Bola.com, Jakarta - Pelatih Timnas Indonesia Alfred Riedl tengah dipusingkan dengan kerterbatasan stok striker murni yang bisa dimaksimalkan saat Tim Merah-Putih berlaga di Piala AFF 2016. Hanya sedikit pemain yang menghuni posisi ini terlihat tajam di perhelatan Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 presented by IM3 ooredoo.
Daftar atas pencetak gol TSC 2016 dikuasai pemain asing. Tak ada satu pun bomber lokal yang terlihat konsisten unjuk produktif di pentas kompetisi kasta elite.
Baca Juga
Striker-striker top yang biasa jadi langganan Timnas Indonesia terlihat tidak dalam level permainan terbaik. Sergio van Dijk (Persib Bandung), Ferdinand Sinaga (PSM Makassar), Cristian Gonzales (Arema Cronus), dan Greg Nwokolo (tanpa klub), tengah paceklik gol. Nama terakhir disebut bahkan saat ini tengah menganggur seusai didepak klub Thailand, BEC Tero, karena cedera parah ACL.
Pada Piala AFF edisi 2014, Sergio dan Gonzales yang diplot sebagai tukang gedor utama Tim Garuda, penampilannya melempem. Mereka kalah produktif dibandingkan sosok pemain belia, Evan Dimas, yang bermain sebagai gelandang serang.
Situasi ini terasa ironis mengingat dari masa ke masa Indonesia selalu punya striker tajam. Ramang, Sutjipto Soentoro, Ricky Yakobi, Bambang Nurdiansyah, Widodo C. Putro, Kurniawan Dwi Yulianto, hingga Bambang Pamungkas, adalah deretan predator ganas beda zaman yang menghiasi skuat Timnas Indonesia di berbagai event internasional.
Sebenarnya Alfred Riedl tak perlu khawatir dengan situasi ini. Indonesia memang saat ini tengah krisis penyerang lokal, namun belakangan produktif memproduksi sayap-sayap ganas yang juga jagoan dalam menjebol gawang lawan.
Jika melihat perhelatan Piala Eropa 2016, banyak tim yang tidak lagi mengandalkan striker murni. Pemain-pemain yang bermain di posisi sayap diplot sebagai tukang gedor utama.
Tim juara Euro 2016, Portugal yang bermain dengan patron 4-4-2, menempatkan duet winger Cristiano Ronaldo dan Nani sebagai ujung tombak. Wales juga mengubah posisi main Gareth Bale dari sayap sebagai striker. Istilah false nine (penyerang bunglon) dipopulerkan Spanyol di Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012, di mana seorang gelandang berubah fungsi sebagai penyerang untuk memecah konsentrasi bek-bek lawan yang memberikan pengawalan ketat pada striker murni mereka.
Alfred dan Wolfgang Pikal bisa melakukan modifikasi strategi untuk memaksimalkan sayap-sayap tajam yang dimiliki Indonesia saat ini. Patron skema yang tengah populer di jagat sepak bola internasional 4-3-3 atau 4-2-3-1 mengakomodasi peran sentral para winger. Pemain yang bermain di posisi gelandang sayap berevolusi menjadi penyerang sayap dengan tingkat produktivitas tinggi, setara atau bahkan lebih dibanding striker murni.
Bola.com mencatat 11 pemain sayap ganas yang bisa dimaksimalkan untuk membuat lini depan Timnas Indonesia menyengat saat berlaga di persaingan keras Piala AFF 2016. Siapa-siapa saja mereka?
Boaz Solossa (Persipura Jayapura)
Boaz Solossa menjadi pemain sayap terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Sang kapten Persipura Jayapura bisa dibilang pemain yang multifungsi. Ia bisa dimainkan sebagai penyerang murni, penyerang/gelandang sayap, gelandang serang, atau bahkan bek sayap.
