Kolom Ganesha Putera: Senioritas Bima Sakti, Ban Kapten Andritany

oleh Bola diperbarui 22 Agu 2016, 17:00 WIB
Kolom Ganesha Putera: Senioritas Bima Sakti, Ban Kapten Andritany. (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Pekan lalu, penulis berkesempatan untuk terlibat dalam kegiatan “Pejuang Lapangan Hijau” dalam rangka memperingati HUT Republik Indonesia ke-71. Kegiatan yang digagas oleh Tiga Naga Football Academy ini merupakan kegiatan yang edukatif.

Siangnya, penulis bersama Coach Danurwindo berkesempatan untuk berbagi dengan pelatih Sekolah Sepak Bola seantero Pekanbaru, Riau. Malamnya sebagai puncak acara, trio pesepak bola tenar Bambang Pamungkas, Bima Sakti, dan Kurniawan Dwi Yulianto memberikan motivational talk yang begitu menggugah dan inspiratif.

Advertisement

Salah satu cerita inspiratif yang sangat menohok datang dari Bima Sakti. Ia bercerita pengalamannya saat berlatih di Helsinborg, Swedia. Dalam beberapa kesempatan latihan perdana, sang gelandang jangkar sering berduel satu melawan satu dengan Roland Nilsson, pemain tim nasional Swedia kala itu dengan catatan 100 cap.

Ketika itu Bima muda yang pemalu, sedikit grogi dan sungkan dengan kemilau reputasi Nilsson. Ujungnya, Bima sering kalah dalam duel.

Dalam suatu momen duel satu lawan satu, Roland tak tahan lagi. Ia menendang bola jauh-jauh, mencekik Bima Sakti dan menghardik “Kamu mau latihan enggak? Kenapa kamu tidak pernah total rebut bola dari saya?”

Pemain jebolan program mercusuar PSSI Primavera Italia pada pertengahan 1990-an sontak terkaget-kaget.

Bima Sakti, hingga usia 40 tahun tetap bisa bersaing di pentas kompetisi kasta elite. (Abelda Gunawan/Liputan6.com)

Insiden yang membuka mata Bima Sakti bahwa latihan adalah sebuah pertandingan. Sejak itu, Bima selalu pulang latihan dengan kado luka baret dan bengkak. “Kalau pulang belum ada luka saya anggap belum latihan,” ujarnya.

Apakah Roland melakukan itu karena peduli dengan Bima Sakti? Mungkin tidak. Ia sebenarnya amat egoistis. Jika dalam latihan, Bima Sakti selalu sungkan dalam duel, maka Roland tidak akan dapat latihan berkualitas.

Roland pasti akan menurun penampilannya. Alih-alih Roland menikmati kenyamanan sebagai pemain senior, ia memaksa lingkungannya justru memberi ketidaknyamanan pada dirinya.

Bagaimana dengan sepak bola di republik yang sudah mulai menua berusia 71 tahun ini?

Cerita Bima berlanjut saat ia kemudian dipanggil ke TC timnas Kualifikasi Piala Asia 1996. Berangkat dari Helsinborg ke Genoa, Italia, Bima membawa kebiasaan latihan adalah pertandingan. Beberapa duel dan tebasan sportifnya berbuah ledekan, “Selow friend, ini cuma latihan doang,” ujar sejumlah rekan di Tim Merah-Putih kala itu.

Di usia 41 tahun sekarang, Bima masih bermain di level tertinggi sepak bola Indonesia. Hebatnya ia pernah cedera kaki parah pada tahun 2003, namun bisa kembali pulih dan menjalani karier yang panjang hingga saat ini.

Bima bercerita dirinya masih menemukan pemain senior yang minta diistimewakan dalam latihan. Pemain muda tidak boleh serius saat duel lawan mereka. Sebaliknya pemain junior juga sering terlalu sungkan pada senior.

“Itulah sebabnya saya masih bisa bikin gol di liga sekarang, karena mereka sungkan jaga saya,” ujarnya bercanda. Situasi yang diamini oleh rekannya, dan KurniawanBambang Pamungkas Dwi Yulianto.

2 dari 3 halaman

Sibuk Bertukar Ban Kapten

Andritany Ardhiyasa (Bola.com/Arief Bagus)

Belum lama berselang, kejadian serupa kembali berlangsung dalam konteks berbeda. Di gim Torabika Soccer Championship 2016 presented by IM3 Ooredoo yang mempertemukan Persija Jakarta melawan PSM Makassar di Stadion Mahanan, Solo, Minggu (21/8/2016), Andritany Ardhiyasa didapuk sebagai kapten Tim Macan Kemayoran.

Di pertengahan babak ke-2, seniornya Bambang Pamungkas masuk dari bangku cadangan. Kehebohan terjadi, Andritany sibuk melepas ban kapten dan segera mengirimkannya pada Bepe. Jika ini adalah instruksi pelatih, maka itu adalah hal yang lumrah. Selesai masalah.

Hanya saja, bila seandainya (sekali lagi ini seandainya) memang tidak ada instruksi pelatih soal hal tersebut, maka jelas kultur sepak bola kita yang dikeluhkan Bima Sakti kembali terjadi.

Budaya menghormati yang lebih tua seharusnya diterjemahkan lebih objektif di sepak bola. Bukankah menghormati senior terlalu berlebihan jika harus diterjemahkan dengan mengoper ban kapten dan melanggar instruksi pelatih?

