Bola.com, Jakarta - Pendaftaran calon Ketua Umum PSSI sudah dibuka. Nama-nama yang digadang-gadang sudah muncul. Pemilihan Ketua Umum PSSI pengganti La Nyalla Mattalitti yang direncanakan pada 17 Oktober 2016 di Makassar itu, merupakan salah satu keputusan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI awal Agustus lalu.
Masih ada keputusan-keputusan KLB yang lain, namun yang menarik dalam pelaksanaan KLB lalu adalah menggerudugnya para Bonek dari Surabaya ke arena kongres di Jakarta Utara. Mereka menyuarakan agar klub Persebaya 1927 diikutsertakan pada kongres. Dengan diikutsertakan klub itu berarti ada pengakuan dari PSSI terhadap Persebaya 1927 yang masih terkena skorsing.
Masih nekatkah para Bonek datang ke kota Angin Mamiri nanti? Tak tahulah. Yang ingin dituangkan di sini adalah, bahwa sebenarnya Bonek bukan hanya ada di dalam diri para suporter, tapi juga milik para pengurus itu sendiri.
Baca Juga
Istilah Bonek yang selama ini kita kenal berasal dari kependekan Bondo Nekat. Suporter yang ingin mendukung klub kesayangannya datang ke stadion dengan modal nekat, serba terbatas.
Julukan diberikan kepada suporter Persebaya Surabaya karena pendukung mereka sering kali datang ke Jakarta atau tempat pertandingan lain dengan modal nekat. Datang berbondong-bondong, memakai kereta api atau angkutan umum lainnya tanpa bayar, dan masuk ke stadion pun tanpa membeli tiket. Kelakuan mereka pun acap kali membuat keributan.
Sekarang istilah ini mungkin sudah tidak relevan lagi karena suporter Bajul Ijo kalau datang ke stadion sudah banyak difasilitasi oleh pihak Persebaya sendiri. Maka tak heran kalau mereka datang ke stadion atau ke tempat kongres di sebuah hotel di Jakarta Utara lalu dengan pengawalan pihak berwenang.
Bonek ada dan tentu akan terus berproses menuju supoter yang sempurna. Suporter yang datang ke stadion membeli karcis, memberikan dukungan dengan yel-yel yang sesuai aturan, dan selalu menunjukkan sikap sportif terhadap klubnya, menang maupun kalah.
Harapan kita seperti itu, tapi terwujudnya kapan sulit ditentukan. Jangankan di Indonesia, di Inggris, Italia, dan negara-negara sepak bola lain pun masih ada suporter jenis ini.
Jangan berkecil hati kaum Bonek. Sebenarnya dalam diri para pengurus, klub, dan nama-nama yang muncul sebagai calon Ketua Umum PSSI, juga bermodal nekat. Bukan melulu soal materi, tapi nekat karena kemampuan dan posisinya di mata aturan sepak bola yang berlaku.
Kondisi yang diterima layaknya bonek juga. Kongres dijaga ketat, dikawal pihak berwajib, beberapa pertandingan juga ada yang membawa pemain masuk ke stadion harus dikawal oleh Barakuda, keamanan yang super ketat, dan cara-cara lain layaknya menghadapi bonek.
Pengurus, dari pengurus PSSI, Liga, sampai klub, mayoritas adalah Bonek. Melaksanakan sekaligus mengizinkan klub-klub yang bertanding di liga pro tapi mengelolanya masih amatiran adalah cara-cara yang nekat.
Dasarnya adalah dengan pertanyaan-pertanyaan ini: adakah klub-klub yang bertanding di Liga Super Indonesia yang merupakan kasta pro/tertinggi kompetisi di Tanah Air, yang memiliki homebase sendiri? Yang memiliki jenjang pembinaan usia dini secara teratur? Atau adakah kompetisi usia dini tingkat nasional secara teratur?
Memiliki homebase dan pembinaan usia dini adalah aturan-aturan berlaku umum yang dikeluarkan oleh FIFA yang harus dijalankan oleh anggotanya di seluruh dunia. Tolok ukurnya di Indonesia sebenarnya ada, yaitu di tangan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).
Walau kasus tahun 2015 yang menelorkan pembekuan PSSI dulu hanya menyangkut beberapa klub, tapi kondisi yang sebenarnya adalah seluruh klub tidak layak ikut berkompetisi secara profesional.
Akan tetapi, kompetisi dan PSSI tetap ada, dan FIFA menyetujui. Sah-sah saja dengan harapan semakin tahun harus ada perbaikan. Kenyataannya, perbaikan tidak signifikan dengan harapan-harapan itu. Klub-klub tidak berubah, pengurus pun tidak menggubrisnya. Bukankah orang-orang yang yang melaksanakannya itu sama saja dengan orang yang hanya mengandalkan modal nekat semata alias Bonek?
Calon Ketua Umum PSSI
Begitu pula dengan calon Ketua Umum PSSI. Nama-nama yang muncul ke permukaan tidak memiliki status kemandirian yang sempurna, ciri dari pengelolaan sepak bola modern sekarang ini.
Calon yang pertama adalah Eddy Sofyan, yang diusung oleh Badan Sepak Bola Rakyat Indonesia (Basri). Sebagai orang nomor satu di Basri dan mantan pemain nasional serta pernah menjadi pelatih sebenarnya merupakan latarbelakang yang cocok untuk pemimpin tertinggi organisasi yang mengurusi sepak bola.
Akan tetapi ia mempunyai latar belakang sebagai terpidana, status yang membuat Nurdin Halid dulu digugurkan sebagai Ketua Umum PSSI.
