Bola.com, Jakarta - Sosok Maulwi Saelan, kiper legendaris Timnas Indonesia, meninggal dunia pada usia 90 tahun pada Senin (10/10/2016) malam. Catatan emas dibuat Maulwi saat dirinya masih aktif bermain di era 1950 hingga 1960-an.
Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1928, almarhum Maulwi Saelan mencatat tinta emas sebagai penjaga gawang. Ia menjadi bagian dari skuat Timnas Indonesia yang berlaga di Olimpiade 1956 Melbourne, Australia.
Langkah Tim Merah-Putih terhenti di perempat final kala melawan raksasa beruang merah, Uni-Soviet. Pertandingan ini berjalan dramatis. Skor 0-0, meski sudah ada perpanjangan waktu 2X15 menit. Sepanjang pertandingan Maulwi melakukan sejumlah penyelamatan yang memukau.
Baca Juga
Ia merupakan kiper tangguh Timnas Indonesia periode 1950-1962. Pemain yang mengawali karier di dunia sepak bola justru sebagai seorang bek tengah tersebut pernah mengantar Indonesia menembus empat besar Asian Games 1954 dan meraih medali perunggu di Asian Games 1958 Jepang yang merupakan raihan terbaik skuat Merah-Putih hingga saat ini.
Menariknya seusai gantung sepatu, Maulwi sempat menjadi Ketua Umum PSSI periode 1964-1967. Selain menjadi atlet sepak bola almarhum juga meretas karier di dunia militer.
Pada tahun 1962, Resimen Tjakrabirawa dibentuk. Saelan dipanggil Bung Karno untuk mengisi jabatan sebagai staf, dan kemudian menjadi wakil komandan menjelang peristiwa Gestok meletus.
Selanjutnya pada tahun 1966, Maulwi Saelan menjadi ajudan Bung Karno. Saelan menjadi penjaga Bung Karno yang paling setia. Ia menemani sang Presiden RI pertama hingga akhir hidupnya.
Fakta menunjukan Indonesia tidak pernah kering melahirkan penjaga gawang berkualitas. Di tiap era selalu lahir kiper-kiper berkualitas yang mengawal gawang Tim Merah-Putih.
Di setiap era selalu bermunculan penjaga gawang berkualitas. Tengok saja saat ini. Pelatih Timnas Indonesia, Alfred Riedl, dibuat pusing dengan begitu banyaknya kiper bagus yang dinilai layak memperkuat Tim Merah-Putih.
Mencuatnya nama-nama pemain layaknya Kurnia Meiga, Andritany Arhiyasa, I Made Wiryawan, Dian Agus, Teguh Amiruddin, Jandia Eka, Teja Paku Alam, mempertegas kalau Indonesia tidak kekurangan kiper bagus.
Jika bicara lintas masa, Bola.com memunculkan empat kiper legendaris Tim Garuda dengan torehan prestasi internasional mengesankan. Siapa-siapa saja mereka?
Ronny Paslah
Penjaga gawang kelahiran Medan, 15 April 1947 adalah kiper Timnas Indonesia yang berkiprah sekitar tahun 1960-an hingga awal 1970. Ia punya julukan Macan Tutul.
Dengan tinggi badan 183 cm, Ronny Paslah ketika masih aktif bermain dikenal tangguh menghalau bola-bola atas. Ia disebut-sebut memiliki kemampuan dan kelenturan badan setara kiper legendaris Uni Soviet, Lev Yashin.
Saat Timnas Brasil melakoni tur ke Asia pada 1972, Tim Samba yang saat itu diperkuat pesepak bola legendaris dunia Pele mampir ke Indonesia. Dalam laga persahabatan tersebut Indonesia kalah 1-2, tapi tetap menjadi momen terindah bagi Ronny, karena berhasil menahan eksekusi penalti Pele.
Prestasi yang dicetak Ronny di timnas: juara Piala Agakhan di Bangladesh (1967), juara Merdeka Games (1967), peringkat III Saigon Cup (1970), serta kampiun Pesta Sukan Singapura (1972).
Tidak heran, posisi pemain inti di Timnas Indonesia tak tergantikan sejak 1966 hingga memutuskan pensiun membela negara pada usia 38 tahun. Ronny pensiun total pada usia 40 tahun.
Klub terakhir yang dibelanya adalah Indonesia Muda. Setelah pensiun ia lebih banyak menggumuli olah raga tenis lapangan sebagai pelatih. Bahkan dia memiliki sekolah tenis lapangan bernama Velodrom Tennis School di Jakarta.
