Bola.com, Jakarta - “Kita harus jujur mengakui bahwa sepak bola Thailand berjalan lebih sebagaimana mestinya daripada Indonesia,” begitu kurang lebih tulisan Ganesha Christian, seorang pembina sepak bola usia muda di lama facebooknya. Ia pun kemudian turut membandingkan bagaimana Thailand membangun sepak bola lewat pendidikan usia dini yang sangat terstruktur dan bermetode. Fasilitas yang diciptakan dan kemudian dikembangkan, kemudian tentu saja puncaknya klub-klub sepak bola yang dikelola rapih sebagai sebuah klub profesional yang tujuan akhirnya adalah uang dan prestasi.
Ganesha kemudian membandingkan apa yang negeri ini lakukan pada permainan terindah. Pembinaan yang disebutnya sebagai ala kadarnya, infrastruktur yang seadanya, sampai klub profesional yang praktis hanya sebutannya saja profesional. Faktanya apa yang dilakukan tak banyak jauh berbeda dengan kebanyakan klub amatir di dunia ini.
Begitulah sepak bola Indonesia berjalan, setua itu usia federasinya, kompetisi pertama kali dijalankan pada tahun 1978 ketika Galatama pertama kali digelar. Kompetisi resmi yang dikelola secara semi profesional yang saat itu disebut sebagai universitasnya para pesepak bola nasional memang sempat menjadi primadona. Para pemain nasional datang dari sana dan pada tahun 1985 setidaknya mampu mencetak gol ke gawang Korea Selatan lewat partai yang praktis berimbang.
Baca Juga
Setelah Galatama gemerlapnya berjalan sangat singkat, skandal pengaturan skor berlangsung terus menerus dan akibatnya permainan menjadi jauh dari menarik. Penonton pun perlahan pergi, satu persatu klub semi pro ini mati, dan puncaknya PSSI dengan nekat menggabungkan kutub amatir yang memang memiliki basis massa luar biasa lengkap dengan fanatisme kedaerahan atau etnisnya dengan klub-klub profesional yang hampir semua klubnya tak punya basis massa yang cukup.
Kompetisi pun berkelanjutan, klub-klub yang tadinya bersikap amatir dan para pemain yang sebenarnya berstatus paruh waktu itu kemudian harus menjalani kompetisi yang panjang untuk ukuran pegawai negeri atau serdadu militer misalnya. Mudahkah langkah bagi para mantan klub Galatama di liga gabungan ini? Di atas kertas seharusnya iya, faktanya sama sekali tidak. Ternyata kemampuan bermain para pemain profesional di negeri ini 11-12 saja dengan para amatir.
Lalu liga terus berjalan, para amatir kemudian diperbolehkan memakai dana belanja daerah untuk berkompetisi. Sementara itu para profesional harus setengah mati mencari sumber pendapatan dan…….tentu saja pendukung. Bahkan, Arema yang sudah punya basis massa yang sangat signifikan saja saat itu harus setengah mati mencari sumber pendapatan.
Bertahun lewat sampai akhirnya uang negara dianggap haram dipakai di sepak bola profesional kita. Lalu yang terjadi adalah klub-klub kepayahan mencari sumber uang. Di tengah dukungan yang menggila di banyak klub, faktanya barang palsu atau merchandise suporter yang beredar banyak diantaranya tidak memberi sepeserpun keuntungan pada klub yang bersangkutan.
Sepak bola Indonesia lama dijalankan dengan cara yang cukup primitif. Tak ada yang namanya mekanisme investasi, investasi mendasar seperti fasilitas lapangan mungkin terlalu mewah disini, tetapi setidaknya memiliki sentra pembinaan pemain saja saya rasa sudah cukup. Pemain binaan adalah aset yang tak terbantahkan, bahkan banyak permainan simulasi manajer klub memberi contoh jelas bahwa pemain binaan dari sekolah sepak bola adalah aset yang bisa mendatangkan uang.
Indonesia tak pernah sadar itu, mungkin karena kebiasaan potong kompas yang terjadi dimana-mana di negeri ini, membuat para pembina klub malas berpikir bahwa Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo telah dipantau pada usia 9-11 tahun. Ketika mereka masih bermain di sekolah sepak bola milik sebuah klub. Sementara Messi ditemukan oleh pemandu bakat saat berusia 13 tahun dari klub asalnya Newell’s Old Boys.
Sedangkan Ronaldo yang berlatih di klub amatir Andorinha saat ia masih berusia 8 tahun, kemudian pindah ke klub amatir bernama Nacional dalam usia 10 tahun untuk kemudian dibeli oleh Sporting Lisbon dengan harga 1.500 euro! Terdengar tak berharga memang jika klub itu bernama SC Braga, tetapi bagi Nacional nilai itu adalah angka yang sangat baik.
Ronaldo masih berusia 12 tahun saat itu, ia kemudian dikembangkan oleh segala metode yang dimiliki oleh Sporting untuk mencapai segala potensi yang ia miliki. Enam tahun kemudian ia pindah ke Manchester United dengan nilai transfer 12.24 juta poundsterling. Hitung saja berapa hasil investasi yang didapatkan oleh Sporting saat itu terhadap anak muda ini.
