Claudio Ranieri dan 5 Faktor Penurunan Performa Leicester City

oleh Ary Wibowo diperbarui 24 Feb 2017, 18:35 WIB
Mural dari manajer Leicester, Claudio Ranieri, yang dibuat oleh suporter. Mantan manajer Chelsea ini dianggap pahlawan oleh para penggemar dari The Foxes karena keberhasilannya meraih gelar Liga Inggris musim 2015/2016. (EPA/Facundo Arrizabalaga)

Bola.com, Leicester - Leicester City, melalui situs resminya, Kamis (23/2/2017), mengumumkan pemutusan kontrak Claudio Ranieri. Atas dasar apa mereka memecat manajer yang sukses mempersembahkan gelar Premier League pertama bagi The Foxes pada musim 2015-2016 tersebut?

Advertisement

Pada musim lalu, Leicester City menggemparkan dunia persepakbolaan setelah mengantarkan Leicester City menjadi juara Premier League. Padahal, pada awal musim tersebut, media-media Inggris memprediksi peluang Leicester City meraih titel juara sebesar 1:5000. 

Namun, pesta Leicester City hanya berlangsung singkat. Pada musim 2016-2017, performa Jamie Vardy dan kawan-kawan merosot tajam. Bahkan, kini mereka harus berjuang di papan bawah klasemen sementara Premier League agar tidak terdegradasi. 

Hingga pekan ke-25, Leicester City menempati peringkat ke-17 klasemen dengan perolehan 21, atau hanya unggul satu angka dari batas zona degradasi yang ditempati Hull City di posisi ke-18.

Kiper Leicester City, Kasper Schmeichel menyatakan penampilan The Foxes pada musim ini memang sangat memalukan. Pertandingan melawan Sevilla —Leicester City kalah 1-2— di ajang Liga Champions pun menjadi laga terakhir bagi Claudio Ranieri.

Berikut ini adalah lima alasan mendasar yang diperkirakan menjadi faktor penurunan performa Leicester sehingga berujung terhadap pemecatan Claudio Ranieri. 

1. N'Golo Kante

Pemain Chelsea, Ngolo Kante (kiri) menghadang pergerakan pemain Leicester City, Nampalys Mendy (kanan) pada laga Premier League di King Power Stadium, Leicester (14/1/2017). Chelsea menang 3-0. (EPA/Tim Keeton)

Keputusan Leicester City melego N'Golo Kante ke Chelsea pada musim panas 2016 menuai kritik tajam. Pemain asal Prancis yang direkrut dari Caen dengan banderol 5,6 juta pounds (Rp 93 miliar ) itu merupakan salah satu pilar penting di balik performa Leicester City musim lalu. 

N'Golo Kante memang hanya mencetak satu gol dan empat assist dari total 40 pertandingan Leicester City pada musim lalu. Namun, ketangguhan sang pemain dalam menjaga pertahanan di barisan tengah sangat istimewa.

Menurut catatan Opta, dalam tiga musim terakhir di ajang Premier League, N'Golo Kante tercatat sebagai pemain ketiga yang memiliki kombinasi tekel sukses serta interceptions terbanyak (401 kali). Menariknya, N'Golo Kante mencatat pencapaian itu hanya satu musim saat berkarier di bawah asuhan Claudio Ranieri

N'Golo Kante hijrah ke Chelsea dengan banderol 32 juta pounds. Pada musim ini, ia pun menjadi pemain penting di barisan tengah skuat asuhan Antonio Conte. 

2 dari 3 halaman

Pembelian gagal

Islam Slimani memborong 2 gol saat Leicester City menang telak 3-0 atas Burnley dalam laga Premier League di Stadion King Power, Leicester, Sabtu (17/9/2016) malam WIB. (Action Images via Reuters/John Sibley)

2. Pembelian gagal

Berstatus sebagai juara Premier League, Leicester City sebenarnya memiliki kesempatan besar memulai era baru sebagai klub "papan atas". Namun, mereka gagal, salah satunya karena salah merekrut pemain baru.

Islam Slimani mencetak rekor klub sebagai pemain termahal setelah direkrut dari Sporting Lisbon dengan banderol 30 juta pounds. Namun, penyerang berusia 28 tahun itu tidak memberikan pengaruh besar lantaran sering mengalami cedera. Pada musim ini, Slimani baru mencetak lima gol dan tiga assist di Premier League. 

