Bola.com, Jakarta - Indonesia gagal mencapai target 3 medali emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Ini bukan kegagalan pertama sejak kita meraih medali emas Olimpiade, tahun 1992 di Barcelona, Spanyol. Ketika Olimpiade 2012 di London, kita juga gagal bahkan pulang tanpa emas sekeping pun.
Namun, ketika itu kita masih memiliki harapan ke depan. Pemerintah saat itu mencanangkan proyek Hambalang untuk pemusatan pendidikan dan pelatihan olahraga nasional guna mendapatkan prestasi puncak 5-10 tahun ke depan. Hambalang diproyeksikan menjadi kunci untuk membangkitkan lagi prestasi olahraga nasional.
Baca Juga
Program-program pun disesuaikan ke arah itu. Asian Games 2018 dicoba untuk direbut, agar pembuktian pembinaan terwujud di situ. Tapi, kalah dari Vietnam. Indonesia kebagian menjadi tuan rumah Youth Asian Games 2021, dan diharapkan akan berlangsung di Surabaya.
Kekalahan bidding di Macao 2012 itu sebenarnya blessing in the guest, kekalahan yang merupakan anugerah juga. Mendapatkan pesta olahraga Asia tingkat junior itu merupakan kesempatan uji kemampuan atlet-atlet yang dibina di Hambalang, sebelum menuju ke tangga yang paling tinggi, yakni Olimpiade 2024. Pemilihan kota Surabaya juga diharapkan mampu menyebarkan sarana dan prasarana olahraga tingkat internasional ke bebagai kota, bukan tertumpu pada Jakarta saja.
Tapi semuanya berantakan. Hambalang terseret korupsi hingga mengorbankan Menpora ketika itu, Andi Mallarangeng, harus mundur dan sekarang mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung, selama 4 tahun. Belum lagi terdakwa hingga bakal menyusul tersangka lainnya. Negara dianggap telah rugi ratusan miliar rupiah atas pembangunan proyek itu.
Sementara itu, Vietnam mundur selaku tuan rumah Asian Games. Opsi jatuh ke tangan Indonesia dan diterima. Target masuk lima besar di Asian Games 2018 pun dilambungkan, sedangkan pusat pelatihan belum berdiri, walau Hambalang sempat didengungkan akan diteruskan pembangunannya setelah Presiden Jokowi meninjau lokasi.
Sekarang, setelah kegagalan lagi diterima di Olimpiade, rencana pemerintah belum kedengaran lagi. Hambalang memang akan dilanjutkan, tapi belum terlihat kemauan tinggi yang tegas dari pemerintah untuk mewujudkannya.
Apakah dengan kondisi seperti itu, kita siap mencapai lima besar Asia pada dua tahun ke depan? Jawabannya pasti siap, tapi soal target lepas sajalah.
1
Konsentrasi Hambalang
Kini mulailah berkonsentrasi meneruskan proyek Hambalang. Tentu dengan seluruh aturan main ditegakkan. Soal kasus korupsinya juga silakan dituntaskan.
Kemudian lahirkan Hambalang-Hambalang berikutnya di seluruh Tanah Air. Konsep menempatkan tuan rumah pesta olahraga internasional di daerah juga bisa dilakukan, seperti China dan negara-negara lain, menyebarkan pembangunan sarana olahraga ke berbagai daerah.
Memang menyedihkan kondisi beberapa bekas arena pertandingan, misalnya bekas Pekan Olahraga Nasional (PON) di berbagai daerah, tidak lagi terpelihara. Dibutuhkan peran pemerintah pusat dan daerah untuk melestarikan penggunaan sarana olahraga itu, apalagi yang sudah berstandar internasional. Jangan mengandalkan melulu Senayan yang juga sudah ketinggalan zaman.
Palembang sudah menjadi contoh yang bagus. Usai menjadi tuan rumah PON dan SEA Games, mereka melestarikannya dengan merebut tempat penyelenggaraan event-event skala nasional maupun internasional. Kegigihan Pemda dan KONI Pengprov membuat Jakabaring masih menjadi kabanggaan Kota Pempek itu.