Indonesia tidak memikirkan itu, barangkali anjuran banyak orang agar hidup adalah sekolah, lulus, bekerja, jadi kaya, menikah lalu mati membuat bangsa ini gemar potong kompas. Daripada membuat sekolah sepak bola, klub lebih suka jalan-jalan ke kampung-kampung sembari berharap menemukan anak baru gede yang sedang ikut turnamen antar kampung. Banyak remaja di negeri ini bermain sepak bola lewat turnamen tarikan kampung dan mengundang decak kagum banyak orang. Cara itu di negeri ini terbukti cukup ampuh.
2
Saya agak segan menyebut nama-nama pemain yang datang dari metode nyari ke kampung-kampung ini. Pastinya banyak dari mereka di kemudian hari menjadi pemain nasional atau jika sudah pensiun menjadi pelatih yang cukup baik di klub level Indonesia. Seorang mantan pemain primavera yang saat itu baru pensiun bisa menyebut pemain yang lebih muda darinya sebagai “Dulu awal-awalnya dia jualan buah dekat tempat latihan,” karena memang demikianlah adanya. Seperti Ramang yang sebelum aktif bermain adalah penjaja buah di areal Lapangan Karebosi.
Itu soal pemain….saya yakin Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia ini yang masyarakatnya gila sepak bola tetapi stadion sepak bola di ibukota hanya ada satu! Jadi jangan heran jika kandang kita harus pindah ke Cibinong di Bogor saat menjamu lawan-lawan di semifinal dan final. Belum lagi fasilitas latihan yang sangat nihil di republik ini secara luas dan di Jakarta jika mengacu pada situasi termakmur di Indonesia.
Pada awal tulisan yang saya catut tanpa izin dari tulisan Ganesha di laman facebooknya, kami bersepakat bahwa Indonesia sama sekali tak layak menang melawan Thailand yang jelas memperhatikan sepak bola layaknya mereka yang mencintai dan memahaminya. Di sana remaja dibina dengan metode yang benar, dikembangkan dan diupayakan bisa dijadikan aset sebuah klub. Di kemudian hari anak-anak muda ini akan dewasa dan mereka akan menjadi juga aset bangsa.
Sebut saja Kiatisuk Senamuang, Natipong Sritong In, Vithaya Laokahul dll dari masa lalu atau Teerasil Dangda, Tristan Do dll dari generasi yang lebih baru yang kesemuanya praktis sangat kompetitif dan pernah mencicipi kompetisi Eropa (walau kemudian Kiatisuk misalnya, pulang karena tak cocok dengan iklim dan makanan Inggris).
Usia prestasi mereka pun panjang. Kita mengenal nama Teerasil sudah sangat lama, juga Worawuut atau Kiatisuk pada eranya. Karena mereka semua dibentuk oleh sebuah sistem yang benar.
Sementara itu kita, yang paling gila sepak bola di Asia Tenggara hanya perlu para pemain tarkam untuk kemudian diceburkan ke dalam liga yang disebut sebagai profesional. Lalu remaja-remaja yang besar di tarkam ini dikembangkan dan diasah naluri sepak bola-nya di kompetisi kita yang suka tak suka adalah yang terbaik di negeri ini. Kita tak butuh fasilitas latihan yang baik, lapangan berumput, sports science atau bahkan sekolah sepak bola. Indonesia memang hanya butuh bakat-bakat saja yang diceburkan langsung ke kompetisi.
Hanya dengan itu, kita menjadi salah satu kekuatan elite di Asia Tenggara. Memang tak cukup untuk bicara lebih jauh ke level Asia walau jika hanya memberi kejutan, sekali-sekali saja kita masih bisa.
Kemudian kita menghantam Thailand yang lebih terstruktur dan terarah menjalankan sepak bolanya dengan skor 2-1 di Bogor. Kemudian kita bersiap untuk setidaknya menahan mereka di Bangkok 17 Desember 2016 nanti. Apakah kita akan menjuarai AFF 2016 ini? Sebagai orang Indonesia saya jelas berharap demikian, walau kemudian saya bertanya-tanya….apakah Tuhan yang tidak adil pada sepak bola atau memang Indonesia yang sangat hebat.
Tuhan pernah memenangkan Portugal di Euro 2016 lalu tanpa pernah tim tersebut memenangkan pertarungan di 2x45 menit—dan banyak kejadian-kejadian lain sebelumnya—atau memang Indonesia tak perlu pembinaan, fasilitas dan segala tetek bengek yang membuat Jerman, Perancis, Spanyol atau bahkan Jepang menjelma jadi kekuatan-kekuatan penting? Indonesia hanya butuh lapangan botak dan turnamen antarkampung untuk klub-klub menemukan pemain dan kemudian tim nasionalnya membentuk sebuah tim yang disegani di Asia Tenggara. Negeri ini tak ingin melakukan hal yang sebagaimana mestinya karena jika hal itu dilakukan, saya rasa setiap edisi Piala Dunia….maka kitalah favoritnya.