Bola.com, Jakarta - Kompetisi kasta elite Tanah Air tengah dihebohkan dengan penggunaan istilah marquee player, istilah yang pengacu kepada pemain asing dengan reputasi kelas dunia dan bayaran wah dibanding rata-rata pesepak bola impor yang beredar di Indonesia. Kontrak mereka yang besar biasanya ditanggung pihak ketiga.
Michael Essien, eks bintang Chelsea, AC Milan, dan Real Madrid menjadi marquee player pertama yang mendarat jelang bergulirnya Liga 1 2017. Ia dikontrak oleh klub Persib Bandung.
Baca Juga
Selanjutnya datang bintang Nigeria yang pernah malang melintang di Premier League, Peter Osaze Odemwingie, yang didatangkan oleh Madura United.
Sebenarnya bukan musim ini saja Indonesia mendatangkan bintang-bintang sekelas marquee player. Sepanjang sejarah kompetisi profesional Indonesia, sederet pemain dengan reputasi mentereng sempat singgah di negara mereka.
Pada era breakaway league Liga Primer Indonesia (LPI) 2010-2011, istilah marquee player sempat mencuat. Pengusaha Arifin Panigoro membiayai kedatangan sejumlah pemain dengan reputasi mendunia guna menaikkan nilai komersial LPI, yang saat itu dianggap kompetisi ilegal oleh PSSI.
Jauh sebelum itu saat PSSI menggabungkan kompetisi Perserikatan dengan Galatama pada pertengahan 1990-an, juga mencuat sejumlah pemain nama beken yang sempat mencicipi perhelatan Piala Dunia.
Kedatangan mereka memang sengaja untuk menaikkan euforia publik sepak bola Tanah Air. Namun, saat itu PSSI tidak melabeli pemain-pemain itu dengan sebutan marquee player.
Bola.com mencatat sekurangnya ada delapan pesepak bola impor sekelas marquee player yang pernah meramaikan pentas kasta elite Indonesia. Bagaimana penampilan mereka?
Mario Kempes (Argentina)
1. Mario Kempes
Mario Kempes merupakan salah satu legenda bagi Timnas Argentina. Ia memperkuat tim berjulukan Tim Tango tersebut di tiga edisi Piala Dunia yakni 1974, 1978, dan 1982. Prestasi terbaik Kempes bersama timnas terjadi pada Piala Dunia 1978 di negara asalnya.
Ketika itu ia berhasil menjadi pencetak gol terbanyak, dengan raihan enam gol. Tak hanya itu, bomber kelahiran 15 Juli 1954 tersebut juga terpilih sebagai pemain terbaik di dalam ajang empat tahun ini. Argentina yang dibela Kempes menjadi Juara Dunia 1978.
Sempat memutuskan gantung sepatu pada tahun 1995 seusai membela klub Fernandez Vial, Kempes tergiur untuk mencoba peruntungan di Indonesia pada musim 1999.
Saat bergabung ke Pelita Jaya, Kempes diragukan bisa bersinar. Selain usianya sudah melewati masa emas, postur tubuh Kempes yang tambun tak mencerminkan dirinya sebagai pesepak bola profesional.
Nyatanya, legenda hidup River Plate itu tetap tajam. Di Liga Indonesia 1999 ia mencetak 10 gol dari 15 laga. Sayangnya ia hanya semusim di Indonesia. Selepas membela Pelita sang pemain memutuskan benar-benar pensiun dari gemerlap sepak bola.
Roger Milla (Kamerun)
2. Roger Milla
Roger Milla tampil fenomenal di Piala Dunia 1990. Di usia yang tidak lagi muda (kala itu 38 tahun), ia mengantar Kamerun menembus fase perempat final turnamen paling elite sejagat.
Kamerun mencetak sejarah sebagai negara Afrika pertama yang menembus babak tersebut. Tim Singa Afrika tersingkir dengan kekalahan skor tipis 2-3 dari tim Inggris.
Pada gelaran Piala Dunia 1990, Roger Milla mengoleksi empat gol. Ia hanya tertinggal dua gol dari Salvatore Schillaci, yang jadi top scorer turnamen. Empat tahun berselang penyerang kelahiran Yaounde, 20 Mei 1952, tampil kembali membela negaranya. Ia mencetak sebiji gol sekaligus mencatatkan diri sebagai pemain tertua yang mencatatkan nama di papan skor ajang Piala Dunia.
Publik sepak bola nasional dibuat heboh kala Pelita Jaya merekrutnya di Liga Indonesia edisi pertama 1994-1995. Ia diboyong bos Pelita, Nirwan Dermawan Bakrie, dari klub Tonnere Kamerun, dengan kontrak yang kabarnya menembus angka Rp 500 juta.
Di usia yang sudah amat tua untuk ukuran pesepak bola profesional, Milla masih terlihat kompetitif di level persaingan Liga Indonesia. Saat memperkuat Pelita, pemain yang dikenal dengan aksi selebrasi goyang pinggul itu tampil di 23 laga dengan koleksi 13 gol.
