Bola.com, Jakarta - Tak mudah meniti karier sejalur dengan orang tua yang telah mendulang prestasi besar. Tantangan terbesarnya adalah selalu dibanding-bandingkan, bahkan dalam hal sekecil apapun. Sulit untuk sekadar menjadi diri sendiri tanpa perlu dikaitkan dengan nama besar orangtua.
Tak jarang, situasi tersebut menjadi tekanan besar dalam karier. Begitukah yang dirasakan pepanah nasional, Dellie Threesyadinda, yang terlahir sebagai putri Lilies Handayani, salah satu dari trio Srikandi yang berhasil mempersembahkan medali pertama untuk Indonesia di ajang olimpiade?
Baca Juga
Ya, bersama Nurfitriyana Saiman and Kusuma Wardhani, Lilies berhasil meraih medali perak panahan beregu putri pada Olimpiade Seoul 1988. Prestasi tersebut mengawali tradisi Indonesia yang hampir selalu bisa mendulang medali di ajang Olimpiade, kecuali pada 2012 di London, Inggris. Sosok trio Srikandi Indonesia melegenda hingga sekarang.
DNA Lilies sebagai pepanah hebat juga mengalir dalam tubuh putrinya, Dellie. Wanita kelahiran 12 Mei 1990 tersebut akhirnya mengikuti jejak sang ibu, berkarier di dunia panahan. Sama seperti sang ibu, prestasi Dellie juga cemerlang. Dia sudah dua kali meraih medali, masing-masing perak dan perunggu, di ajang Kejuaraan Dunia Panahan.
Meski sudah menancapkan kuku cukup kuat di arena panahan, Dellie tetap tak bisa lepas dari sosok sang ibu. Beruntung, selalu dikait-kaitkan dengan Lilies tak membuat Dellie terganggu, apalagi tertekan.
"Rasanya jadi anak Lilies? Pastinya bangga. Saya memang juga diarahkan oleh Mama untuk berkiprah di olahraga yang sama (panahan). Mama itu ikon dan contoh bagi pepenah lain, tapi saya tak pernah terbebani sama sekali dengan prestasi Mama. Malah saya merasa beruntung karena bisa sharing dengan Mama bagaimana bisa menjadi juara," kata atlet yang akrab disapa Dinda tersebut, mengurai sisi kehidupannya sebagai putri Lilies, dalam perbincangan di kantor Bola.com, pada November 2016.
Dellie bisa dibilang mengenal panahan hampir seumur hidupnya. Mahasiswi jurusah Hukum, Universitas Airlangga Surabaya tersebut sudah terbiasa dengan pemandangan atlet berlatih memanah, bahkan saat umurnya belum genap lima tahun.
Lilies rajin mengajak Dellie kecil ke lapangan untuk melihatnya berlatih. Seperti pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino alias awal cinta karena terbiasa, Dellie pun jatuh hati dengan panahan. Dengan kesadaran sendiri, dia akhirnya ingin ikut berlatih. "Saya dikasih busur untuk kali pertama saat berusia lima tahun," kenang Dellie.
Buah memang selalu jatuh tak jauh dari pohonnya. Dellie juga sangat berbakat seperti mamanya. Tak butuh waktu lama baginya untuk berprestasi. Tepat dua tahun setelah berlatih dia sudah ikut kejuaraan prajunior dan langsung meyabet tiga medali emas. Semangat Dellie semakin terlecut. Pada usia 14 tahun bahkan Dellie sudah masuk tim PON.
"Berlatih dengan Mama itu lebih banyak sharing. Mama bilang dulu seperti apa, misal saat pertandingan ke luar negeri. Mama bisa bercerita secara luwes, seperti ngobrol biasa. Dia berbagi soal teknik dan nonteknis, misal teknik saya kurang ini-itu. Nilai plusnya dilatih Mama adalah saya dapat tambahan cerita soal pengalaman beliau," beber Dellie.
