Bola.com, Bandung - Nama Marinus Melianus Yowei mungkin tak terlalu asing di kalangan atlet difabel Indonesia, bahkan Internasional. Dia menjadi salah satu andalan tim Merah Putih saat turun ajang Paralimpiade Rio de Janeiro 2016.
Baca Juga
Meski tak menyumbangkan medali, perjuangan Marinus patut diacungi jempol. Dia menempati posisi ke-9 pada cabang renang 100 meter gaya punggung SB13.
Marinus sebenarnya terlahir normal. Namun, akibat suatu musibah, penglihatan atlet berusia 28 tahun tersebut tak lagi sempurna.
"Waktu itu saya membawa bom ikan milik paman, lalu saya bakar. Saya kira itu belum menyala, ternyata sudah. Saya sempat buang, namun terlalu dekat dan akhirnya terjadilah musibah. Mata saya kemudian dioperasi," cerita Marinus saat ditemui di kolam renang UPI, Bandung, Jawa Barat.
Setelah kejadian itu, Marinus mengaku sangat kecewa. Dia juga merasa putus asa karena kondisinya tak lagi seperti dulu.
"Saya kecewa dan sudah putus asa. Saya berpikir mau jadi apa nantinya, saya bingung. Saya diejek-ejek teman. Saya sempat memakai kaca mata selama tiga bulan karena itu," tuturnya.
Namun, berkat sang kakak, Marinus mampu bangkit. Dia kemudian fokus untuk menjadi seorang atlet difabel. Pekerjaan yang bukanlah menjadi cita-citanya pada masa kecil.
"Saya bertemu kakak saya yang juga atlet. Ketika itu dia baru pulang dari sebuah kejuaraan. Lalu saya diajak untuk mengikuti jejak dia dan ikut Peparnas, waktu itu di Riau. Saya memberanikan diri untuk ikut," ujar atlet kelahiran Jayapura, 1 Mei 1988 itu.
Titik Balik Kehidupan Marinus
Berkat keberaniannya itu, Marinus sukses meraih banyak prestasi di berbagai ajang. Mulai dari Peparnas, ASEAN Paragames, Asian Paragames, hingga ikut ajang Paralimpiade Rio de Janeiro 2016.
"Mungkin itu rencana yang Kuasa. Kita tahu apa yang terjadi ke depan. Mungkin jika saya tidak mengalami musibah itu, saya tidak bisa menjadi seperti sekarang yang bisa mengangkat derajat keluarga," katanya.
Dia mengakui, prestasi itu tak diraih dengan mudah. Butuh pengorbanan untuk bisa mencapai kesuksesan seperti sekarang.
"Atlet difabel itu tidak bisa diambil langsung jadi. Butuh bertahun-tahun untuk dipersiapkan. Saya saja butuh tujuh tahun baru bisa tampil di kancah internasional," ucap Marinus.
"Saya bahkan harus tinggalkan keluarga bertahun-tahun. Saya hanya bertemu keluarga dalam satu tahun itu kurang dari satu bulan. Selama tujuh tahun begitu saja. Mereka tentu ingin bertemu, tapi namanya mencari nafkah untuk keluarga, mengangkat derajat mereka juga," tambahnya.
Meski demikian, perjuangan dan pengorbanan Marinus berbuah manis. Tak hanya sukses jadi atlet difabel, pria yang sudah memiliki dua anak ini mampu membalikkan pandangan orang terhadapnya.
"Dulu tidak dihargain, sekarang orang sudah lebih menghormati. Sekarang perbedaannya sangat jauh sekali," tutup Marinus.