Bola.com — "Perbudakan, bagaimanapun, terus berlanjut. Setiap tahun akhirnya banyak pesepak bola muda berkeliaran di sudut jalan Kota London, Paris, atau Madrid. Sementara air mata mereka bercucuran, gelontoran uang terus masuk ke kantong agen-agen nakal.
[...]
Klub terkena imbas. Mulai dari yang memiliki sejarah besar, seperti Barcelona atau Real Madrid, serta klub lainnya. Mereka menjadi sorotan. Qatar, si pemilik modal baru dalam dunia sepak bola, juga dipertanyakan. Mengapa negara tersebut sangat terobsesi dengan sepak bola? Membeli anak berusia 13 tahun dari keluarganya dan menempatkan sang anak di akademi mereka? Apakah mereka sedang membangun tim hebat untuk bersaing di Piala Dunia 2022?
Klub Inggris juga tidak kebal dari masalah. Bagaimana mereka bisa lalai lalu ikut campur dalam perdagangan ini? [...]. Banyak anak muda yang memiliki mimpi, namun tentu saja mereka tidak mampu meraihnya..."
—The Lost Boys: Inside Football's Slave Trade karya Ed Hawkins—
Dalam sebuah kesempatan, Michel Platini, pernah mengatakan, "Sekarang kita melihat berbagai hal memprihatinkan. Seorang pesepak bola bisa dimiliki tiga pihak sekaligus. Tangannya dimiliki pihak A, sementara kakinya menjadi milik perusahaan dana pensiun. Kita menghadapi masalah perbudakan manusia dengan cara modern."
Baca Juga
Pernyataan Platini di atas mengacu terhadap masalah Kepemilikan Pihak Ketiga (Third-Party Ownership) dalam dunia sepak bola. Sempat tenggelam, persoalan ini kembali muncul ke permukaan setelah Sam Allardyce, tersangkut skandal itu hingga kehilangan jabatan sebagai manajer tim nasional Inggris.
Skandal Allardyce terungkap setelah ia menjadi objek investigasi jurnalis The Telegraph mengenai praktik ilegal yang sudah dilarang Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) sejak musim 2008-2009. Dalam menjalani aksinya, sang jurnalis yang mengaku sebagai pebisnis asal Timur Tengah itu menghubungi Allardyce untuk mengakomodasi transfer pemain.
Bak gayung bersambut, Allardyce dikabarkan menyetujui permintaan tersebut asalkan mendapatkan upah "jasa konsultasi" sebesar 400 ribu poundsterling. Namun, bukan untung malah buntung. Pelatih berusia 61 tahun itu justru membuka aib sendiri ketika mengaku sudah terbiasa menjalani bisnis ilegal yang pada akhirnya mencoreng nama FA.
Jauh sebelum kasus Allardyce, Third-Party Ownership (TPO) dalam dunia sepak bola sudah marak ketika terdapat klub-klub yang tidak dapat merekrut pemain dengan banderol besar. Agar dapat merekrut pemain yang mereka inginkan, klub bersangkutan pada akhirnya harus meminta bantuan kepada perusahaan atau perseorangan di luar sepak bola.
Namun, setelah dibantu mendatangkan sang pemain, klub tersebut tidak bisa memiliki hak penuh. Sebab, biasanya pihak ketiga meminta sebagian atau seluruh nilai ekonomi dari pemain tersebut. (Baca: Ilustrasi sederhana Kepemilikan Pihak Ketiga dalam Transfer Pemain)
Bagi klub, keuntungan dari kesepakatan itu adalah mereka bisa mendapatkan dana segar dari penjualan pemain, memberi upah murah, dan tak perlu menanggung biaya hidup dari sang pemain. Namun, beberapa poin tersebut bergantung dari model kesepakatan yang terjadi antara klub dan pihak ketiga.
Brasil dan Bosman Ruling
Amerika Selatan bisa dibilang menjadi tempat praktik TPO lahir, tumbuh, dan berkembang. Hal itu terjadi karena benua tersebut selama ini memang dikenal memiliki sumber daya manusia dalam bidang sepak bola yang melimpah.