Saat pertama kali mentas di Piala AFF 2004 (kala itu bernama Piala Tiger) Boaz bermain sebagai penyerang murni berduet dengan Ilham Jayakesuma. Pelatih timnas kala itu, Peter Withe, yang fanatik dengan pola 4-4-2, menggeser Boaz sebagai gelandang sayap kiri, saat ia menurunkan Kurniawan Dwi Yulianto mendampingi Ilham.
Saat bermain di Persipura pada Liga Indonesia 2005, Boaz diplot sebagai bek sayap dalam skema 3-5-2 ala Rahmad Darmawan. Boaz mampu menjalankan dengan baik peran tersebut. Ia jadi bagian penting kesukesesan Tim Mutiara Hitam memenangi titel liga musim tersebut.
Di era Jacksen F. Tiago, Boaz Solossa menikmati bermain sebagai penyerang sayap kiri dan kanan. Ia terlihat menemukan bentuk permainan terbaik di posisi tersebut. Tiga gelar Indonesia Super League yang diikuti tiga trofi top scorer dan best player menegaskan nama Boaz sebagai penyerang sayap terbaik yang dimiliki Indonesia di era ini.
Uniknya, saat Jacksen didapuk sebagai caretaker pelatih Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2014, Boaz dimainkan sebagai penyerang murni.
Pada Piala AFF 2014, Boaz masuk jadi salah satu pemain yang diboyong Alfred Riedl pada fase penyisihan di Hanoi, Vietnam. Timnas Indonesia gagal ke semifinal, pemain kelahiran 16 Maret 1986 tersebut pun gagal unjuk produktivitas. Namun, kegagalan ini tak lantas membuat reputasi pengguna nomor punggung 86 itu sebagai penyerang sayap terbaik Tanah Air sirna.
Jika dalam kondisi fit, Boaz tetap pemain yang bisa memberikan perbedaan bagi Tim Merah-Putih.
Muhammad Ridwan (Sriwijaya FC)
Muhammad Ridwan memulai karier profesional di PSIS Semarang dengan bermain sebagai bek sayap kanan. Perannya mulai berganti saat Piala AFF 2010. Pelatih Timnas Indonesia, Alfred Riedl, melihat kemampuan Ridwan menyorongkan umpan-umpan lambung terukur amat berguna untuk menambah daya ofensif Tim Merah-Putih.
Ia bisa jadi pelayan yang bagus bagi Cristian Gonzales, Irfan Bachdim, dan Bambang Pamungkas.
Jadilah Ridwan bermain sebagai gelandang sayap kanan berduet dengan pemain muda Oktovianus Maniani di sektor kiri. Strategi ini berhasil mendongkrak produktivitas timnas. Indonesia lolos ke final dengan rekor menyakinkan di fase penyisihan dan semifinal.
Semenjak Piala AFF 2010, pemain kelahiran 8 Juli 1980 itu tak pernah lagi bermain sebagai bek sayap. Di klub-klub yang disinggahinya, Sriwijaya FC dan Persib Bandung, ia diplot sebagai pemain pembantu sisi ofensif.
Saat Maung Bandung mengunci gelar juara Indonesia Super League 2014 Ridwan bahkan bermain sebagai penyerang sayap dalam pola 4-3-3 yang diusung Djadjang Nurdjaman.
Usia Muhammad Ridwan tak lagi muda (36 tahun), namun kecepatannya dan kemampuannya melakukan crossing akurat tidak hilang. Jika tidak sedang cedera, Ridwan selalu menjadi pilihan utama Widodo C. Putro di Sriwijaya FC.
Sukses Tim Laskar Wong Kito di jajaran atas klasemen TSC 2016, tak lepas peran sang pemain. Ia jadi pelayan yang baik buat duet bomber Brasil, Alberto Goncalves dan Hilton Moreira.
Andik Vermansah (Selangor FA)
Publik sepak bola Tanah Air terkesima dengan performa Andik Vermansah di SEA Games 2011. Bertubuh mungil, Andik yang dibekali kemampuan menggocek bola di atas rata-rata, menjadi momok bagi lini pertahanan tim-tim lawan Timnas Indonesia.
