Bola.com, Quezon City - Filipina menjadi tuan rumah hajatan sepak bola terbesar di Asia Tenggara, Piala AFF 2016. Ajang yang kini resmi menjadi agenda FIFA ini mendapat perhatian cukup besar dari penggemar sepak bola Tanah Air yang menyaksikan kiprah Timnas Indonesia.
Laporan Wiwig Prayugi dan Nicklas Hanoatubun dari Filipina
Lain di Indonesia, lain pula di Filipina. Sepak bola bukanlah olahraga utama di Filipina. Ada dua hal dalam dunia olahraga Filipina yang dikenal masyakarat dunia, yakni bola basket dan Manny Pacquiao.
Saat memasuki Stadion Rizal Memorial, Manila, Kamis (24/11/2016), ada satu spanduk besar bertuliskan, "Presiden Rodrigo Duterte dan negara Filipina mengucapkan selamat kepada Senator Emmanuel "Manny" Pacquiao meraih sabuk juara dunia kelas welter versi WBO. Bila Anda 'Pinoy", maka berbanggalah."
Ya, setelah hampir tujuh bulan tak naik ring, Manny Pacquiao mengalahkan Jessie Vargas di Thomas & Mack Arena, Las Vegas, Minggu (6/11/2016). Bicara Manny Paqcuiao, ada satu sosok di Timnas Indonesia yang sangat menggemarinya.
Baca Juga
Dia adalah dokter tim Syarif Alwi Maruapey (60 tahun). Jauh sebelum meniti karier sebagai dokter, Syarif adalah petinju kelas bulu. Tinju merupakan olahraga kedua yang dilakoni Syarif saat masih menjadi mahasiswa di Makassar.
“Tapi karier saya di tinju tidak lama, hanya pernah menjadi petinju terbaik di Sulawesi Selatan juara Porda tahun 1977. Sebelum itu saya lebih dulu mencoba cabang balap sepeda dan mendapat beberapa gelar di Porda nomor roadrace,” kata Syarif kepada Bola.com.
Sebagai mantan petinju, Syarif merupakan penggemar fanatik Manny Paqcuiao. Bukan hanya karena popularitas Manny Paqcuiao, Syarif menilai perjuangan petinju yang kini menjadi politisi sebagai senator mengingatkan masa mudanya.
“Siapa yang tidak kenal Manny, seluruh dunia kagum padanya. Tapi bagi saya perjuangan hidup Manny harus menjadi renungan buat generasi muda. Perjuangan hidup intinya, bukan popularitas. Tapi dia (Manny) sangat layak mendapatkan popularitas seperti sekarang,” katanya.
“Kalau saya ada cerita lucu juga, saya menjadi petinju saat pendidikan di Fakultas Kedokteran hampir selesai, sudah coass malah, tapi ketahuan sama dosen saya akhirnya disuruh berhenti,” ucap Syarif Alwi yang terakhir naik ring di kelas 58 kg.
Berikut kelanjutan kisah perjuangan Dokter Timnas Indonesia yang akrab disapa dengan kata papi.
Jadi Sales Hingga Buka Klinik
Kisah perjuangan hidup Syarif Alwi diungkap oleh sang putri dalam sebuah blog. Dalam tulisan berjudul “Papaku seorang dokter yang berjualan layang-layang”. Saat masih berada di bangku kuliah semester tiga Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Syarif kehilangan sang ayah, sehingga dia harus membiayai kuliahnya sendiri.
Berjualan layang-layang, menjadi petinju dan pebalap sepeda, hingga menjadi sales pernah ia jalani demi menyelesaikan pendidikan dokter. Setelah menjadi dokter, Syarif tak berhenti berjuang. Pada akhir 1980-an, ia rela meninggalkan jabatan sebagai dokter Pertamina di Balikpapan, demi meniti karier di Jakarta.
“Ya, dulu harus pontang-panting di Jakarta sebelum akhirnya saya mendirikan klinik di Bekasi dan menangani beberapa cabang olahraga. Alhamdulillah, saat ini klinik masih eksis dan saya juga tetap berada di jalur olahraga,” ucapnya.
Syarif Alwi menjadi dokter timnas pada Piala AFF mulai tahun 2010. Saat terjadi dualisme federasi, ia memilih absen dari sepak bola. Kemudian Alfred Riedl memanggilnya pada Piala AFF 2014 dan 2016. Bagi Syarif, jabatan dokter di Timnas Indonesia bukan hanya sebagai pekerjaan sampingan, tapi hobi.
“Bagaimana ya, kalau sudah senang saya sulit berpaling. Di timnas saya merasakan kenyamanan dan bisa mengenal banyak orang,” tuturnya.
Pengalaman lain yang didapat Syarif Alwi dari Timnas Indonesia adalah bekerja sama dengan pelatih. Dalam hal ini, dia mengaku belajar banyak dari sosok Alfred Riedl.
“Disiplin dan terus bekerja keras meski usia sudah menua. Itu yang saya kagumi dari sosok Alfred Riedl. Sangat menyenangkan bisa bekerja dengan dia,” ucap Syarif Alwi.