Kompak tapi Berbeda
Lilies Handayani juga selalu ada saat sang putri prestasinya turun. Tak ada tekanan besar apalagi tumpahan kemarahan untuk Dellie saat gagal. Lilies dan Dellie bagaikan tim yang kompak.
"Mama juga selalu bilang supaya saya tak menjadikan omongan orang sebagai beban. Beruntung saya memang tipenya cuek. Mama suka bilang 'ya sudah let it flow. Namanya prestasi kadang turun, begitulah caranya berjuang. Saat ada jalan turun ya mencari tahu bagaimana caranya supaya bangkit lagi'. Mama tak pernah bilang 'jangan sampai seperti, atau kamu ini malu-maluin'. Mama malah bilang sebelum berhasil, kita memang perlu belajar bagaimana rasanya gagal."
Meskipun kompak dengan sang mama, bukan berarti Dellie identik dengan Lilies. Mereka tetap dua sosok yang berbeda dengan keunikan masing-masing. Dibanding sang ibu, Dellie mengaku lebih "gaul" dan berani menjajal hal-hal baru.
Lilies seperti mayoritas atlet panahan, sangat fokus pada bidang yang ditekuninya tersebut. Dulu, sang ibu hampir tak punya waktu untuk menikmati kehidupan layaknya remaja kebanyakan. Namun, untuk urusan ini Dellie agak berbeda. Di sela-sela kesibukan berlatih dan bergulat dengan busur serta panah, Dellie tetap menyempatkan diri bersosialisi dengan cara nongkrong bersama teman-temannya dan mencoba hal-hal baru di luar panahan.
"Mama lebih fokus ke panahan, sampai enggak sempat mencoba ini-itu. Saya masih sempat main sama teman dan mencoba hal baru. Mana yang lebih baik apakah yang fokus atau yang tetap bisa menjalani kehidupan lain? Itu semua tergantung penilaian. Fokus memang bagus, tapi saya juga butuh kehiudupan sosial dan mengenal hal baru. Saya bahkan sempat nge-band saat SMP," urai Dellie Threesyadinda.
1
Dellie memang mengaku butuh selingan di sela-sela kehidupan pepanah yang menuntut komitmen, tanggung jawab, dan kerja keras. Namun, bukan berarti dia terbebani dengan semua itu. Panahan merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup Dellie.
"Saya memang suka bosan. Saya sudah menggeluti panahan sejak berusia 5 tahun sampai saat ini. Sama sekali tak bisa lepas dari panahan. Kadang saya suka mencoba hal-hal baru biar tidak bosan, seperti menembak hingga renang. Tapi itu semua hanya selingan. Tapi kalau harus meninggalkan panahan, sepertinya tidak. Saya sudah tak bisa pindah ke lain hati. Pernah hampir dua bulan tak memanah, sudah kangen. Panahan itu seperti nafas," kata Dinda menguraikan arti panahan untuk dirinya.
Di mata Dellie, panahan juga sangat indah. Tapi, arti keindahan panahan baru benar-benar dirasakannya dalam lima tahun terakhir. Di mana letak keindahannya? Dellie menyebut seni panahan itu sebenarnya bukan tentang melawan orang lain, tapi bagaimana mengalahkan diri sendiri.
Beragam prestasi bergengsi sudah dicicipi Dellie sejak berkiprah di ajang panahan. Pada PON 2004, Dellie berhasil meraih tiga medali emas dan tiga perunggu untuk tim Jawa Timur. Sedangkan pada PON 2012, dia meraup dua medali emas. Sayangnya pada PON 2016, dia hanya membawa pulang medali perunggu.
Di kancah internasional, Langkah Dellie diawali dengan menyabet dua medali perak di SEA Games Thailand 2007, dua medali perunggu SEA Games Laos 2009, tiga medali emas dan dua medali perak Asian Grand Prix 2011, satu medali 1st Asian Grand Prix 2013, serta satu medali emas (beregu) dan satu perak (individu) SEA Games Myanmar 2013. Wanita asal Surabaya tersebut juga sudah menggenggam medali perunggu dari ajang Kejuaraan Dunia 2007 dan perunggu di Kejuaraan Dunia 2016.