Saat Indonesia Selection menjajal kekuatan LA Galaxy (Amerika Serikat) dan Internazionale Milan (Italia), nama Andik mendunia. Media-media asing menyamakan penampilannya dengan superstar Argentina, Lionel Messi.
Messi Indonesia, julukan tersebut melekat pada Andik yang dibesarkan oleh klub Persebaya Surabaya. Klub asal Jepang, Ventforet Kofu, sempat menawari kontrak kepada sang pemain. Mereka terpincut setelah melihat langsung kiprah Andik saat menjalani sesi trial pada bulan Oktober 2013. Namun, ia justru memilih Selangor FA sebagai pelabuhan baru selepas meninggalkan Persebaya 1927, yang mati suri karena konflik PSSI.
Andik Vermansah memilih berlaga di Liga Super Malaysia karena ingin dapat kesempatan bermain yang lebih besar, hal yang sulit didapatkan jika ia berkiprah di J-League. Pada saat bersamaan kariernya sedang terpuruk. Ia mendapat banyak kritikan saat membela Timnas Indonesia di SEA Games 2013 karena dinilai pemain individualistis.
Keputusan Andik bermain di Malaysia terbukti tepat. Sempat kesulitan menembus posisi inti pada musim perdana, Andik jadi pemain penting yang tak tergantikan di Selangor FA. Pada musim 2014, ia mempersembahkan trofi Piala Liga Malaysia serta pencapaian runner-up Malaysia Super League.
Gaya bermain Andik di negara tetangga mengalami banyak perubahan. Andik mau meredam ego, tampil sebagai pemain tim. Ia jadi salah satu jagoan assist di timnya, dan juga tetap produktif.
Pada awal 2016, Andik meneken perpanjangan kontrak selama dua musim. Bocorannya angkanya menembus Rp 3 miliar per musim. Nominal tertinggi yang didapat pesepak bola Indonesia yang berkiprah di luar negeri.
Zulham Zamrun (Persib Bandung)
Alfred Riedl kepincut dengan permainan Zulham Zamrun kala membela Mitra Kukar di ISL 2014. Sang penyerang sayap masuk skuat Piala AFF 2014. Walau Timnas Indonesia gagal melaju ke semifinal, Zulham jadi salah satu pemain yang dinilai punya rapor bagus sepanjang turnamen.
Ia kemudian diboyong Persipura Jayapura yang bersiap tampil di ISL 2015 dan Piala AFC 2015. Benar saja, kehadiran Zulham jadi pembeda bagi Tim Mutiara Hitam. Berduet bersama Boaz Solossa di sisi sayap, Zulham membuat lini depan Persipura amat tajam.
Namun, kompetisi ISL terhenti karena konflik antara PSSI dengan Kemenpora, sehingga fans Persipura tidak dipuaskan menyaksikan kiprah Zulham Zamrun dalam satu musim penuh. Pemain kelahiran Ternate, 19 Februari 1988 kemudian menerima pinangan Persib Bandung menjelang pelaksanaan turnamen Piala Presiden 2015.
Tim Maung Bandung, yang baru saja kehilangan Ferdinand Sinaga, sudah ingin menggaet Zulham sejak lama. Hanya, mereka kalah cepat dengan Persipura.
Di Persib, Zulham menggila. Ia mengantarkan tim Pangeran Biru juara Piala Presiden sekaligus merengkuh gelar Top Scorer (6 gol) dan Pemain Terbaik. Permainan Zulham di Persib kerap disamakan dengan Cristiano Ronaldo: cepat, gesit, berteknik, dan tajam.
Sayang, Zulham melakukan blunder selepas turnamen dengan mengiyakan tawaran Persipare Parepare untuk bermain di turnamen tarkam di Makassar. Apesnya ia dihajar cedera berat ACL terkena tekel di laga semifinal turnamen tersebut.
Hingga awal 2016 Zulham menganggur karena fokus menyembuhkan cederanya. Dalam kondisi cedera, Persib menawari kontrak permanen selama semusim untuk tampil di TSC. Pemain bernomor punggung 54 tersebut kini telah sembuh total dari cedera. Hanya, ia belum menemukan level permainan terbaik karena masih terjebak trauma.
