Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia U-19 menyudahi Piala AFF U-19 2016 dengan pencapaian mengecewakan. Tim asuhan Eduard Tjong gagal lolos ke semifinal.
Dimas Drajat dkk. gagal mengulangi prestasi maksimal di ajang serupa pada edisi 2013. Kala itu Timnas Indonesia U-19 sukses jadi yang terbaik di kawasan ASEAN. Tim Merah-Putih terlihat kewalahan bersaing di fase penyisihan Grup B.
Pada pertandingan perdana Pandi Lestaluhu cs. digasak Myamar dengan skor 3-2. Petaka dialami Indonesia ketika kiper utama Riyandi mendadak cedera saat pertandingan.
Penjaga gawang pengganti, Satria Tama, membuat blunder yang membuat skor akhir pertandingan berpihak pada kubu lawan.
Baca Juga
Pada pertandingan perdana Pandi Lestaluhu cs. digasak Myamar dengan skor 3-2. Petaka dialami Indonesia ketika kiper utama Riyandi mendadak cedera saat pertandingan. Penjaga gawang pengganti, Satria Tama, membuat blunder yang membuat skor akhir pertandingan berpihak pada kubu lawan.
Padahal pada duel tersebut Indonesia sempat unggul 2-1, sebelum akhirnya Selanjutnya Selanjutnya Indonesia U-19 takluk 2-3 dari Thailand. Kekalahan ini amat menyesakkan karena kita sempat unggul dua kosong lewat gol Dimas Drajat.
Keroposnya lini pertahanan membuat Tim Gajah Putih merubah situasi. Mereka menggelontor gawang Tim Garuda Muda dengan tiga gol.
Kegagalan Indonesia lolos ke semifinal tergenapi saat berduel melawan Australia. Anak-asuh Eduard Tjong kalah 1-3. Pertandingan lanjutan melawan Laos dan Kamboja tak lagi memengaruhi nasib Tim Garuda Muda.
Apa sebenarnya kendala yang dihadapi Timnas Indonesia U-19 sehingga mereka gagal bersinar di Piala AFF 2016? Bola.com menyajikan analisa empat faktor penyebab kegagalan Young Guns di Hanoi, Vietnam. Apa-apa saja?
Waktu Persiapan Amat Pendek
Selepas FIFA mencabut sanksi ke PSSI, Eduard Tjong tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan Timnas Indonesia U-19. Ia hanya punya waktu kurang dari dua bulan menggelar pelatnas persiapan Piala AFF U-19 2016 yang dihelat 1 hingga 24 September 2016.
Sudah minim persiapan Tim Garuda Muda juga krisis uji coba berkelas. Dimas Drajat dkk. hanya melakoni duel-duel latih tanding tim-tim kelas lokal. Tim Merah-Putih hanya berkesempatan menjajal kekuatan Filipina U-19.
Uji coba digelar di Stadion Maguwoharjo, Jumat (19/8/2016) berkesudahan 3-1. Sebelumnya timnas dijadwalkan bersua Myanmar, namun belakangan batal karena persoalan pengaturan jadwal yang terlalu pendek.
Situasi ini tentu membuat Eduard Tjong pusing tujuh keliling. Ia tidak pernah bisa benar-benar menguji kekuatan anak-asuhnya. Pertandingan melawan tim-tim lokal tidak memberikan tekanan kepada para pemain, karena kualitas lawan di bawah mereka.
Pemain Kurang Jam Terbang Bertanding
Mayoritas pemain Tim Merah-Putih yang tampil di Piala AFF U-19 minim pengalaman berlaga di pentas internasional. Banyak pemain muka baru di Timnas Indonesia, mereka tak diasah secara berkala dalam ajang kompetisi. Perseteruan antara Kemenpora dengan PSSI membuat aktivitas sepak bola usia dini mati suri.
Pada akhir tahun 2014 PSSI sempat menjalankan program pelatnas jangka panjang di level U-16 dan U-19 di bawah komando Fachry Husaini. Metode ini mengikuti program yang digeber pelatih sebelumnya Indra Sjafri saat menukangi Timnas Indonesia U-19.
Dengan berkumpul bersama dalam waktu lama, besar harapan para pemain mengenal karakter satu sama lain serta memiliki ikatan yang kuat. Sayangnya harapan tersebut terbentur konflik elite sepak bola yang berkepanjangan.
