Bola.com, Rio de Janeiro - Meliput Olimpiade merupakan momen spesial bagi jurnalis olahraga. Tak setiap jurnalis mendapat kesempatan menjadi saksi hidup pesta olahraga terbesar dan termegah di dunia tersebut.
Begitu juga momen Olimpiade Rio 2016 yang bisa dibilang sangat istimewa. Untuk kali pertama, Olimpiade digelar di Amerika Selatan. Brasil ditunjuk sebagai tuan rumah dengan segala kekurangan dan juga kelebihannya. Situasi keamanan, berbagai problem pembangunan infrastruktur, hingga ancaman virus Zika menjadi bumbu yang menyertai perhelatan Olimpiade Rio. Brasil juga banyak dikritik karena dianggap kurang siap sebagai tuan rumah.
Baca Juga
Tak heran, Olimpiade Rio pun menyuguhkan banyak cerita bagi para jurnalis peliput, termasuk dua wakil dari SCTV, Carlos Pardede dan Junaedi. Berbagai suka dan duka mereka alami selama sepekan pertama meliput Olimpiade Rio 2016.
Apa saja suka dan duka mereka selama di sana? “Banyak cerita yang kami alami. Mulai tak bisa mengakses ke Upacara Pembukaan karena miskomunikasi dengan pihak ketiga yang mengurusi tiket hingga lokasi penginapan yang jauh,” ujar Carlos Pardede dalam perbincangan dengan Bola.com, Rabu (10/8/2016) malam.
Carlos dan Junaedi tiba di Brasil pada 3 Agustus alias dua sehari sebelum sebelum pesta pembukaan di Stadion Maracana. Mereka harus menempuh perjalananan lebih dari 24 jam dari Indonesia. Sesampainya di Brasil, Carlos dan Junaedi tak bisa berlama-lama beristirahat karena mesti segera survei venue pertandingan dan mengurus pembuatan ID Card. Masalah bertambah karena penginapan mereka jauh dari Maracana.
“Beberapa hari penginapan kami di luar kota, jaraknya sekitar 73 km dari Rio. Nah, kalau kemana-mana harus pake taksi atau Uber. Hitungannya mahal, per km sekitar 3-4 rial (Rial Brasil). Kami memang memilih naik taksi atau uber dibanding transportasi umum seperti bus dengan alasan keamanan,” beber Junaedi.
Sebagai jurnalis televisi, Junaedi dan Carlos harus membawa berbagai peralatan seperti kamera dan lain-lain setiap meliput. Mereka merasa kurang aman menggunakan jasa transportasi publik, termasuk bus reguler. Hal itu tak terlepas dari pengalaman keduanya saat melihat langsung peristiwa penodongan dan perampokan di depan umum.
Carlos dan Junaedi memilih waspada meskipun pemerintah Brasil menempatkan banyak petugas keamanan 1-2 km dari venue olimpiade. Jika tak ada mobil atau taksi, pilihan yang paling realistis adalah berjalan kaki. Selama di Brasil, mereka bisa berjalan kaki berkilo-kilo meter dalam sehari, terutama saat menuju venue.
“Kami tidak mau ambil risiko kalau mau membawa kamera dan peralatan lain ke dalam bus,” kata Junaedi menjelaskan alasannya tak menggunakan jasa bus selama di Brasil.
Selain transportasi, para jurnalis asing juga direcoki dengan kendala bahasa. Warga Brasil tak banyak yang bisa berbahasa Inggris. Komunikasi harus dilakukan dengan bahasa Portugal yang jarang dikuasai oleh jurnalis internasional, termasuk Carlos dan Junaedi. Mereka pun harus pintar-pintar mengatasi kendala bahasa ini supaya peliputan bisa berjalan lancar.
“Yang juga jadi masalah harga-harga barang di sini sangat mahal. Sepertinya memang harga-harga barang dinaikkan saat Olimpiade ini. Air putih ukuran kecil saja harganya bisa mencapai Rp 25.000. Roti isi daging di media center dibanderol sekitar Rp 50.000, padahal kalau di Jakarta paling Rp 15.000,” keluh Junaedi.
Namun, berbagai duka yang dialami selama di Brasil tertutupi oleh berbagai momen spesial. Junaedi dan Carlos mendapat banyak pengalaman berharga karena bisa bertemu dengan atlet maupun jurnalis dengan berbagai warna kulit, kultur, bangsa yang berbeda.
“Bisa bertemu dengan semua warna kulit, ukuran, dan aroma yang berbeda sangat luar biasa. Kami bisa bertemu orang-orang yang hebat, para olimpian dari berbagai negara. Bahkan, jurnalis-jurnalis yang diisi pun pasti istimewa, mereka wartawan-wartawan olimpian pilihan kantornya. Bisa bertemu orang-orang hebat adalah sesuatu sekali,” beber Carlos, yang empat tahun lalu juga bertugas meliput di Olimpiade London 2012.
Lalu apa pengalaman yang paling berkesan? Ternyata, saat menjadi saksi dua lifter Indonesia, Sri Wahyuni Agustiani dan Eko Yuli Irawan meraih medali perak cabang angkat besi kelas 48 kg putri dan 62 kg putra. Sebagai jurnalis, Carlos dan Junaedi seharusnya bersikap netral dan objektif dalam melakukan peliputan. Tapi, prinsip-prinsip tersebut langsung menguap begitu saja saat mereka melihat perjuangan Eko Yuli dan Sri Wahyuni.
Kedua jurnalis SCTV tersebut ikut berteriak-teriak memberikan dukungan layaknya suporter. Saat Eko maupun Yuni—panggilan Sri Wahyuni—gagal mengangkat beban, mereka juga berteriak kecewa.
“Setelah Yuni dan Eko dapat medali, kami breaking news. Melakukan itu menjadi kepuasan tersendiri sebagai jurnalis. Memberitakan kabar baik bagi negeri itu klimaks. Saat lomba berlangsung, kami ikut teriak-teriak. Ketika Yuni gagal kami ikut sedih. Sampai-sampai wartawan dari negara lain menengok ke arah kami gara-gara itu,” kata Carlos sembari tertawa.
Olimpiade baru berlangsung sepekan, itu artinya tugas Carlos dan Junaedi masih jauh dari selesai. Mereka masih harus merekam banyak peristiwa penting, terutama dari cabang bulutangkis. Inilah lumbung medali emas bagi Indonesia. Untuk menggenapi momen spesial di Olimpiade Rio, Carlos dan Junaedi berharap bisa menjadi saksi hidup saat medali emas diraih di arena bulutangkis. “Semoga bisa melihat atlet bulutangkis kita dapat emas,” pungkas Carlos.