Bola.com, Wina - Sebagai pelatih pencak silat yang memiliki murid dari berbagai penjuru dunia, Haji Sofyan Nadar sudah tak asing dengan budaya dan masyarakat luar negeri, khususnya Eropa. Sebelum berkunjung ke sekolah Anak Harimau Austria di kota Ladendorf, ia pernah diminta mengajar ke beberapa negara.
’’Ke Austria memang baru pertama kali saya. Tapi sebelumnya saya pernah ke Prancis. Di kota Paris tepatnya saya melatih murid-murid lokal di sana,’’ ucap Haji Sofyan saat ditemui Bola.com usai memberikan pelatihan silat di Hall Basket Volkschule di kota Ladendorf, Sabtu (24/9/2016).
Baca Juga
Dari pengalaman melatih murid-murid asing asal Eropa, Sofyan melihat ketertarikan mereka terhadap seni beladiri Indonesia sangat tinggi. Mereka betul-betul cinta dan menjiwai pencak silat. ’’Anda bisa lihat sendiri kan, tadi ada peserta (dalam latihan Anak Harimau Austria) yang usianya di atas saya. Usianya sudah 63 tahun dia. Tapi hasratnya sangat tinggi untuk belajar pencak silat. Ini menunjukkan warga Eropa yang berlatih silat didasari kecintaan yang mendalam,’’ ucap Sofyan.
Fasilitas penunjang untuk berlatih pencak silat juga cukup memadai. Kota Ladendorf yang notabene berstatus sebuah kampung, bukan kotamadya atau setingkat kecamatan, memiliki gedung olahraga rakyat yang bisa dipergunakan sebagai tempat latihan murid-murid Anak Harimau Austria. Di Tanah Air, khususnya di tingkat kecamatan ke bawah, sulit rasanya bagi perguruan pencak silat untuk mendapatkan tempat latihan yang memadai.
’’Saya kagum sekali. Di tempat kecil seperti ini, kami bisa berlatih di hall olahraga. Ini sangat bagus untuk atlet olahraga dan juga kemajuan pencak silat,’’ kata guru silat yang sejak usia 13 tahun menekuni beladiri tradisional ini.
Dengan mulai meningkatnya jumlah warga Eropa yang menekuni pencak silat, Sofyan pun waswas akan nasib dan perkembangan silat di Indonesia. Bisa jadi, jika pemerintah tidak memberikan perhatian yang lebih kepada seni beladiri tradisional ini, suatu saat nanti bukan mungkin malah warga Indonesia harus ke luar negeri berguru dengan guru silat asal Eropa.
‘‘Mungkin saja terjadi hal ini, kenapa tidak mungkin? Cuma apakah mampu warga Indonesia ke Eropa? Biayanya kan mahal. Apalagi kondisi ekonomi tidak menunjang,’’ katanya.
Menurut Sofyan, indikasi mulai lunturnya budaya leluhur pencak silat bisa dilihat saat perhelatan turnamen silat dunia. Belum lama ini, kata Sofyan, sebuah turnamen internasional juaranya berasal dari Vietnam yang notabene bukan negara pencipta pencak silat. Namun, pesilat asal Vietnam tersebut dilatih langsung oleh guru silat asal Indonesia.
’’Jangan sampai guru-guru yang punya kualitas bagus, justru digunakan negara lain kemampuannya. Guru-guru di Indonesia juga harus mau memberikan ilmu kepelatihan secara penuh, jangan setengah-setengah melatihnya ke murid. Itu tidak bagus,’’ ujarnya.
Saat ditanya perihal kepedulian pemerintah terhadap seni beladiri silat, Sofyan melihat adanya harapan yang berujung positif dari pihak pemerintah. Salah satunya adalah bonus kepada atlet yang berprestasi. Ini sangat penting dalam mendorong semangat atlet Tanah Air, termasuk pencak silat.
’’Kalau dahulu, atlet yang juara tidak dapat apa-apa. Ikut turnamen, juara, langsung pulang. Sekarang ini bagus itu ada bonus. Saya berharap pemerintah bisa lebih perhatian lagi terhadap pencak silat,’’ pinta Sofyan.