Terasa masih ada yang kurang? Ya, Dellie belum bisa menyamai prestasi sang ibu yang meraih medali di ajang Olimpiade. Sayangnya, kans menuju ke sana tak terbuka lebar. Nomor compound yang dipilih Dellie tak dipertandingan di olimpiade. Multievent paling bergengsi sejagat tersebut hanya mempertandingan nomor recurve, yang dulu dipilih Lilies.
Mengapa Dellie malah menekuni compound dibanding recurve? Ternyata, ada cerita kompleks dan menarik di balik "terdamparnya" Dellie ke nomor compund.
"Saya pegang compound sejak 2007. Sebenarnya saya pilih compound karena berawal dari sebuah drama. Sebelum 2007, di pelatnas saya di nomor recurve. Tapi, di dalam tim ada sedikit gejolak saat berlatih di Korea. Saya merasa masuk skor lumayan, tapi tidak masuk tim, seperti tidak dihitung. Waktu itu umur saya 16 tahun. Setelah tahu tak masuk tim, saya langsung malas. Untuk apa saya berlama-lama berlatih di Korea kalau hanya jadi pupuk bawang. Saya akhirnya pulang sendiri. Saya langsung bilang ke Papa. Tentu saja situasi langsung ramai saat saya memutuskan pulang," beber anak sulung dari tiga bersaudara ini.
Insiden tersebut jadi titik balik bagi Dellie. Dia akhirnya memutuskan beralih ke compound. Yang pertama mengusulkan itu adalah sang ayah, Denny Trisyanto. Dellie mengikuti saran sang ayah.
Ternyata, tak mudah berpindah dari recurve ke compound. "Tekniknya beda. Tapi aku merasa masih mampu. Mungkin juga sudah jalannya, pada 2007 mencoba compound dan tiga bulan sudah menyaingi Mama (yang saat itu sudah di Timnas). Pada 2007 saya kembali masuk timnas dan jadi nomor satu di Indonesia untuk nomor compound."
Kembali ke Recurve?
Pernahkah Dellie menyesal pindah dari recurve ke compound sehingga tak bisa menyamai prestasi sang ibu di ajang olimpiade? Dia mengaku tidak menyesal, hanya menyayangkan kenapa compound tak dilombakan di Olimpiade. "Tapi kan ada kejuaraan dunia. Kalau dipikir-pikir sama besar juga, sebelum bertanding di Olimpiade kan para atlet disaring di kejuaraan dunia."
"Dulu Mama pernah bilang, kalau beliau perak, mosok saya tak bisa emas (di Olimpiade). Sayangnya nomor compound tak ada di Olimpiade. Tapi saya sudah dapat medali perak dan perunggu di kejuaraan dunia juga. Yang 2007 malah bareng Mama, kami malah satu tim," kata Dellie.
Dellie tak menampik keinginan pindah ke nomor recurve kadangkala datang, bahkan belum lama ini juga kembali menggodanya. Tapi, lagi-lagi Dellie malah dipanggil pelatnas untuk nomor compound. Daripada mengejar sesuatu yang belum pasti, Dellie memilih fokus menatap yang di depan mata. Dia punya impian meraih hasil apik di Asian Games 2018. Dellie belum pernah mencicipi gelar di kejuaraan level Asia ini.
Bahkan, Dellie terbersit untuk mempertimbangkan pensiun jika berhasil menyumbangkan medali untuk Indonesia di Asian Games tersebut. Tentu saja ini belum keputusan final. Tak mudah bagi Dellie untuk meninggalkan panahan yang sudah menjadi nafas dalam hidupnya.
"Jika nanti pensiun jadi atlet, pengen mengembangkan klub panahan milik Mama. Selain itu saya juga ingin berkarier di bidang hukum. Tapi belum tahu juga kapan pensiun," ujar Dellie.
Lalu saat ditanya kapan akan mengakhiri masa lajang, Dellie Threesyadinda hanya tertawa lebar. "Doakan saja," pungkas Dellie Threesyadinda.