Walau belum setajam seperti Piala Presiden, Zulham Zamrun tetap jadi pilihan utama di Persib. Djadjang Nurdjaman, mentor Maung Bandung, amat yakin jika pemain sayap binaan Persiter Ternate tersebut bakal bangkit dan kembali tajam.
Samsul Arif (Persib Bandung)
Sejatinya Samsul Arif berposisi sebagai penyerang murni. Namanya melambung ketika mengantarkan Persibo Bojonegoro juara Piala Indonesia 2012. Ia jadi bagian penting skuat Timnas Indonesia di Piala AFF 2012.
Samsul sedikit dari pemain berkualitas yang mau bergabung ke Tim Merah-Putih karena konflik dualisme kompetisi, pemain-pemain langganan timnas tak ikut membela negara karena dilarang klubnya yang berseberangan dengan PSSI. Pada musim 2013, pemain kelahiran Bojonegoro, 14 Januari 1985 itu pindah ke Persela Lamongan. Ia unjuk gigi di tim Laskar Jaka Tingkir dengan koleksi 13 gol.
Arema Cronus sangat tertarik meminangnya. Di Tim Singo Edan posisi bermain Samsul Arif bergeser ke sayap, menyesuaikan strategi Rahmad Darmawan yang menempatkan Alberto Goncalves dan Cristian Gonzales sebagai target man. Di posisi barunya ia tidak kehilangan produktivitas. Ia mengoleksi 14 gol.
Saat Rahmad pindah ke Persebaya ISL, posisi bermain Samsul tetap sedikit melebar, atau bahkan sesekali ditempatkan sebagai penyerang lubang di belakang Cristian Gonzales yang diandalkan sebagai pengedor utama.
Keputusannya pindah ke Persib menjelang TSC 2016 agak mengejutkan, mengingat ia selalu menjadi pilihan utama di Tim Singo Edan. Di Persib, Samsul harus berjuang dari nol menembus posisi inti.
Ia harus bersaing dengan Sergio van Dijk dan Juan Belencoso, yang punya reputasi mentereng sebagai striker haus gol. Nyatanya Samsul tetap berkembang, walau ia diposisikan sebagai penyerang sayap dalam skema 4-3-3. Ia bahkan boleh berbangga karena lebih produktif dibandingkan dua striker tadi.
Ramdani Lestaluhu (Persija Jakarta)
Kala meretas karier junior bersama Timnas Indonesia U-17 pada 2006, Ramdani Lestaluhu bermain sebagai gelandang tengah. Ia jadi playmaker Tim Garuda Muda besutan duet Iwan Setiawan-Aji Santoso.
Ramdani punya skill individu yang mumpuni serta piawai menyodorkan umpan-umpan terukur. Pelatih Persija Jakarta, Rahmad Darmawan, bereskperimen memainkan Ramdani sebagai gelandang sayap di ISL 2009-2010, karena ia punya banyak stok gelandang tengah.
Di posisi barunya, permainan Ramdani justru lebih berkembang. Memiliki modal kecepatan serta skill individu yang bagus, Ramdani menjelma menjadi winger. Sebagai pemain sayap ia tak hanya fasih menyuplai umpan lambung ke para striker, tetapi juga agresif melakukan tusukan ke area kotak penalti.
Ramdani jadi pemain sayap istimewa karena ia produktif mencetak gol. Pada saat membela Sriwijaya FC pada ISL 2013, ia menyumbang tujuh gol. Pada musim selanjutnya saat kembali ke Persija, ia mengoleksi delapan gol.
Jangan heran jika Ramdani Lestaluhu masuk daftar pemain muda yang diboyong Afred Riedl ke Piala AFF 2014. Patut dicatat pula sejak membela Timnas Indonesia U-17, Ramdani hampir tak pernah absen bermain di timnas junior. Ia anggota skuat Timnas Indonesia U-23 2011 dan 2013 dengan raihan prestasi runner-up.