Demikian halnya dengan kiper Ron-Robert Zieler. Sejauh ini, mantan kiper Hannover 96 itu hanya mencatat satu clean sheet. Sementara itu, Ahmed Musa yang diboyong dari CSKA Moscow dengan banderol 16 juta pounds pun tampil mengecewakan di lini tengah.

3. Performa tandang

Tembakan pemain Swansea City, Alfie Mawso (kiri) tak mampu dibendung kiper Leicester City, Kasper Schmeichel pada lanjutan Premier League di Liberty Stadium, Swansea, Wales, (12/2/2017). Swansea menang 2-0. (Nick Potts/PA via AP).

Pada musim ini, Leicester City belum pernah meraih kemenangan partai tandang. Dari 13 pertandingan, Leicester City menelan 10 kekalahan. Bahkan, catatan buruk itu bermula pada pertandingan perdana mereka di ajang Premier League 2016-2017 setelah kalah 1-2 di kandang Hull City.

Leicester City hanya mampu meraih poin tandang saat menghadapi Tottenham Hotspur, Stoke City, dan Middlesbrough. Namun, ketiga pertandingan tersebut berakhir dengan hasil imbang.

3 dari 3 halaman

Tinkerman

Dua punggawa Leicester City, Wes Morgan (kiri) dan Jamie Vardy meninggalkan lapangan usai kalah dari Swansea City pada lanjutan Premier League di Liberty Stadium, Swansea, Wales, (12/2/2017). Swansea menang 2-0. (Nick Potts/PA via AP)

4. Mentalitas

Claudio Ranieri sempat menyatakan para pemainnya dilanda masalah mentalitas menjadi tim juara. Menurut dia, hal itu merupakan sifat alami ketika ada tim yang sebelumnya tidak diunggulkan, tiba-tiba mampu menjadi juara.

Penjelasan itu terkesan sederhana, tetapi benar adanya. Para pemain Leicester City —yang tidak pernah membayangkan akan mendapat gaji 100.000 per pekan— kini terlihat lebih "santai". Padahal, tuntutan mereka sekarang jauh lebih besar karena harus juga bersaing di ajang Liga Champions.

Bahkan, menurut pemberitaan media-media Inggris, suporter Leicester City kini tidak lagi "garang" seperti musim lalu. Salah satu faktor utama tentu karena penampilan Jamie Vardy dan kawan-kawan dianggap jauh di bawah standar.

5. Tinkerman kembali

Manajer Leicester, Claudio Ranieri, memantau anak asuhnya saat melawan Aston Villa. Vice Chairman Leicester City, Aiyawatt Srivaddhanaprabha, mengonfirmasi Ranieri resmi dipecat dari kursi kepelatihan pada Kamis (23/2/2017). (EPA/Tim Keeton)

Claudio Ranieri ibarat mendapat durian runtuh pada musim lalu. Ia memenangi Premier League ketika menjadi salah satu manajer "favorit" yang terancam dipecat di Inggris karena sering membongkar pasang pemain. Berdasar kebiasaan itulah, Claudio Ranieri disebut Tinkerman.

Namun, anggapan tersebut hilang setelah para pemain Leicester City tampil sangat solid pada musim lalu. Setiap pertandingan, setiap pemain tahu tugas dan peran yang dilakukan dalam tim. Oleh karenanya, Claudio Ranieri tidak perlu melakukan perubahan skuat setiap laga.

Pada musim ini tentu berbeda cerita. Kepergian N'Golo Kante, membuat Claudio Ranieri kembali putar otak untuk mencari formula tepat. Sayangnya, ia justru mendapat anomali. Perubahan taktik membuat para pemain Leicester City kebingungan. Belum lagi bicara soal masalah cedera pemain. 

Pada 22 Januari lalu, setelah kalah 0-3 dari Southampton di St Mary Stadium, Claudio Ranieri bahkan mengaku dirinya memang salah menerapkan taktik. Selain itu, dia juga dianggap tidak dapat kembali memaksimalkan peran JamieVardy dan Riyad Mahrez yag tampil sangat baik pada musim lalu.

Sumber: Daily Mail, ESPN

Saksikan cuplikan pertandingan dari Liga Inggris, La Liga, Liga Champions, dan Liga Europa, dengan kualitas HD di sini

Berita Terkait