Kolom: Fenomena Rio Haryanto, Haters-Lovers dan Bangsa Kita

oleh Bola diperbarui 18 Jul 2016, 16:30 WIB
Fenomena Rio Haryanto: Haters, Lovers, dan Bangsa Kita

Bola.com, London - Dengan hati was-was, saya meraih satu-satunya telepon seluler bernomor Indonesia di rumah. Mengirim pesan ke nomor provider di Tanah Air. Semoga berhasil, karena tenggatnya 17 Juli 2016. Tepat di hari saya membaca imbauan lewat media sosial Twitter, dengan perbedaan waktu London-Jakarta adalah enam jam.

Advertisement

Untungnya, di layar muncul, "Mari kita dukung Rio Haryanto demi kejayaan Merah Putih di ajang Balap Formula 1 2016, ketik ya untuk donasi". Saya buru-buru menjawab dan dibalas bahwa bantuan--yang secara nominal sangat kecil, bahkan mungkin nilainya lebih sedikit dibanding biaya roaming--sudah diterima pihak Rio.

Pararel dengan Driver F1

Sebagai jurnalis motorsport, mungkin saya lahir pada masa yang salah: saat negara kita belum memiliki wakil di F1. Tetapi, justru di situlah saya memperoleh pembelajaran. Salah satunya, saat berada di Autodromo Nazionale Monza, Italia. Ketika semua tim F1 membuka paddock visits bagi jurnalis motorsport sedunia, sepekan menjelang GP Italia 2000.

Seorang wartawan, yang kemudian menjadi sahabat saya, Oscar Rojas de la Villeneuva,  bertanya seusai merekam bunyi mesin tunggangan tim balap favoritnya, "Apakah negara kamu punya pebalap F1?"

Saya tak langsung mengatakan tidak, karena sepekan sebelumnya berada di Spa-Francorchamps, meliput GP Belgia 2000. Dua hari menjelang hari balapan F1, saya menyaksikan Ananda Mikola bertarung di Formula 3000 (F3000). Sehingga saya menjawab, "Saat ini belum, tetapi suatu hari nanti kami akan punya".

Tanpa nada jemawa, Oscar menjelaskan. "Percayalah, bakal ada kebanggaan tersendiri bila negara kita punya wakil di F1. Sebagai jurnalis, rasanya semakin greget, relevansi dan korelasi lebih dalam, dan emosi kita juga terhubung langsung dengan driver kita. Bisa segera merasakan kecemasan, kesedihan, serta kebahagiaan mereka. Paralel."

Saya bak "tersihir" perkataan Oscar, sehingga langsung mengiyakan saat diajak singgah ke motorhome pebalap negerinya. Saat itu "beliau" masih rookie, tahun pertama, bahasa Inggris patah-patah dan sangat pemalu!

2 dari 2 halaman

1

Pebalap F1 asal Indonesia, Rio Haryanto. (Bola,com/Reza Khomaini)

Fenomena Rio 

Enam belas tahun kemudian, sebuah fenomena muncul dari negeri kita. Rio Haryanto, membukukan Indonesia sebagai negara ke-40 yang mengirim wakilnya ke F1. Jelas memberikan kebanggaan. Apalagi bila mengacu kepada ujaran Oscar dahulu. Emosi kita bakal paralel dengan pebalap setanah air. Tentu saja: mulai dari mana asal kita sampai kebiasaan bercakap sebagai penutur asli (mother tongue) berangkat dari akar sama: Indonesia.

Meski saat ini saya bukan lagi jurnalis motorsport dan hanya bisa menaruh kecemburuan atau iri dalam kerangka positif, di mana rekan-rekan wartawan Indonesia saat ini bisa menulis, memotret serta menyiarkan Rio Haryanto dalam porsi lebih besar dan frekuensi lebih banyak. Sebagai penulis, saya juga ingin merasakan "sensasi" seperti Oscar. Adanya ikatan emosional dengan subjek, karena saya dan Rio berada di bawah naungan bendera yang sama: Sang Merah Putih.

Bagi saya pribadi, fenomena Rio terbilang "dahsyat", karena via Twitter, mampu menyatukan saya yang berjarak lebih dari 7.000 mil dengan kawan-kawan lama dari @ifos_official atau Indonesia F1 Society (IFOS), seperti Willy Halim, Ruben Satyadarma, M. Wahab S, Mas Lulu RAH Lukita, Pak Djembar Kartasasmita, dan banyak lagi. Nilai-nilai kebersamaan dan kebanggaan kami atas Rio itulah, yang mendorong saya ikut menerakan tagar #SaveRH88 untuk kelangsungan kiprah saudara kita sebangsa di pentas F1. Ya, saat ini kiprah Rio terancam terhenti di tengah musim, tepatnya pada seri ke-11 di Hungaria, karena belum mampu menggenapi pembayaran ke Manor Racing. 

Ketika Cinta dan Benci Berpadu

Hanya, seperti halnya hukum alam, di mana ada siang ada malam, ada pagi ada petang, media sosial juga memiliki kondisi serupa. Bila saya dan teman-teman berada di sisi aficionado, fan, bahkan lover bagi Rio Haryanto, di sisi seberang berdiri hater atau jamaknya haters. Menurut Oxford Dictionaries, didefinisikan sebagai: a person who greatly dislikes a specified person or thing, a negative or critical person alias seseorang yang sangat tak menyukai seseorang atau sesuatu yang spesifik, seseorang yang negatif atau kritikal.

Bila cuitan mereka dituruti, bisa-bisa menjadi ajang berbalas "pantun". Menghabiskan energi, lagi menguras emosi. Tidak menguntungkan ataupun memiliki nilai konstruktif sama sekali. Jadi, ambil saja segi positifnya: dengan adanya haters, berarti Rio diperhatikan dan tanpa sadar disayangi mereka walau lewat cara aneh: terus-menerus dibombardir lewat cuitan. Terima kasih haters, terkurung dalam ketidakmengertian adalah sebuah pilihan. Cinta dan benci, hanya dua sisi yang berbeda dari satu mata uang logam. Kita adalah koin yang sama: sama-sama bangsa Indonesia.

Ukirsari Manggalani

Travel writer, penulis cerpen, dan mantan editor sebuah media otomotif di Tanah Air. Saat ini bermukim di London.