Karena Pelita gagal juara kontraknya tak diperpanjang. Milla kemudian digaet Putra Samarinda. Bermain di 12 laga, Milla masih terlihat produktif dengan catatan koleksi 18 gol. Indonesia jadi pelabuhan terakhir karier Milla dan ia memutuskan gantung sepatu pada 1996.
Maboang Kessack (Kamerun)
3. Emmanuel Maboang Kessack
Emmanuel Maboang Kessack merupakan kompetriot setim Roger Milla di Piala Dunia 1990 dan 1994. Atas bujukan Milla, Maboang yang berposisi sebagai gelandang tengah tersebut menerima pinangan pada Liga Indonesia musim 1997.
Pada musim perdanannya bersama klub milik pengusaha gila bola Nirwan Dermawan Bakrie tersebut Kessack mencetak 12 gol dari 24 penampilan.
Apesnya saat tengah on-fire kompetisi Liga Indonesia dihentikan karena kondisi politik Indonesia sedang tidak stabil karena kerusuhan Mei 1998.
Pemain kelahiran 27 November 1968 itu kemudian mudik ke negaranya. Emmanuel Maboang Kessack sempat kembali ke Indonesia, di pertengahan 2000-an. Bukan lagi sebagai pesepak bola karena ia datang dengan profesi agen pemain, yang memasok pesepak bola asal Afrika ke banyak klub.
Jules Onana (Kamerun)
4. Jules Denis Onana
Jules Denis Onana adalah rekan seangkatan Roger Milla dan Emmanuel Maboang Kessack. Ketiganya bahu-membahu memperkuat Kamerun di Piala Dunia Italia 1990.
Onana yang bermain sebagai stoper bermain di tiga laga Piala Dunia. Kamerun menjadi tim underdog yang menghebohkan dunia dengan lolos ke perempat final, sebelum akhirnya dikalahkan tim kuat Inggris 2-3.
Sebelum datang ke Indonesia, Onana sempat bermain di Prancis dengan memperkuat klub Blagnac FC pada musim 1996-1997. Pada tahun 1998 ia digaet Persma Manado dan sempat bermain selama tiga musim.
Berbeda dibanding Milla dan Kessack, yang kariernya terhitung pendek di Indonesia, kiprah Onana terhitung panjang. Pesepak bola kelahiran Yaounde, 12 Juni 1964, sempat bermain di Pelita Solo (2001) dan Pelita Krakatau Steel (2002).
Ia kemudian memutuskan gantung sepatu dan banting setir jadi agen pemain asing. Profesi yang satu ini ia tekuni hingga saat ini. Banyak pemain berkelas asal Afrika ia datangkan ke Indonesia.
Saking cintanya pada sepak bola Indonesia, Jules Denis Onana, mendirikan akademi sepak bola. Ia bahkan sempat masuk staf kepelatihan SSI Arsenal.
Onana tercatat 56 kali membela Timnas Kamerun dan hal itu menegaskan kalau kualitas permainannya tidak dipandang remeh.
Lee Hendrie (Inggris)
5. Lee Hendrie
Pemain kelahiran 18 Mei 1977 tersebut merupakan salah satu gelandang yang digadang-gadang menjadi bintang besar di timnas Inggris pada era awal tahun 2000-an. Namun, entah kenapa karier Lee Hendrie macet saat memasuki level senior. Berbanding terbalik dengan rekan seangkatannya sepertib David Beckham atau Paul Scholes.
Semenjak didepak Aston Villa pada musim 2006-2007, Hendrie berpindah-pindah klub dengan level permainan yang menurun. Kegemarannya berjudi dan menikmati dunia malam disebut jadi salah satu penyebab hancurnya karier sang pemain.
Pada tahun 2011 ia bergabung dengan klub Liga Primer Indonesia, Bandung FC. LPI merupakan liga saingan kompetisi resmi PSSI, Indonesia Super League, yang didanai oleh pengusaha Arifin Panigoro. Keputusan Hendrie menerima pinangan Bandung FC kabarnya karena terpaksa. Saat itu ia sedang bangkrut dan tak memiliki klub.
Saat membela Bandung FC Lee Hendrie berhasil mencetak tiga gol, dari 16 pertandingan yang dilakoninya. Namun, di klub tersebut Hendrie tidak bertahan lama, karena kompetisi LPI akhirnya bubar setelah tumbangnya rezim kepengurusan Nurdin Halid di PSSI.
Dalam sesi wawancara dengan media Inggris, Lee Hendrie buka kartu kalau keputusannya merumput di Indonesia merupakan kesalahan terbesar. Sempat melakukan upaya bunuh diri, Hendrie akhirnya memutuskan pensiun setelah berkiprah di klub amatir Basford United pada 2014.
Pierre Njanka (Kamerun)
6. Pierre Njanka
Pierre Djanka Njanka-Beyaka merupakan pemain Kamerun di Piala Dunia 1998 dan 2002. Pada debutnya di event akbar tersebut ia bahkan menyumbang gol Kamerun ke gawang Austria, padahal posisi bermainnya sebagai bek tengah.