Salah satu negara yang menjadi pelopor adanya praktik TPO adalah Brasil. Di negara berpenduduk 200 juta tersebut praktik TPO sering dijalankan dengan tiga model.
Pada model pertama, pencari bakat atau promotor pemain mempromosikan pemain-pemain usia muda ke klub-klub. Jika pada nanti pemain tersebut berhasil dijual ke klub, pencari bakat atau promotor mendapatkan jatah 10 hingga 20 persen dari hak ekonomi pemain.
Model kedua, klub dan investor biasanya memiliki kesepakatan dalam urusan kepemilikan pemain secara bersama. Dengan begitu, hak ekonomi sang pemain dibagi dua, 50 persen milik klub dan 50 persen milik investor.
Model terakhir adalah ketika investor yang memiliki dana melimpah mengambil 100 persen hak ekonomi sang pemain. Model semacam ini biasanya terjadi pada klub yang membutuhkan pemain berkualitas, tetapi tak punya dana untuk memboyongnya.
Sayangnya, banyak pemain di Brasil yang mengetahui mengenai praktik tersebut lalu memanfaatkan situasi dengan meminta gaji tinggi kepada klub. Oleh sebab itulah, klub-klub bersangkutan tidak bisa lepas dari belenggu pihak ketiga karena mereka tetap ingin mempertahankan sang pemain tanpa mengganggu neraca keuangan.
Ahli Hukum Bidang Olah Raga asal Argentina, Ariel Reck, menjelaskan, praktik TPO di Amerika Selatan sebenarnya hadir setelah Bosman Ruling (Aturan Bosman) terbentuk pada 1995. Dalam aturan tersebut, setiap pemain memiliki hak untuk melakukan pembicaraan dengan pihak lain 6 bulan sebelum masa kontraknya habis sesuai dengan perjanjian dengan klub.
Oleh sebab itulah, setelah terdapat Aturan Bosman, tidak ada lagi klub yang bisa menghalang-halangi kepindahan pemain meski kontraknya belum habis. Pada kasus Bacary Sagna, misalnya, ketika pindah dari Arsenal ke Manchester City secara gratis. Meriam London tak mendapatkan sepeser pun uang transfer dari kepindahan sang pemain.
Dalam skema seperti ini, biasanya sang pemain lebih tunduk dengan aturan investor TPO ketimbang klub. Sebab, para investor tersebut tak hanya mencampuri hak ekonomi pemain, tetapi juga hak federatif yang seharusnya dimiliki oleh klub.
Hak Ekonomi dan Hak Federatif Pemain
Hak Ekonomi dan Hak Federatif Pemain
Berbicara soal TPO, para investor pihak ketiga biasanya mengeruk keuntungan dari hak komersial yang dimiliki pemain. Namun, hak komersial pemain itu tak bisa didapat andai klub yang bersangkutan tak mendapatkan hak federatif dari operator liga.
Hak federatif adalah hak klub untuk mendaftarkan pemain ke operator liga dan federasi, mengacu terhadap durasi kontrak sang pemain. Nantinya, operator liga akan mengeluarkan izin agar pemain itu bisa tampil di kompetisi resmi.
Setelah melalui beberapa proses, hak federatif pun pada akhirnya memunculkan hak ekonomi pemain, yang biasanya tertuang dalam bentuk nilai transfer.
Berbagai proses inilah yang membuat pihak ketiga tidak bisa lepas dari klub ketika melakukan bisnis besar transfer pemain. Sebab, mereka tidak memiliki kewenangan untuk melakukan kesepakatan langsung dengan pemain.
Setiap TPO mau tidak mau harus mendapat dukungan klub untuk mendaftarkan pemain ke operator liga. Begitu sudah berstatus pemain resmi, keuntungan yang bakal diraih andai pemain itu dijual ke klub lain, tergantung terhadap model yang disepakati kedua belah pihak.
Bersambung...
[Baca: Kepemilikan Pihak Ketiga: Perbudakan Modern dalam Sepak Bola (2)]