Yudo Hadianto
Menahan serbuan pemain-pemain klub luar negeri semisal Leeds United (Inggris), Benfica (Portugal), dan Dynamo Moskwa dari Rusia, adalah salah satu pengalaman paling berkesan bagi Yudo Hadianto saat masih aktif menjadi penjaga gawang Timnas Indonesia.
"Di era saya banyak klub-klub luar negeri memang banyak yang menyambangi Indonesia. Kedatangan mereka membuat permainan skuat Timnas Indonesia kian matang. Jangan heran saat tampil di berbagai turnamen internasional, negara kita kerap jadi batu sandungan tim top," kenang Yudo.
Yudo adalah salah satu penjaga gawang legendaris yang dimiliki negeri ini. Pecinta sepakbola pada 1960 hingga 1970-an pasti mengenal sosok kerempeng khas Yudo. Saat masih berjaya, Yudo dikenal sebagai penjaga gawang yang tenang tapi tetap tangkas menyambut datangnya bola.
Kiprah bersama UMS pula yang membawa Yudo masuk skuad Tim Merah-Putih. Kala itu, pelatih asing Tony Pogacnik yang menangangi timnas PSSI memanggil Yudo untuk masuk timnas yunior pada 1961.
Yudo pun tampil di Kejuaraan yunior Asia. Selanjutnya, status kiper timnas selalu di sandang Yudo. Ia tampil menjaga gawang timnas pada sederet ajang internasional. Seperti misalnya juara Merdeka Games (1962, 1969, 1974), King’s Cup Thailand (1978), Aga Khan Cup Bangladesh (1978).
Menariknya di usia yang terhitung senja Yudo masih aktif melatih. Hanya kini ia tidak lagi melatih sepak bola lapangan besar, melainkan futsal.
Namanya tercatat sebagai pelatih kiper Timnas Indonesia Futsal periode 2004-2007. "Pada prinsipnya melatih kiper sepak bola dan futsal sama. Reflek dan kemampuan teknik jadi pegangan utama. Bekal pengalaman yang saya punya saya bagikan turun menurun ke para pemain muda," ucap Yudo yang kelahiran Solo, Solo, Jawa Tengah, 19 September 1941 itu.
Eddy Harto
Eddy Harto jadi aktor kunci kesuksesan Indonesia meraih medali emas cabang sepak bola di SEA Games 1991. Pencapaian yang belum bisa diulang hingga kini.
Di bawah mistar Eddy memberikan rasa nyaman bagi rekan-rekannya. Timnas Indonesia tampil trengginas sejak fase penyisihan dengan melibas Malaysia 2-0, Vietnam 1-0, dan Filipina 2-1.
Di partai semifinal Indonesia mengalahkan Singapura 4-2 (diperkuat David Lee dan Fandy Ahmad) melalui babak adu penalti, dan mempermalukan Thailand 4-3 di final (diperkuat Natee Thongsookkaew dan Worawoot Srimaka) juga melalui babak adu penalti.
Stadion Rizal Memorial, Manila, jadi saksi keceriaan Eddy, Maman Suryaman, Widodo C. Putro, Ferril Raymond Hattu, Robby Darwis, Aji Santoso, Sudirman, dan Bambang Nurdiansyah.
Banyak pengamat Timnas Indonesia bisa sukses di SEA Games 1991, mengingat skuat Tim Garuda didominasi banyak pemain bau kencur usia 20-22 tahun. Pelatih Anatoli Polosin layak diacungi jempol.
Pelatih berkarakter keras dan disiplin berkebangsaan Uni Soviet tersebut yang membentuk karakter permainan Indonesia jadi tim yang solit. Pada dua bulan pertama pemusatan latihan jelang SEA Games 1991, Timnas Indonesia cuma dilatih menempa fisik di pinggir pantai dan kolam renang oleh Polosin, tanpa memainkan bola. Beberapa pemain yang bingung dengan metode kepelatihan Anatoli Polosin tersebut kabur dari pemusatan latihan.
Beberapa pemain timnas yang kabur mengatakan bahwa mereka tak pernah dilatih menendang bola, cuma disuruh gendong-gendongan di pinggir pantai dan kolam.
"Saya hampir menyerah ikut pelatnas, karena latihan yang digeber Polosin amat berat. Sehari ia menggelar sesi latihan sampai tiga kali, kesemuanya diisi latihan fisik saja. Cerita-cerita pemain muntah atau pingsan bukan barang aneh," papar Eddy Harto, mengenang masa-masa awal dirinya bergabung di Timnas SEA Games 1991.
