Bola.com, Jakarta - Ada ungkapan bijak dalam bahasa Inggris : everything happens for a reason. Bila diterjemahkan, kurang lebih artinya "semua terjadi untuk alasan tertentu" Bagi Muhammad Fadli Immamudin, ungkapan tersebut bermakna mendalam. Secara tidak langsung, dia sudah merasakan arti ungkapan bijak tersebut dalam lembar narasi kehidupannya.
Baca Juga
Bagi sebagian orang, nama M. Fadli terdengar asing. Namun, bagi sebagian yang lain, terutama para penikmat balap motor, M. Fadli adalah idola.
Perkenalan Fadli dengan dunia balap motor terjadi pada 2001. Usianya ketika itu belum genap 17 tahun. Sempat terhalang restu orang tua, Fadli kecil mampu membuktikan jika balapan tak mengganggu pendidikannya yang sedang memasuki jenjang sekolah menengah atas.
Balapan motor kalengan atau yang bahasa kerennya disebut scooter, menjadi titik awal kiprah Fadli di lintasan balap. Bukan balapan sembarangan, melainkan ajang resmi dengan standar keamanan yang teruji.
Merasa khatam di ajang balapan scooter, Fadli kemudian berpindah kelas ke motor bebek 110 cc dan 125 cc. Di kelas ini, pria yang kini berusia 32 tahun tersebut juga mampu mengukir prestasi gemilang. Fadli berhasil memenangi titel juara nasional pada 2004 dan 2007. Fadli juga turun memperkuat Kontingen DKI Jakarta di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) 2004. Hasilnya, dia berhasil menyumbang medali emas pada balapan kelas 4 tak 110 cc beregu.
Tak cepat berpuas diri, M. Fadli mencoba tantangan baru dengan naik ke kelas Supersport 600cc. Lagi-lagi Fadli mendulang kesuksesan, dengan meraih gelar kejurnas pada 2010, 2011, dan 2013. Akan tetapi, di kelas inilah Fadli menelan pil pahit suratan takdir Tuhan.
Cerita pahit bermula pada suatu hari di awal Juni. Bilangan tanggal ketika itu menunjukkan angka 7 pada kalender tahun 2015. Bagi Muhammad Fadli, itu bukanlah hari Minggu yang biasa. Dia akan berlaga di salah satu seri Asia Road Race Championship.
Rasa antusiasnya bertambah mengingat balapan akan digelar di Sirkuit Sentul alias di kandang sendiri. Fadli sadar, kemenangan dan gelar juara bakal terasa sangat berarti bagi dirinya, keluarga, klub, dan juga Indonesia.
Apa yang diimpikan Fadli sebenarnya telah menjadi kenyataan. Menggunakan motor bernomor 43 lengkap dengan corak merah-putih, dia mantap melahap 16 lap dengan mulus. Fadli mampu finis tercepat alias menjadi kampiun dengan catatan waktu 24 menit 13 detik.
Sesaat setelah melewati garis finis, Fadli larut dalam kebahagiaan. Lambaian tangannya melayang kepada para pendukung yang bersorak dari tribune penonton. Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sejenak karena mendadak berubah haru bagi siapa saja yang melihatnya.
Berjarak beberapa meter dari garis finis, M. Fadli dan motornya ditabrak dengan kencang dari belakang oleh pebalap Thailand, Jakkrit Sawangswat. Seketika tubuh berserta motor Fadli berputar dan melayang di udara hingga akhirnya membuat dia terjatuh dan terduduk di lintasan.
Fadli saat itu masih terjaga dan terlihat tenang. Namun, dia merasa ada sesuatu yang tak beres di daerah lutut kirinya. Itu ditandai darah yang mengucur deras, ditambah rasa sakit yang luar biasa, dan lutut yang sudah tak bisa digerakkan.
“Kejadiannya cukup cepat, saya awalnya tak merasakan firasat apapun karena larut dengan kemenangan. Tiba-tiba ada yang menabrak dari belakang hingga akhirnya membuat saya jatuh dan terduduk,” kenang M Fadli, saat berbincang dengan bola.com di Sirkuit Sentul, Rabu (22/2/2017).
Tim medis bergerak sigap membawa Fadli ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Insiden inilah yang menjadi babak baru dalam kisah hidup dan perjalanan karier Muhammad Fadli.
Keputusan Berat
Tak lama berselang, kabar kecelakaan tragis itu sampai ke telinga sang istri, Diah Astri Astyavi. Saat itu, Astri mengaku mendadak lemah lunglai seperti tubuhnya tak bertulang.
Astri memikul beban berat saat melihat suami tercintanya tergolek lemas di rumah sakit. Beban bertambah berat karena Astri juga sedang dalam kondisi berbadan dua dengan hitungan pekan menuju proses persalinan.
Namun, Astri memilih tegar dan menganggap ini sebagai cobaan dalam hidupnya. Begitu pula dengan Fadli yang termotivasi untuk sembuh demi menyambut kelahiran anak pertama hasil buah cintanya dengan Astri.
Dua pekan setelah insiden tragis itu, Fadli akhirnya mendapatkan suntikan motivasi dari lahirnya sang putra. Meski tak bisa mendampingi proses kelahirannya, kehadiran bayi yang didiberi nama Muhammad Ali Imammudin menjadi penyemangat M. Fadli, yang tengah berjuang menyembuhkan kakinya.
Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, dan tahapan demi tahapan operasi dilalui M. Fadli. Berbagai cara telah dilakukan demi mengembalikan fungsi kaki kirinya seperti semula. Mulai dari rekonstruksi kaki kiri hingga pencangkokan kulit telah dicoba. Namun, kakinya tak kunjung pulih, bahkan memburuk.
Hingga akhirnya, ketika kalender memasuki 4 Januari 2016, Fadli dengan keteguhan hati mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. Dia memilih untuk merelakan kaki kirinya diamputasi.
M. Fadli merasa putus asa karena saraf-saraf di kaki kirinya tidak kunjung berfungsi sebagaimana mestinya. Dia sadar keputusan ini harus dilakukan karena tak ingin terus menerus terpuruk di tengah ketidakpastian.
"Syaraf-syaraf di kaki saya tak kunjung kembali seperti semula. Saya mulai frustrasi dan tak ingin terus menerus dalam kondisi yang tak pasti. Saya akhirnya memutuskan untuk melakukan amputasi," ucap Fadli.
Bangkit dan Menginsiprasi
Setelah berpisah dengan kaki kirinya, M. Fadli masih harus menghabiskan waktu beberapa bulan untuk pemulihan. Tak hanya pemulihan fisik, kondisi psikologisnya yang sempat goyang turut diperbaiki dengan konseling rohani.
Proses adaptasi tanpa satu kaki pun harus dilaluinya. Perlahan tetapi pasti, Fadli akhirnya kembali kembali bisa memijakkan kakinya di bumi. Dibantu dengan kaki prostetik alias kaki palsu, Fadli mulai latihan berjalan untuk membiasakan pergerakan kakinya. Sesekali pusing masih dirasakannya ketika mencoba menyeimbangkan diri.
Namun, Fadli tak ingin kalah dan menyerah dengan keadaan. Setelah mulai lancar berjalan, Fadli memberanikan diri bersepeda. Olahraga ini sebenarnya sudah sedari dulu akrab dilakukannya untuk menjaga ketahanan tubuh sebelum balapan motor.
Tak butuh waktu lama bagi Fadli untuk bisa mengayuh sepeda dengan piawai. Dia juga mampu menaklukkan tantangan mengayuh sepeda dengan menggunakan kaki palsu.
Ketika memasuki 2017, Fadli mendapatkan tawaran untuk menjadi atlet sepeda paralimpik dari Ketua Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI), Raja Sapta Oktohari. Tanpa pikir panjang, M. Fadli yang masih haus dengan atmosfer kompetisi menerima tawaran tersebut.
Fadli diproyeksikan untuk mengikuti Asian Paracycling Championship 2017 di Bahrain. Ini menjadi sejarah baru Indonesia. Inilah untuk kali pertama atlet Indonesia berpartisipasi di ajang tersebut.
Meski beralih dari gerakan grip motor ke kekuatan kayuhan pedal, M. Fadli tetap bersemangat. Senin sampai Sabtu seusai menunaikan Salat Subuh, dia berlatih di Sirkuit Sentul, tempat yang menyimpan memori kelam dalam hidupnya.
Tak kurang dari jarak sejauh 30 km dilahap Fadli setiap hari untuk mematangkan persiapan menuju kompetisi pertama setelah kehilangan kaki kirinya. Baik lintasan kering, basah, cuaca berangin, dan cerah, tak menciutkan nyali Fadli.
“Saya senang bisa kembali berkompetisi. Meskipun kali ini beralih ke balap sepeda, saya tetap antusias,” ujar Fadli.
Perjuangan dan semangat berkompetisi yang tak padam nyatanya sebanding dengan hasil yang diraih M Fadli. Meski tak juara, Fadli setidaknya mampu bersaing dan meraih peringkat keempat dari sembilan pebalap pada ajang yang digelar di Bahrain International Circuit itu.
Fadli secara tak langsung mengajarkan bagaimana tetap bersemangat dalam menjalani hidup meski dalam keterbatasan. Seperti halnya hujan yang diakhiri dengan pelangi, musibah juga merupakan babak pengujian diri agar menjadi pribadi yang lebih tangguh.
Bukan keinginan Fadli untuk menjalani kehidupan dengan keterbatasan. Bukan keinginan Jakkrit Sawangswat pula untuk merenggut kebahagiaan dan kaki kiri Fadli.
Namun, semua sudah tersusun rapi dan teratur dalam suratan takdir Tuhan. Pilihan yang diberikan pun hanya dua, tetap meratap atau bangkit dan melanjutkan hidup.
Pilihan kedua yang dipilih Fadli, seorang pemenang dalam lintasan dan berbagai aspek kehidupan. Fadli berani memilih keputusan berat (merelakan kaki kirinya diamputasi hingga di bawah lulut), yang mengantarkannya memasuki babak baru kehidupan.
Kembali ke ungkapan everything happens for a reason, mungkin lintasan balap sepeda paralimpik menjadi jawaban akan musibah yang dialami M. Fadli. Mungkin Tuhan sudah menyiapkan kesuksesan lain di lintasan balap sepeda paralimpik, melebihi yang pernah diraih Muhammad Fadli di balapan motor.
"Semua jawaban kehidupan ada di cara berpikir. Jika kita memiliki cara berpikir untuk bangkit, maka semuanya akan terasa (seperti manusia) normal," -Muhammad Fadli Immamudin-