Sayang, pada TSC 2016 liukan lincah Ramdani dari sektor sayap jarang terlihat. Pelatih Persija, Paulo Camargo, kerap mencadangkannya. Dari 11 laga yang telah dijalani Tim Macan Kemayoran, pemain asli Tulehu, Maluku, kelahiran 5 November 1991 tersebut, baru tiga kali turun gelanggang berstatus sebagai pemain pengganti.
Isu kalau sang pemain ingin pindah klub menguat setelah Ramdani memutuskan absen latihan pasca Persija melakoni duel melawan Persib. Ia sadar betul jika terus menjadi cadangan, kans membela Timnas Indonesia di Piala AFF 2016 amat tipis.
Sunarto (Arema Cronus)
Publik sepak bola nasional pernah dibuat terkesima dengan peran Kurniawan Dwi Yulianto sebagai supersub pada Piala AFF 2004. Berstatus sebagai pemain pengganti, Kurus kerap menciptakan gol krusial bagi Timnas Indonesia.
Julukan serupa kini disematkan Aremania ke sosok Sunarto. Pemain didikan akademi Singo Edan mulai mentas di tim utama sejak 2009. Sang penyerang sayap kerap menjadi pembeda bagi klubnya.
Di ajang ISL musim 2010-2011, Sunarto mencetak gol pertamanya bagi Arema untuk membantu tim asal Malang tersebut menahan salah satu tim terkuat saat itu, Sriwijaya FC.
Pada pertandingan selanjutnya, Sunarto kembali menjadi pahlawan dengan mencetak gol kemenangan melawan Persipura pada menit ke-89 sekaligus memberikan kekalahan pertama bagi tim Mutiara Hitam di musim tersebut. Di kedua laga itu, ia masuk sebagai pemain pengganti. Pelatih Tim Singo Edan, Miroslav Janu (almarhum) memberikan julukan Joker kepada Sunarto.
Fakta statistik membuktikan ketajaman Sunarto sebagai supersub. Selama ini, pemain kelahiran 18 Mei 1990 ini sudah mencetak 13 gol bagi Arema di kompetisi kasta tertinggi Liga Indonesia. Rinciannya, 4 gol dicetak pada menit-menit akhir pertandingan dan 5 dari 13 gol tersebut menjadi satu-satunya gol Arema di pertandingan tersebut.
Seperti ucapan almarhum Janu, Arema belum pernah sekalipun kalah saat Sunarto mencatatkan namanya di papan skor. Memang tidak selamanya Sunarto mencetak gol tiap kali ia diturunkan. Sepanjang 2016 ini misalnya, pemain bernomor punggung 15 ini telah bermain 14 kali. Sebanyak 93 persen di antaranya diturunkan dari bangku cadangan dan baru 4 gol yang berhasil ia cetak.
Spesialnya, gol-gol yang dicetaknya amat krusial. Seperti saat dirinya menjebol gawang Persib Bandung pada final Piala Bhayangkara 2016.
Kehebatan Sunarto sebagai supersub berlanjut hingga TSC 2016. Tengok saja saat dirinya mencetak gol tunggal pada pengunjung laga ke gawang PSM Makassar. Sebagai penyerang sayap Sunarto punya keistimewaan dari sisi kecepatan, penempatan posisi, dan naluri gol.
Irsyad Maulana (Semen Padang)
Disia-siakan Semen Padang, Irsyad Maulana, memilih berkelana ke klub Pelita Jaya pada 2011. Gelandang sayap jebolan PPLP Padang tersebut jadi salah satu pemain Pelita Jaya yang masuk skuat utama Arema Cronus saat kedua klub melakukan merger pada musim 2013.
Berstatus sebagai young guns, pemain kelahiran Payakumbuh, 27 September 1993 itu sukses memesona Rahmad Darmawan. Ia intens dimainkan sebagai pemain serep, melapis Greg Nwokolo atau Samsul Arif. Ia menjadi pemain inti pada era pelatih Suharno (almarhum) pada ISL musim 2014.