Saat memulai sesi pelatnas menghadapi Piala AFF 2016, Eduard Tjong memulai dari nol lagi. Memang ia bisa memberdayakan pemain-pemain binaan Fachry, namun para pemain muda berbakat dari berbagai daerah dalam kondisi minim jam terbang bertanding internasional atau tempaan kompetisi domestik.
Berada di Grup Neraka
Timnas Indonesia U-19 asuhan Eduard Tjong, yang minim waktu persiapan, harus menerima kenyataan pahit berada di grup penyisihan yang terhitung neraka. Hasil undian yang dilakukan AFF di Da Nang sejak Minggu (13/3/2016) menempatkan Tim Merah-Putih berada di Grup B yang dihuni negara-negara kuat macam Thailand, Australia, dan Myanmar.
Thailand berstatus sebagai juara bertahan turnamen. Pada edisi 2015 mereka jadi jawara setelah menundukkan Vietnam dengan skor telak 6-0 di laga puncak. Tim Negeri Gajah Putih juga tercatat sebagai negara pengoleksi gelar terbanyak, empat trofi. Bandingkan dengan Indonesia yang baru sekali jadi kampiun pada tahun 2013.
Australia, negara dengan level pembinaan yang jauh lebih baik dibanding negara-negara Asia Tenggara. Kelas mereka bisa dibilang level elite persaingan Asia atau bahkan dunia. Tim Kanguru punya timnas junior berjenjang (Young Socceroos) yang melakukan latihan di sebuah sentra pembinaan dengan fasilitas wah.
Para pemain muda mereka juga berlaga di kompetisi junior dengan level persaingan yang amat ketat. Myammar juga tak bisa lagi dipandang remeh. Mereka jadi kekuatan baru level junior ASEAN. Catatan apik mereka buat pada edisi Piala AFC U-19 2014, di mana Myanmar lolos putaran final Piala Dunia U-20.
Hanya Kamboja dan Laos di Grup B yang kualitas timnasnya bisa dibilang di bawah Indonesia. Jangan heran jika sejak awal Tim Merah-Putih diragukan bisa lolos ke semifinal.
Pelatih Minim Pengalaman di Level Timnas
Penujukkan Eduard Tjong sebagai pelatih Timnas Indonesia U-19 oleh PSSI mengejutkan banyak pihak. Arsitek kelahiran Solo, 1 Januari 1962 itu baru kali pertama dipercaya sebagai komandan Tim Garuda.
Karier kepelatihan Eduard Tjong dihabiskan di klub-klub semenjana macam Persis Solo, Persela Lamongan, Persiram Raja Ampat. Terakhir Edu tercatat menakhodai klub PS TNI di pentas Torabika Soccer Championship 2016 presented by IM3 Ooredoo.
Ia menepi dari tim bentukan kesatuan TNI karena rangkaian hasil buruk. Beda situasinya dengan Indra Sjafri. Kalaupun ia minim pengalaman membesut timnas junior, pelatih asal Sumatera Barat itu tercatat sebagai instruktur kepelatihan level AFC. Ia juga aktif dalam pembinaan SSB, sehingga cukup memahami perkembangan sepak bola usia dini.
Apesnya, sudah minim pengalaman Edu dihadapkan situasi sulit saat membentuk Timnas Indonesia U-19. Ia tak punya banyak waktu menggelar persiapan dan punya sumber daya pemain berlimpah yang dimaksimalkan.
Banyak pemain-pemain muda yang sejatinya diinginkannya tak bisa bergabung ke timnas, mereka fokus membela daerahnya di ajang PON dan fokus membela klubnya di ajang kompetisi profesional. Kalaupun akhirnya Tim Garuda Muda menuai hasil mengecewakan, ia tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
Baca Juga
Bintang-Bintang Lokal Timnas Indonesia yang Akan Turun di Piala AFF 2024: Modal Pengalaman di Kualifikasi Piala Dunia
Duel Pelatih Persebaya Vs Persija di BRI Liga 1: Paul Munster Pengalaman, Carlos Pena Memesona
Adu Gemerlap Pemain Asing Persebaya Vs Persija di BRI Liga 1: Mewah! Panas di Tengah dan Depan