Pierre Njanka sempat malang melintang di sejumlah klub Eropa, layaknya: RC Strasbourg (Austria), CS Sedan Ardennes (Prancis), Neuchatel Xamax (Swiss).
Ia mendarat di Indonesia pada musim 2008–2009 dan membela Persija Jakarta. Pada musim perdanannya ia jadi salah satu pemain andalan di sektor belakang Macan Kemayoran. Pada musim selanjutnya ia memutuskan hengkang ke Arema Indonesia. Di klub tersebut ia mempersembahkan gelar juara Indonesia Super League 2009-2010.
Namun, kesuksesan tersebut tak lantas membuat bek jangkung kelahiran 15 Maret 1975 tersebut bertahan lebih lama di Malang. Karena merasa hak-haknya sering diabaikan manajemen Singo Edan ia memilih pergi ke klub kontestan breakaway league LPI, Atjeh United.
Begitu kompetisi tersebut bubar, Njanka pun pindah ke Mitra Kukar selama semusim. Selanjutnya ia berkiprah di klub asal Kalimantan Timur lainnya, Persisam Putra Samarinda. Di klub tersebut ia memutuskan gantung sepatu.
Eric Djemba-Djemba (Kamerun)
7. Eric Djemba-Djemba
Pemain asal Kamerun yang satu ini menarik perhatian penikmat sepak bola dunia saat bergabung ke Manchester United pada musim panas 2003. The Red Devils saat itu harus mengeluarkan dana 3,5 juta poundsterling kepada Nantes agar bersedia melepas pemain kelahiran 4 Mei 1981 tersebut.
Namun harapan tinggal harapan. Datang dengan ekspektasi besar sebagai suksesor Roy Keane yang saat itu semakin menua, Eric Djemba-Djemba hanya bertahan dua tahun. Ia cuma bermain dalam 20 pertandingan tanpa mencetak gol, sebelum dijual ke Aston Villa pada Januari 2005.
Setelah dari Aston Villa, karir Djemba-Djemba terus menurun. Sempat dipinjamkan Aston Villa ke Burnley pada 2007, Djemba-Djemba dilepas Villa dan ia mencoba peruntungan di liga Qatar bersama Qatar SC selama semusim.
Meskipun hanya satu musim di Qatar, Djemba-Djemba mampu menghidupkan kembali karirnya sebelum menandatangani kontrak tiga tahun bersama klub Denmark, Odense BK.
Setelah di Denmark selama empat tahun, dia bergabung dengan klub Israel, Hapoel Tel Aviv dan bermain 28 kali sebelum karirnya kembali menurun dengan bermain di tim yang tak terkenal seperti FK Partizan dan St Mirren.
Pada Oktober 2014, Djemba-Djemba bergabung dengan klub Indian Super League, Chennaiyin FC dan lima bulan kemudian terbang ke Indonesia untuk bergabung dengan Persebaya Surabaya versi ISL (kini bernama Bhayangkara FC).
Hanya saja, belum sempat menunjukkan aksinya di klub tersebut, kompetisi kasta tertinggi Indonesia musim 2015 dibekukan oleh Menpora, Imam Nahrawi. Sang menteri terlibat konflik panas dengan PSSI pimpinan La Nyalla Mattalitti.
Eric Djemba-Djemba kemudian sempat bermain di klub amatir Persipa Padalarang pada awal tahun 2016 untuk menyambung hidup.
Ivan Bosnjak (Kroasia)
8. Ivan Bosnjak
Ivan Bosnjak, striker kelahiran 6 Februari 1979, tampil membela Timnas Kroasia di Piala Dunia 2006 Jerman, berstatus pemain pelapis.
Ia pelanggan timnas negaranya sejak usia 14 tahun. Catatan prestasi Ivan Bosnjak adalah pernah menjadi Pemain Terbaik Liga Kroasia pada tahun 2000 (Cibalia). Ia juga mencatatkan diri sebagai top scorer Liga Kroasia 2006 saat berkostum Dinamo Zagreb dengan koleksi 22 gol.
Ia digaet Persija Jakarta pada musim 2014, sebagai pengganti bomber asal Kamerun, Emmanuel Kenmogne, yang hengkang ke Persebaya Surabaya.
Sayangnya, striker yang dikenal jago dalam duel-duel bola udara ini gagal beradaptasi dengan gaya bermain sepak bola Indonesia. Karena mandul gol, pelatih Persija saat itu, Benny Dollo, menjadikan Bosnjak sebagai pemain cadangan.
Selama semusim di Indonesia Super League 2014, ia hanya menyumbang empat gol saja. Persija menyudahi kompetisi dengan kegagalan lolos ke babak 8 besar. Tanpa ampun, Ivan Bosnjak langsung diputus kontrak oleh Ketua Umum Persija, Ferry Paulus.