Pada pengujung tahun 2014, Irsyad memutuskan mudik ke kampung halamannya atas permintaan keluarga. Tanpa kesulitan berarti Irsyad langsung jadi pilihan inti di Tim Kabau Sirah, baik di era Jafri Sastra dan juga Nilmaizar. Perannya sebagai winger semakin sentral setelah Tim Urang Awak ditinggal Esteban Vizcara ke Arema Cronus serta Hendra Bayauw ke Mitra Kukar.
Belakangan ia kerap dijadikan pemain pemecah kebuntuan oleh Nilmaizar. Saat duet Nur Iskandar-Marcel Sacramento mengalami kebuntuan, Irsyad Maulana hadir menjadi eksekutor lewat tusukan dari sisi sayap.
Dua gol yang ia ciptakan ke gawang Sriwijaya FC pada pekan ke-10 TSC 2016 (skor akhir 2-1) menunjukkan Irsyad punya ketajaman yang tak kalah dibanding penyerang murni. Irsyad juga jadi pelayan yang baik bagi para penyerang lewat umpan-umpan bermutu.
Sama seperti halnya pemain-pemain muda lain, konsistensi permainan jadi pekerjaan rumah terbesar bagi Irsyad Maulana. Jika ia bisa bermain bagus secara kontinu, bukan tidak mungkin Alfred Riedl akan membukakan pintu membela Timnas Indonesia di Piala AFF 2016.
Bayu Gatra (Madura United)
Keputusan berani dibuat Bayu Gatra kala meninggalkan kampung halamannya Jember, Jawa Timur, menuju Samarinda, Kalimantan Timur. Ia ikut program pelatnas jangka panjang buat keperluan PON 2012. Bersama sejumlah pemain muda berbakat lainnya dari berbagai daerah, Bayu ditempa tim kepelatihan Persisam Samarinda junior.
Seusai membawa Kaltim juara PON, Bayu bersama rekan-rekan seangkatannya macam Lerby Eliandry dan Aldaier Makatindu berlaga memperkuat Persisam di ISL U-21. Pada musim 2012 mereka membuat sensasi dengan lolos ke final sebelum akhirnya dikalahkan Persela Lamongan.
Ia dan sejumlah pemain belia veteran PON 2012 kemudian promosi ke tim utama Persisam. Di usia belia ia sudah menghuni skuat inti Tim Pesut Etam. Bayu jadi andalan Timnas Indonesia U-23 pada SEA Games 2013 dan Asian Games 2014.
Saat lisensi klub Persisam dijual ke Bali United, Bayu Gatra ikut boyongan ke Gianyar. Hanya, ia kemudian memutuskan hengkang seusai membela tim barunya pada Piala Presiden 2015. Penyerang sayap kelahiran Jember, 12 November 1992 itu, sempat hampir dari empat bulan tak memiliki klub.
Ia kemudian digaet Sriwijaya FC jelang Piala Bhayangkara. Hanya karena merasa kesempatan bermain sedikit, Bayu kemudian memutuskan menerima pinangan klub baru mentas di TSC 2016, Madura United.
Di tim Sape Kerrab, kematangan permainan Bayu kian terlihat. Gaya bermain Bayu amat disukai Gomes de Olivera. Ia bisa bermain di kedua sisi sayap dan juga gelandang serang.
Madura United menjelma menjadi tim kuda hitam yang menakutkan. Mereka kini jadi rival utama Arema Cronus dalam perburuan gelar juara. Kontribusi Bayu amat besar terhadap pencapaian itu. Dari sisi sayap ia menjadi raja assist sekaligus pemain pemecah kebuntuan.
Ambrizal Umanailo (Persija Jakarta)
Ambrizal Umanailo jadi salah satu rising star di pentas TSC 2016. Pada musim perdananya tampil di kompetisi profesional, sang gelandang sayap tampil bagus bersama Persija Jakarta.
