Bola.com, Kuala Lumpur - Asosiasi Sepak Bola Malaysia (FAM) diperingatkan agar berhati-hati dalam menyelesaikan kisruh internal yang saat ini terjadi. Hal itu dimaksudkan agar FIFA tidak menilai apa yang dilakukan pemerintah Malaysia sebagai sebuah campur tangan pemerintah yang berpotensi mendatangkan sanksi FIFA.
FAM dalam tekanan menyusul kritikan pedas yang dilontarkan Tunku Ismail ibni Sultan Ibrahim (pemilik klub elite Malaysia, Johor Darul Ta'zim) pasca mundurnya empat pemain JDT dari timnas Malaysia, medio Juli lalu.
Bersamaan dengan penjelasan di balik alasan pensiun dini empat pemainnya dari timnas Harimau Malaysia, Tunku Ismail juga berujar bila ia memiliki data dalam flashdisk yang berisi catatan korupsi yang dilakukan FAM dalam beberapa dekade terakhir.
Sontak, pernyataan itu memicu reaksi banyak kalangan di Negeri Jiran. Tidak hanya FAM yang kebakaran jenggot, meminta pembuktian, badan antikorupsi Malaysia juga ikut bersuara dengan meminta Tunku Ismail menyerahkan flashdisk itu untuk diperiksa pihaknya.
Baca Juga
Tunku Ismail, yang juga Putra Mahkota Kesultanan Johor itu, bergeming. Bola panas menggelinding kian liar. Tidak ingin situasi lebih keruh, Menpora Malaysia, Khairy Jamaluddin, terpaksa campur tangan dengan menjalin komunikasi via telepon dengan Tunku Ismail.
Dalam pembicaraan itu sang Menpora menegaskan bila Malaysia saat ini dalam proses menghasilkan formula baru untuk mengembalikan kejayaan sepak bola mereka. Khairy Jamaluddin juga bertemu Presiden FAM, Tengku Abdullah, yang menyatakan pengunduran diri awal pekan lalu.
Seusai komunikasi dengan kedua pihak, Khairy Jamaluddin meminta Bendahara FAM, Datuk Seri Norza Zakaria, untuk memberikan catatan keuangan FAM pada Tunku Ismail.
"Saat ini kami terus memantau secara dekat perkembangan di Malaysia. Anggapan adanya campur tangan dari pemerintah baru bisa muncul bila ada keluhan langsung dari FAM," ujar Sekjen AFF, Datuk Windsor Paul John, seperti dikutip di Fourth Official (1/8/2016).
Seperti diketahui, FIFA melarang keras campur tangan pemerintah dalam urusan internal setiap anggotanya. Indonesia sudah merasakan hal itu dengan jatuhnya sanksi pembekuan yang baru dicabut pada 13 Mei 2016.