Bola.com, Jakarta - All England 2017 tinggal menghitung hari. Turnamen bulutangkis tertua di dunia itu bakal berlangsung 7-12 Maret 2017 di Birmingham, Inggris.
Baca Juga
Indonesia mengirim 23 wakil untuk bertarung dalam ajang tersebut. Mereka diharapkan bisa meneruskan para pendahulunya yang sukses menjadi penguasa All England.
Beberapa pemain Indonesia banyak yang mencatatkan prestasi luar biasa di All England. Sebut saja Rudy Hartono yang mampu menggondol delapan gelar pada ajang tersebut.
Ada juga Susy Susanti. Legenda bulutangkis nasional yang kini jadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI itu, meraih tiga gelar pada ajang All England.
Namun, tak semua pebulutangkis top Indonesia pernah merasakannya. Ada beberapa nama yang belum pernah mengecap gelar juara All England, termasuk suami Susy Susanti, Alan Budikusuma.
Siapa saja pebulutangkis top Tanah Air yang belum pernah menjuarai All England? Berikut ini Bola.com merangkum lima pebulutangkis yang belum pernah merasakan gelar juara ajang tertua di cabang bulutangkis tersebut:
Alan Budikusuma
Alan Budikusuma pantas mendapatkan status legenda bulutangkis Indonesia. Deretan prestasi apik dia dapat sewaktu masih aktif sebagai pemain bulutangkis.
Pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur, ini mengoleksi tujuh turnamen sekelas Super Series, Grand Prix Gold, atau International Challenge.
Selain itu, dia juga pernah merebut gelar juara dunia pada tahun 1993. Pencapaian terbaiknya tentu medali emas Olimpiade 1992.
Sayang, koleksi gelarnya belum lengkap. Suami Susy Susanti ini belum pernah merasakan gelar All England. Pencapaian terbaiknya hanya menembus babak semifinal pada tahun 1992 dan 1994.
Pada tahun 1992, dia harus mengakui keunggulan pemain China, Zhao Jianhua, dengan skor 12-15 dan 10-15. Sementara pada tahun 1994, Alan kalah dari kompatriotnya, Haryanto Arbi, dengan skor 5-15 dan 7-15. Saat itu, Arbi keluar sebagai juaranya.
Taufik Hidayat
Taufik Hidayat merupakan salah satu tunggal putra terbaik yang dimiliki Indonesia. Sama seperti Alan Budikusuma, Taufik juga mengoleksi banyak gelar semasa aktif jadi pemain.
Turnamen kelas Super Series, Grand Prix Gold, dan International Challenge, pernah dia kuasai. Taufik juga pernah merasakan gelar juara dunia pada tahun 2005.
Pada tahun 2004, Taufik juga sukses merebut medali emas Olimpiade untuk Indonesia. Sementara medali emas SEA Games dan Asian Games mampu dia menangi sebanyak dua kali.
Namun, saat berlaga di All England, sentuhan midas Taufik Hidayat seakan hilang. Dia tak pernah menguasai turnamen bulutangkis tertua di dunia itu. Dia juga beberapa kali harus absen akibat cedera.
Pencapaian terbaik Taufik di ajang All England adalah menjadi runner up pada tahun 1999 dan 2000.
Pada tahun 1999, Taufik takluk dari jagoan Denmark, Peter Gade, dengan skor 11-15, 15-7, dan 10-15. Satu tahun berselang, dia kalah dari pemain China, Xia Xuanze, pada pada partai puncak dengan skor 6-15, 13-15.
Mia Audina
Mia Audina adalah salah satu tunggal putri terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Meski tak setenar Susy Susanti, prestasi Mia tetap membanggakan.
Dia pernah mencetak rekor sebagai anggota tim Piala Uber termuda sepanjang sejarah bulutangkis, yaitu 14 tahun. Mia mendapat julukan "Si Anak Ajaib" karena menjadi pemain penentu kemenangan Indonesia saat menjuarai Piala Uber 1994 dan 1996.
Prestasi Mia lainnya adalah medali perak Olimpiade 1996. Saat itu, wanita kelahiran Jakarta, 22 Agustus 1979 tersebut takluk dari pemain Korea Bang Soo-hyun, di final dengan skor 6-11 dan 7-11.
Di All England, Mia memang belum pernah merasakan gelar juara. Pencapaian terbaiknya adalah mencapai babak semifinal pada tahun 2000. Dia kalah dari Gong Zhichao dengan skor 6-11 dan 4-11.
Pada tahun 2004, dia juga mencapai babak semifinal, namun saat itu dia sudah berganti kewarganegaraan Belanda.
Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari
Pasangan Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari baru dua kali mengikuti ajang All England. Dalam tiga keikutsertaan mereka, ganda putri terbaik Indonesia saat ini tersebut selalu gagal mencetak prestasi.
Pencapaian terbaik Greysia/Nitya hanyalah menembus babak perempat final pada tahun 2015. Saat itu, langkah mereka terhenti di 8 besar setelah kalah 19-21, 21-13, dan 11-21 dari pasangan China, Tang Jinhua/Zhong Qianxin.
Sementara pada dua keikutsertaan lainnya, Greysia/Nitya bahkan tak mampu menembus babak kedua. Pada tahun lalu, mereka tak mampu menembus babak kedua. Greysia/Nitya kalah dari pasangan Jepang, Naoko Fukuman/Kurumi Yonao, dengan skor 18-21 dan 21-23.
Pada tahun ini, Greysia akan turun dengan pasangan yang berbeda. Dia akan berduet dengan Rizki Amelia Pradipta karena Nitya harus menjalani perawatan dalam rangka pemulihan cedera pascaoperasi.
Minarti Timur/Tri Kusharjanto
Sebelum era Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, Indonesia juga pernah memiliki ganda campuran hebat. Mereka adalah pasangan Tri Kusharjanto/Minarti Timur.
Pencapaian merekan memang tak sementereng Owi/Butet. Namun, Trikus/Minarti sudah cukup membanggakan nama bangsa dengan prestasi yang mereka capai.
Saat masih aktif bermain, pasangan ini pernah merasakan medali perak Olimpiade pada tahun 2000. Selain itu, mereka juga memenangi beberapa turnamen bergengsi seperti Indonesia Open dan gelar juara dunia.
Sayang, pasangan ini belum pernah merasakan gelar juara pada ajang All England. Pada tahun 1997, Trikus/Minarti memiliki kesempatan untuk itu dengan menembus partai final.
Pada partai puncak, Trikus/Minarti bertemu pasangan China, Liu Yong/Ge Fei. Mereka akhirnya menyerah dua gim langsung dari wakil Negeri Tirai Bambu itu dengan skor 10-15 dan 2-15.