Walau masih minim pengalamanan, Ambrizal yang dididik Akademi Villa 2000 terlihat tidak tidak kikuk bersaing memperebutkan posisi inti di skuat Macan Kemayoran.
Kebijakan manajemen Persija memberdayakan skuat muda membuka pintu yang luas bagi Ambrizal untuk unjuk gigi. Kesempatan bermain sebagai pilar inti terbuka saat seniornya, Ramdani Lestaluhu, cedera lutut saat uji coba jelang kompetisi melawan Barito Putera.
Penampilan Ambrizal Umanailo yang konsisten di sektor sayap membuat pelatih Persija, Paulo Camargo, melupakan sosok Ramdani.
Penampilan kelahiran Ternate, 6 Desember 1996, menimbulkan decak kagum. Sebagai gelandang sayap ia punya keunggulan dari sisi kecepatan, skill individu di atas rata-rata, dan keberanian bertarung. Kelebihan yang terakhir terasa unik karena Ambrizal pemain junior.
Berbeda dengan kebanyakan pemain muda lainnya, penampilan Ambrizal terhitung stabil. Bahkan saat Persija menelan hasil jelek, rapor sang pemain tetap di atas rata-rata pemain lain.
Jangan heran ketika PSSI mengumumkan bakal banyak menyertakan pemain belia dalam skuat Timnas Indonesia di Piala AFF 2016, nama Ambrizal Umanailo, ramai disebut pengamat dan pencinta sepak bola nasional. Mereka ingin melihat aksi pemain berusia 20 tahun ini menggunakan kostum Tim Merah-Putih.
Namun, akan terasa lebih lengkap jika penampilan ciamik sang pemain diikuti prestasi menawan Macan Kemayoran di TSC 2016. Hal yang satu ini belum bisa diberikan Ambrizal. Belakangan dengan modal skuat muda, langkah Persija tertatih-tatih. Mereka yang pada awal musim sempat meramaikan papan atas, kini justru berjuang tak jatuh ke kubangan papan bawah.
Engelbert Sani (Madura United)
Klub pendatang baru Madura United (MU) tengah naik daun. Bermodalkan banyak pemain berkualitas, tim Sape Kerrap jadi salah satu klub yang hingga putaran pertama TSC 2016 punya kans juara cukup kuat.
Engelberd Sani, jadi salah satu elemen penting performa ciamik MU. Pemain yang berposisi sebagai penyerang sayap kiri, memperkuat sisi ofensif klub asuhan Gomes de Olivera.
Khas pesepak bola Papua, Engelbert dianugerahi skill mumpuni dalam mengolah si kulit bundar. Di sisi lain ia memiliki kecepatan, yang menjadi modal melakukan akselerasi ke sisi kanan pertahanan lawan. Fisiknya juga prima, bisa stabil bermain dalam tempo cepat selama 90 menit.
Ketajamannya pun terhitung lumayan. Pemain kelahiran Sorong 28 Mei 1990 tersebut sudah menyumbang dua gol buat timnya. Nomor tiga paling produktif setelah Pablo Rodrigues (10) dan Slamet Nurcahyo (3).
Akurasi operan Engelberd Sani juga bagus, menembus angka 64 persen. Tak hanya kuat menyerang ia juga kuat bertahan. Di 11 laga ia bermain catatan tekel bersihnya mencapai 64 persen.
Namun, di usianya yang sudah 26 tahun, Engelberd Sani, yang satu kampung dengan Boaz Solossa itu, minim jam terbang internasional.
Tetapi jika melihat jejak kariernya, ia pernah singgah di klub elite Arema Cronus pada musim 2013. Sebelumnya selama dua musim Engelberd Sani sempat berkiprah di Pelita Jaya.
Di tim-tim yang dibelanya Engelberd Sani hampir selalu menjadi pemain inti. Jika Alfred Riedl ingin warba baru di Timnas Indonesia Piala AFF 2016, ia bisa memberikan kesempatan kepada pemain bertinggi badan 171 cm tersebut.