Mereka pun kebagian jadi tuan rumah Asian Games 2018 bersama Jakarta. Berbeda umpamanya dengan Riau dan Kalimantan Timur yang juga pernah menjadi tuan rumah PON, semakin melempem penggunaan sarana olahraganya, apalagi untuk tingkat internasional.
Hambalang yang terletak di Bogor itu dicanangkan sebagai Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON). Berdiri di atas tanah seluas 32 hektar, dan diharapkan menjadi kawah candradimuka olahraga nasional. Sarana yang komplet, tempat-tempat latihan bertaraf internasional, juga asrama, dan sekolah atlet yang mumpuni.
Boleh dikata Hambalang merupakan “skala besarnya” sekolah Ragunan Jakarta yang dulu merupakan pusat kelahiran atlet-atlet internasional kita. Dulu, Ragunan merupakan impian bagi atlet remaja. Mereka ingin dibina di sana.
Susy Susanti, Icuk Sugiarto, Nurfitriyana, dan Kurniawan Dwi Yulianto, adalah contoh sedikit nama beken yang pernah merasakan tempaan Ragunan. Masih banyak nama lagi yang kemudian beredar di nasional maupun internasional. Mereka adalah bibit-bibit yang berasal dari pelosok daerah, berprestasi, lalu dibawa ke Ragunan.
Sekarang Ragunan sudah ketinggalan zaman. Begitu pula dengan pusat-pusat latihan yang dimiliki daerah, juga dalam pengawasan Kemenpora, terpencar sistem pembinaannya. Diperlukan pembinaan yang terpusat dan terstruktur berdasarkan sport science. Itulah makna Hambalang.
Memang memerlukan biaya besar (Hambalang direncanakan mengeluarkan dana 2,1 triliun rupiah, namun dengan anggaran dua tahun), tapi kalau ada tekad dan kemauan yang besar dari pemerintah terhadap olahraga, bukan hal yang mustahil terwujud. Pembangunannya bertahap juga tidak apa-apa, dari pada tidak ada rencana sama sekali.
Memprihatinkan
Soal sarana olah raga, kita tidak usah membandingkan dengan China yang sudah lari cepat, atau dengan Amerika Serikat yang sudah membudayakan olah raga di sekolah-sekolah, dengan Thailand saja sudah cukup. Di negeri Gajah Putih itu sudah menyebar bangunan seperti Hambalang dengan siswa yang ribuan juga jumlahnya. Salah satunya yang sering dijadikan studi banding pejabat-pejabat Kemenpora, yakni yang ada di Chonburry.
Tidak heran kalau Thailand sekarang sudah merambah emas di cabang angkat besi. Dulu mereka di Olimpiade hanya dikenal lewat cabang tinju. Sedangkan Indonesia masih seperti dulu, mengandalkan bulutangkis.
Memprihatinkan melihat kondisi kinerja Kemenpora yang merupakan lembaga pengelola “master plann” olahraga nasional sekarang ini, semakin kehilangan arah. Setelah kinerja di dalam menjadi yang terparah dibandingkan kementerian lain, dan mengakibatkan Sekretaris Kemenpora Alfitra Salamm, mengundurkan diri, program yang muncul pun miskin tujuan.
Di cabang sepak bola umpamanya, setelah gagal dengan program pembekuan PSSI, muncullah Liga Santri. Mau dibawa ke mana sepak bola kita dengan penyelenggaraan itu?
Belum lagi cabang-cabang lain. Memang ada Satuan Pelaksana Olahraga Prima (Satlak Prima), akan tetapi dengan gagal pencapaian target di Olimpiade Rio, program mereka perlu evaluasi. Sangat wajar juga kalau menuntut evaluasi menyeluruh kinerja Kemenpora yang di dalam Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) merupakan lembaga yang mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan nasional.
Wujud wewenang itu adalah menjadi penanggung jawab terhadap kemajuan maupun kegagalan prestasi olahraga nasional. Puncak prestasi olahraga nasional ada di Olimpiade, dan sekarang telah gagal diraih.
Lilianto Apriadi
Penulis adalah pengajar ilmu komunikasi dan pengamat olahraga