Mengapa seorang pemain yang lebih muda tidak berpikir objektif dan mengatakan, “Saya menghargai amanah pelatih. Saya adalah kapten yang harus memimpin semua pemain. Tua muda, senior junior, lama baru, siapapun dia.”

Penulis yakin siapapun pemain senior di republik ini pasti setuju dengan hal ini. Mudah-mudahan alinea ini hanyalah pengandaian yang fiktif.

Sebab bisa saja yang terjadi memang Jan Saragih memerintahkan Andritany untuk mengoper ban kapten kepada Bambang Pamungkas.

Jika kejadian tadi masih pengandaian, penulis akan menceritakan pengalaman nyata di pembinaan usia muda. Kali ini  bukan soal tua-muda, tapi soal budaya kritik. Dalam suatu latihan, seorang stoper melakukan backpass ke kiper. Operan yang keriting dari stoper membuat bola sulit dikontrol. Bola tercuri dan tim kebobolan. Ekspresi kiper dan stoper datar dan saling terdiam.

Dalam evaluasi, pelatih bertanya ke kiper: “Apa masalahnya kenapa kok tadi salah kontrol?” Si kiper hanya terdiam. Setelah latihan selesai si kiper menghampiri
pelatih dan katakan, “Coach, passing dari dia keriting tadi!” Seolah ketiban kesempatan, penulis melompat dalam pembicaraan.

“Kalau passing kawanmu keriting, kenapa kamu diam saja? Mengapa kamu tidak memarahinya?” Si kiper pun menjawab spontan: “Enggak enak Om, kan dia teman saya,” serunya.

Jika si kiper adalah Roland Nillson, sudah pasti si stoper kena cekik. Dengan kiper memarahi beknya, sebenarnya ia sedang menjaga seluruh tim untuk memelihara standar tinggi. Dengan menuntut rekan setim lakukan operan bagus, ia juga menuntut dirinya lakukan operan bagus.

Persoalannya, banyak pemain tidak mau memarahi kawannya, supaya ia juga tidak dimarahi kalau salah passing. Sungguh budaya yang secara tidak sadar memelihara lingkungan untuk berperforma sedang-sedang saja.

Berbagai kisah nyata di atas merupakan fakta pembuka mata menarik. Bangsa kita konon berbudaya dan memiliki tradisi yang luhur. Kenyataannya, banyak tradisi dan budaya tersebut yang bertentangan dengan nilai dan etos kerja sepakbola top level professional.

Budaya menghormati yang lebih tua secara tidak sadar membuat pemain kehilangan objektivitas sepak bolanya. Apakah seorang yang lebih muda harus sungkan berduel dengan pemain senior? Apakah seorang pemain yang lebih muda harus tunduk pada pemain yang lebih senior meskipun ia diperintahkan pelatih menjadi kapten?

Demikian juga dengan budaya kritik di sepak bola. Apakah memarahi rekan setim di dalam permainan adalah haram? Haruskah pemain menunggu situasi berdua dengan pelatihnya, baru menyampaikan kritik? Jelas di dunia sepak bola itu mustahil.

Kesalahan yang dibuat harus dikoreksi saat itu juga. Permainan sepak bola tidak bisa menunggu.

3 dari 3 halaman

Revolusi Budaya ala Guus Hiddink

Guud Hiddink (AFP/Glyn Kirk)

Penulis ingin menutup tulisan dengan kisah pelatih asal Belanda, Guus Hiddink di Piala Dunia Korea-Japan 2002 yang tertulis dalam buku “How Simple Can it be?” karya Frank van Kolfschooten. Saat melatih Korea Selatan, Hiddink menemukan permasalahan besar. Setiap pemain senior teriak minta bola, pemain muda selalu memberikannya. Bahkan dalam situasi tidak bagus sekalipun. Pemain muda lebih memilih passing melebar ke senior, ketimbang penetrasi cetak gol.

Untuk mengikisnya, Hiddink melakukan revolusi. Setiap makan, ia merotasi komposisi duduk pemain. Hong Myung-bo misal tiba-tiba harus duduk dengan Cha Du Ri yang berbeda 10 tahun lebih usianya. Kecanggungan yang terjadi pada awalnya mulai mencair. Pemain saling menghormati dalam konteks sepak bola, bukan budaya dan usia.

Puncaknya dalam suatu perayaan kemenangan Korsel atas Spanyol di perempat final, dilakukanlah pemotongan kue raksasa. Secara spontan, salah satu pemain termuda mengambil kue bagian teratas kemudian melemparnya ke Hong Myung-bo, kapten tim.

Acara yang disiarkan langsung ke seluruh negeri sedikit banyak merevolusi budaya hirarki di Korea. Hiddink bukan cuma mengubah sepak bola, tetapi merevolusi budaya lewat balbalan.

Jadi ketika budaya dan tradisi bangsa kita yang katanya luhur itu bertentangan dengan tuntutan sepak bola top level profesional, apa yang harus kita lakukan? Sepak bola harus menjadi tuan di rumahnya sendiri, dengan tradisi, kultur dan budanyanya sendiri. Untuk itu hanya ada satu kata: Lawan! Untuk kehidupan (sepak bola) yang lebih baik!

Ganesha Putera

@ganeshaputera

Co-Founder www.kickoffindonesia.com

Pusat Kepelatihan Sepakbola

Berita Terkait