Digugurkannya Nurdin Halid dulu, kemudian disusul oleh sikap KLB yang memberhentikan La Nyalla Mattalitti sebagai Ketua Umum PSSI karena ia sudah sebagai tersangka, adalah cara-cara elegan mendorong kepengurusan yang mandiri. Dua sikap ini sudah bagus, kenapa harus dicoreng lagi dengan mengangkat Eddy Sofyan nantinya?
Calon lain masih bernama depan Edy, tapi yang satu ini adalah Panglima Kostrad, Edy Rahmayadi. Dia didukung oleh kelompok 85 (karena berkembang terus sekarang sudah jadi kelompok berapa ya?).
Di kancah sepak bola sekarang ini dia adalah Direktur PS TNI yang belakangan aktif ikut di berbagai turnamen termasuk Turnamen Piala Bhayangkara di awal tahun 2016 ini.
Pantaskah Edy menjadi ketua umum organisasi sepakbola tertinggi di Tanah Air di era serba profesional ini?
Keikutsertaan PS TNI ke berbagai turnamen saja dipertanyakan, apalagi nanti dalam kompetisi tingkat pro, apalagi kalau ia sampai jadi ketua umum. Sebagai Pangkostrad, kemandirian dalam memimpin PSSI yang banyak bergerak bukan hanya di dalam negeri tapi juga luar negeri, patut pula dipertanyakan.
Bisa saja Edy didorong oleh pemerintah untuk membenahi PSSI hingga hubungan ke pemerintah nantinya menjadi mulus. Boleh-boleh saja, tapi membuat mulus hubungan PSSI dengan pemerintah tidak harus datang dari TNI aktif, masyarakat biasa juga bisa sepanjang yang dijalankan adalah sesuai aturan dan saling menghargai fungsinya masing-masing.
Dalam Undang-Undang Keolahragaan Nasional memang disebutkan kalau pemerintah adalah penanggungjawab prestasi olahraga nasional. Tapi sebagai penanggungjawab bukan harus aktif mengawasi pengelolaan organisasi olahraga secara penuh. Masih ada ujung tombak orgnisasi olahraga, yaitu PB dan PP beranggotakan klub-klub.
Undang-undang tersebut juga menyebutkan kalau pejabat publik tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Ketua KONI maupun KONI Pengprov. Undang-undang itu menyiratkan kalau rangkap jabatan akan sulit dilaksanakan bersamaan. Meskipun arahnya adalah soal transparansi keuangan, namun pada kegiatan lain juga sulit diwujudkan.
Pengamanan Barracuda
KONI memang berbeda dengan PB/PP. Namun, pada kenyataannya di lapangan, aktivitas Ketua Umum KONI dan PP/PB hampir sama besarnya. Yang satu perhatian kepada seluruh cabang olahraga, sementara yang satu lagi fokus pada satu cabang. Namun, keduanya menuntut perhatian yang dalam.
Di lain hal, biasanya pejabat aktif berkonsentrasi mengurus cabang yang dikelolanya ketika masih aktif saja. Begitu sudah tidak aktif menjabat lagi, perhatian akan menurun. Pengalaman sudah banyak terjadi, dan kalau diulang-ulang lagi apakah bukan tindakan nekat namanya?
Ada nama lain Moeldoko, mantan Panglima TNI. Tampaknya caketum ini bakal sama dengan Edy, jiwa prajuritnya menonjol, kurang kemandirian, tergantung atasan. Lagi pula ada aturan yang menyebutkan kalau calon ketua sebelumnya sudah aktif di sepak bola minimal lima tahun.
Nanti dicarilah agar yang bersangkutan lolos, misalnya pengalamannya sebagai panglima. Sebagai panglima otomatis ia menjadi pembina sepak bola TNI. Kalau mencari-cari alasan seperti ini apakah bukan nekat nama gayanya?
Barangkali hanya Erwin Aksa yang masuk dalam kategori bakal calon lebih baik, kebetulan ia dari swasta. Ia sudah lama bergelut di sepakbola, walau kebanyakan di tingkat daerahnya, Sulawesi Selatan. Ia juga pernah beradu suara saat pemilihan ketua di kongres lalu, walau akhirnya kalah.
Hanya memang Erwin harus memiliki program ke depan yang lebih komprehensif. Sebagai orang yang berpengalaman, ia harus sudah mulai melangkah menuju sepak bola profesional sejati. Baik itu untuk klub, pemain, dan pengurusnya.
Kalau tidak, ia sama saja dengan kandidat lain, bermodal nekat untuk memimpin PSSI yang masih berstandar ganda ini. Pro belum, amatir pun bukan.
Untuk menuju kesempurnaan memang memerlukan proses, tapi jangan memakan waktu yang panjang lagi. Pembinaan sepakbola kita sudah sangat ketinggalan jauh. Kita harus berlari kencang mengejarnya dengan aturan-aturan keprofesionalan yang mengikat kuat.
Kita juga tidak ingin menyaksikan lagi, untuk berkongres para peserta harus dikawal oleh pihak keamanan. Untuk bertanding, para pemain harus dibawa memakai mobil Barakuda. Mau datang ke stadion para suporter dikawal oleh iringan mobil bersirine. Gara-gara sepak bola, penonton tewas.
Kongres untuk memilih Ketua Umum PSSI masih sudah di depan mata. Jadikanlah tempat kongres, salah satu kota sepak bola kita, Makassar, menjadi titik tolak buat peserta dan calon ketua umum untuk membuang jauh pikiran Bonek.
Lilianto Apriadi
Penulis adalah pengajar ilmu komunikasi dan pengamat olahraga