemar menyisir sayap saja sudah tidak laku di sepak bola top level. Emanuele Giaccherini (Italia) yang bermain sebagai gelandang, harus melakukan pressing layaknya peran striker. Renato Sanches (Portugal) sebagai gelandang apit kadang bermain lebih seperti winger menyerang fullback lawan.
Kadang, ia bisa masuk eksploitasi areasentral. Demikian juga dengan Graziano Pelle (Italia) yang bisa menjadi target bola udara, pemantul, penahan bola, bahkan pelari menerima bola daerah.
Sepak bola top level menuntut kemampuan pemain komplet. Seorang pemain tak cuma harus jago menyerang, bertahan dan transisi. Tetapi juga harus bisa memainkan berbagai peran di pinggir, tengah, belakang, depan dalam pressing ketat lawan.
Apa jadinya bila Pelle hanya bisa menjalankan peran memenangi duel-duel bola udara seperti striker legendaris Jerman, Oliver Bierhoff, yang dikenal jago sundulan?
Nyaman dalam Ketidaknyamanan
Dari semua kesimpulan Euro 2016 di atas mengerucut pada suatu prototype pemain ideal masa depan. Yaitu pemain yang memiliki kemampuan bermain sepak bola yang lengkap alias komplet.
Pengertian komplet adalah 1) mampu bertahan-menyerang- transisidengan baik, 2) mampu mainkan berbagai posisi dan peran, 3) mampu beradaptasi dengan perubahan taktik dan situasi pertandingan.
Tuntutan ini harus menjadi pedoman dasar dalam melakukan pemanduan bakat di pembinaan usia muda. Sudah bukan jamannya lagi memilih pemain bek hanya jago bertahan. Atau striker yang hanya jago menyerang. Jika memang kenyataannya demikian, maka pembinaan harus juga fokus memperbaiki kekurangan.
Seorang striker yang terus mencetak gol, tapi tidak bisa bertahan, tentumembutuhkan polesan pada kemampuan bertahannya. Pada proses belajar ini, sang striker akan mengalami ketidaknyamanan, karena terekspos kekurangannya.
Tidak menutup kemungkinan, sang striker juga sementarakehilangan kemampuan cetak golnya, karena harus terus memikirkan pertahanan. Apapun risikonya, jalan ini harus ditempuh demi pengembangan pemain.
Selamanya sang striker takkan mampu bermain di top level bila tidak dapat bertahan dengan baik. Langkah ini juga berlaku untuk memasang pemain kidal di posisi kanan. Atau merotasi posisi, mengubah peran, hingga mengganti formasi demi pengembangan pemain.
Hal yang paling penting adalah mengajarkan sepak bola dengan menggunakan permainan sepak bola itu sendiri. Pemain muda butuh latihan yang bisa menumbuhkan kecerdasan multi posisi, multi peran dan antisipatif pada perubahan.
Nah, cara terbaik adalah tentu dengan bermain sepakbola itu sendiri. Kini, tugas pelatih usia muda Tanah Air adalah memperdalam wawasan taktik permainan 11 Vs 11. Sehingga pelatih mampu memodifikasi permainan 11 Vs 11 sesuai kebutuhan pembelajarannya.
Sebab tanpa wawasan permainan sepak bola mendalam, pelatih usia muda dengan mudah akan terjebak pada latihan terisolasi. Sebuah metode latihan tidak berbasis permainan yang tak merangsang komunikasi dan keputusan pemain.
Selamat terinspirasi dari Piala Eropa 2016 dan berkembanglah!
@ganeshaputera
Co-Founder KickOff! Indonesia
Pusat Kepelatihan Sepak Bola