Setelah menyakini kondisi fisik pemainnya dalam keadaan prima, Anatoli Polosin baru mengajarkan metoda shadow football kepada seluruh anggota tim. Shadow football merupakan bermain tanpa bola. Bola imajiner ditunjuk oleh pelatih. Ke mana tangan menunjuk, ke sana pemain harus gerak. Setelahnya para pemain disuruh melakukan latihan pertama bermain selama 90 menit, tanpa arahan apa-apa dari pelatih.
Di pinggir lapangan tampak asisten pelatih Vladimir Urin membuat catatan jumlah sentuhan bola para pemain selama 90 menit. Para pemain Indonesia waktu itu cukup terkejut karena menyentuh bola pun dihitung. Setelah itu dalam sesi latihan Anatoli Polosin menyuruh para pemain Indonesia meningkatkan jumlah ball touch dalam pertandingan.
Vladimir Urin menjelaskan bahwa touch ball yang dibuat Marco van Basten selama 90 menit tampil di lapangan minimal mencapai 150 kali. Para pemain Indonesia diharapkan dapat mendekati apa yang dilakukan bintang asal Belanda yang baru sukses menjadi juara Piala Eropa 1988 tersebut.
Pada saat metoda latihan touch ball inilah pemain Indonesia sadar bahwa metoda latihan shadow football yang dilakukan sebelumnya sangat berguna bagi mereka. Untuk bisa bergerak aktif pastinya membutuhkan stamina dan fisik yang kuat. Latihan fisik ekstrem yang dijalani para pemain timnas Indonesia membuat para pemain mampu berlari sejauh 4 km dalam waktu 15 menit.
Eddy merasakan didikan keras ala Polosin berguna saat dirinya menjadi pelatih saat ini. Eddy terhitung sering menjadi pelatih kiper Timnas Indonesia. Di bawah asuhannya Timnas Indonesia U-23 sukses menjadi runner-up SEA Games edisi 2011 dan 2013. Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, 16 Juni 1962, yang menempa dua kiper belia, Kurnia Meiga dan Andritany Ardhiyasa, yang kini langganan jadi tulang-punggung Tim Merah-Putih.
Hermansyah
Pada era 1980-an nama Hermansyah begitu dikenal. Ada kesan seolah-olah hanya dia penjaga gawang yang dimiliki Indonesia. Maklum, tiap kali Tim Merah-Putih bertanding, Hermansyah hampir selalu mengawal gawang sebagai pemain utama. Itu terjadi di era 1983 hingga awal 1990.
Saat Hermansyah menjadi kiper utama timnas, Indonesia nyaris bisa berlaga di Piala Dunia 1986 Meksiko. Sayang, di partai penentuan babak akhir kualifikasi (fase ketiga), Indonesia yang menjadi juara grup 3 B kalah dari Korsel yang juara Grup 3 A.
Bermain di Jakarta Timnas Indonesia kalah 1-3 dan saat melawat ke Korsel Indonesia kalah 0-2. Padahal, Timnas Indonesia yang kala itu dilatih Sinyo Aliandoe bisa menggasak Korea Selatan, maka Hermansyah dkk. yang akan berlaga ke Meksiko 1986.
"Menyesakkan jika mengenang kegagalan itu. Kami selangkah lagi lolos ke Piala Dunia. Secara teknik kami tidak kalah dibanding lawan. Hanya ada beberapa hal nonteknis yang mengganggu konsentrasi anggota tim saat itu," ujar Hermansyah.
Satu hal yang membuat Hermansyah awet menghuni skuat Timnas Indonesia ialah kedisiplinan. Kiper kelahiran Sukabumi, 17 Agustus 1963 dikenal pemain yang disiplin tidak neko-neko. Jangan heran jika kariernya sebagai pesepak bola panjang.
Hermansyah di usia gaek membela klub Mastrans Bandung Raya, dan ikut memberikan gelar juara Liga Dunhill 1995-1996 bagi klubnya. Ia dikenal sebagai kiper tangguh, dan spesialis pemblok penalti. Soal urusan penalti Hermansyah sempat dilatih oleh pelatih kiper legendaris asal Brasil, Barbatana.
"Saya belajar banyak dari Barbatana, terutama teknik-teknik dasar menjadi penjaga gawang," ujar Hermansyah yang baru gantung sepatu pada 1999 saat membela klub Persikota.