Bola.com — ...Third Party Ownership (TPO) harus mendapat dukungan klub untuk mendaftarkan pemain ke operator liga. Begitu sudah berstatus pemain resmi, keuntungan yang bakal diraih andai pemain itu dijual ke klub lain, tergantung terhadap model yang disepakati kedua belah pihak.
Setelah FA dan UEFA, FIFA akhirnya mengeluarkan putusan pelarangan TPO pada 2015. Namun, Sepp Blatter, Presiden FIFA ketika itu, menilai "pembasmian" praktik jual-beli pemain secara ilegal itu tidak dapat diselesaikan secara cepat.
Baca Juga
"Akan ada periode transisi setelah adanya putusan ini. Menurut saya, bakal ada berbagai hal yang terjadi seiring kita semua berusaha menyelesaikan persoalan ini," kata Blatter.
Meski sudah melarang, putusan FIFA ini dianggap telat. Sebab, sebelumnya sudah banyak contoh permainan para investor atau agen terkait masalah tersebut.
Pada 2007, Traffic Sports Agency pernah melakukan penelitian terhadap praktik TPO di Brasil. Hasil penelitian itu pun mengejutkan, karena 90 persen pemain yang bermain di Liga Brasil ternyata terkait dengan adanya praktik tersebut.
Dari 60 sampel hak ekonomi pesepak bola yang diambil pun diketahui jumlah aliran bisnis tersebut mencapai angka fantastis, yakni 75 juta dolar AS. Hal ini pula yang dikabarkan sempat menjadi dilema bagi FIFA sebelum mengeluarkan putusan.
FIFA beralasan, pelarangan praktik TPO secara tidak langsung dapat mematikan klub kecil yang tidak mampu membeli pemain hebat. Selain itu, para pemain yang mendapatkan upah di bawah standar tentu akan berpikir mencoba peruntungan di kompetisi negara lain.
Berkaca pada alasan-alasan itu wajar saja jika praktik TPO tumbuh dan berkembang di Brasil. Sebanyak 21 tim di liga Brasil bahkan dikabarkan sempat mengirim surat terbuka kepada FIFA agar membatalkan aturan soal praktik TPO yang dikhawatirkan berdampak negatif pada neraca keuangan mereka.
Namun, UEFA menjadi yang paling vokal meminta FIFA untuk mengesahkan larangan praktik TPO. Menurut UEFA, TPO telah merenggut kemerdekaan yang dimiliki oleh sang pemain karena harus tunduk sama empunya ketimbang klub.
"Kami tidak bisa menerima seorang pemain yang dimiliki agen atau institusi finansial. Sulit dipahami jika pesepak bola yang seharusnya independen terhadap klub, namun berakhir dengan dikendalikan oleh TPO," kata Presiden UEFA saat itu, Michel Platini, kepada The Guardian.
Tevez dan Mascherano
Selain contoh kasus di Brasil, TPO juga sempat menjadi perbincangan hangat ketika Carlos Tevez dan Javier Mascherano, hijrah ke West Ham United dari Corinthians pada 2006.
Ketika itu, Media Sports Investments dikabarkan memiliki kendali atas 51 persen saham Corinthians dan tentunya hak ekonomi kedua pemain tersebut.
Pemilik Media Sports Investments, Kia Joorabchian, diberitakan memboyong Tevez dan Mascherano dengan tujuan agar mendapat lebih banyak perhatian dari media dan juga supaya mereka dapat bergabung dengan klub-klub besar.
Di sisi lain, West Ham pun diuntungkan dengan kehadiran duo Argentina itu. Sebab, mereka bisa mendapatkan jasa pemain sekelas Tevez dan Mascherano tanpa harus mengeluarkan dana besar. Peran TPO pun terbukti satu tahun berselang.
Setelah bersinar bersama The Hammers, Tevez bergabung dengan Manchester United, sedangkan Mascherano berseragam Liverpool. Mayoritas nilai transfer kedua pemain tersebut pun masuk ke kantong Joorabchian, bukan West Ham.
Akal-akalan The Hammers dan Joorabchian soal transfer itu kemudian diketahui operator Premier League, tiga tahun berselang. Ketika itu, FA sudah membuat peraturan untuk melarang berbagai praktik kepemilikan pihak ketiga.
Alhasil, FA menjatuhkan denda sebesar 5,5 juta poundsterling kepada West Ham United setelah terbukti menyalahkan gunakan dokumen kepemilikan ketika melego Tevez dan Mascherano ke Manchester United dan Liverpool.
Bom waktu
Berkaca pada sisi menguntungkan klub dan investor membuat praktik TPO pada akhirnya bisa menjadi bom waktu dalam sepak bola. Sebab, berbagai aturan dan larangan, tentu membuat para agen atau investor nakal akan semakin berhati-hati dalam melancarkan aksi.
TPO tentu bisa dibilang mustahil dihapuskan selama tak ada kesetaraan soal gaji pemain. Sebab, tanpa praktik tersebut, kesenjangan akan terlihat kian jelas karena klub-klub kecil kesulitan bersaing dengan klub besar untuk mendatangkan pemain bagus.
Terungkapnya kasus Allardyce adalah bukti nyata. Oleh sebab itu, wajar saja, di balik berbagai gemerlap Premier League atau La Liga, di belahan bumi lain masih terselip ironi ketika pesepak bola muda harus rela "diperbudak" agar dapat mewujudkan mimpi mereka.
Sumber: Berbagai Sumber