Bola.com, Jakarta - Menjadi atlet di Indonesia tak selalu menjadi menjamin hidup nyaman dan berkecukupan di usia senja. Seiring dengan kepudaran popularitas dan bertambahnya usia, tak jarang sang atlet tersebut kemudian terlupakan. Itulah dirasakan Tati Sumirah, pahlawan bulutangkis yang ikut menyumbang Piala Uber pertama untuk Indonesia pada 1975.
Baca Juga
Masih segar dalam ingatan Tati Sumirah suasana gegap gempita di Istora Senayan penuh dengan penonton yang mendukung dirinya dan kawan-kawan. Indonesia selangkah lagi mencetak sejarah di Piala Uber.
Pada partai final, tim Indonesia meladeni Jepang dengan menurunkan Minarni, Utami Dewi, Imelda Wiguna, Theresia Widiastuti, Regina Masli, dan Tati Sumirah. Tati turun pada nomor tunggal putri.
"Saya sebenarnya orangnya pemalu. Akan tetapi, ketika itu dukungan penonton berupa teriakan dan tepuk tangan membuat saya semakin bersemangat. Saya bermain seperti kesetanan," kata Tati ketika menerima kunjungan Bola.com di kediamannya di daerah Waru Doyong, Buaran, Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Dukungan all out penonton penonton Indonesia terbukti tak sia-sia. Tati Sumirah yang turun sebagai tunggal kedua berhasil mengalahkan tunggal ketiga Jepang, Atsuko Tokuda. Atsuko tak mampu mengimbangi permainan agresif Tati, sekaligus terintimidasi oleh berisiknya penonton di Istora. Tati Sumirah menang 11-5, 11-2. Dia berhasil menyamakan kedudukan setelah Indonesia tertinggal karena kekalahan Theresia Widiastuti kalah dari Hiroe Yuki.
Malam itu Indonesia akhirnya berhasil mengalahkan Jepang dengan skor 5-2 sekaligus merengkuh Piala Uber untuk kali pertama sepanjang sejarah.
"Setelah dipastikan menang, saya sendiri masih tidak percaya. Bengong dan rasanya seperti mimpi. Akhirnya saya dipeluk dan diarak keliling lapangan di Istora," kenang Tati yang lahir di Jakarta pada 9 Februari, 65 tahun silam itu.
Berkat prestasi prestisius tersebut, Tati mendapatkan hadiah uang senilai satu juta rupiah. Jumlah yang cukup besar untuk seorang dara berusia 23 tahun pada tahun itu.
Uang tersebut digunakan Tati untuk membeli sepeda motor, barang yang pada masa itu sangat bergengsi di kalangan atlet pelanas. Sisa uangnya kemudian diberikan Tati kepada orangtua untuk digunakan keperluan sehari-hari.
"Dikasih uang dari Encang Harto (Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto) satu juta rupiah. Waktu itu uangnya saya belikan Vespa baru, yang lama saya jual dan beli jenis yang lebih bagus," kenang Tati.
"Soalnya waktu itu hanya atlet bulutangkis yang gaya hidupnya lebih terpandang dibanding atlet lain. Apalagi motor Vespa pada zaman itu gengsinya lumayan," tambahnya.
Juara Piala Uber 1975 merupakan klimaks karier Tati Sumirah di bulutangkis. Sebelumnya, Tati sudah mencicipi prestasi menjadi runner up pada Piala Uber 1972, peringkat 2 Kejuaraan Invitasi Dunia di Jakarta pada 1974, dan mempersembahkan medali perak beregu putri pada Asian Games 1974 di Teheran, Iran.
Kecintaan yang Tak Disengaja
Melihat koleksi medali yang diraih Tati Sumirah, siapa menyangka kariernya justru berawal dari ketidaksengajaan. Tati bercerita perkenalannya dengan bulutangkis terjadi ketika masih berusia belia.
Ketika itu, Tati yang bermukim di kawasan Rawamangun sedang menemani ayahnya bersantai di rumah. Tati yang ingin membunuh rasa bosan kemudian mengambil sebuah majalah. Sorot mata Tati mendadak menangkap sebuah foto raket bulutangkis.
Melihat reaksi Tati tersebut, sang ayah MS Soetrisno, lalu membelikan raket bulutangkis. Sejak mendapatkan raket tersebut, Tati langsung rutin berlatih.
"Bapak bilang, 'kamu mau?', saya jawab saja iya dan akhirnya dibelikan raket sama bapak. Beliau senang melihat anaknya antusias pada olahraga karena bapak juga seorang atlet tinju," ungkapnya.
Mulai dari sanalah kecintaan Tati pada bulutangkis muncul. Sebuah rasa cinta yang didukung penuh kedua orang tuanya, terutama sang ayah.
Berlatar belakang olahraga tinju, Soetrisno punya andil besar dalam membangun karakter dan mental atlet dalam diri Tati. Setiap sore, ayahnya selalu menemani Tati latihan fisik demi mendongkrak penampilannya di lapangan.
"Bapak itu tegas kalau melatih saya. Beliau bilang, kalau mau jadi atlet jangan setengah-setengah harus fokus. Itu yang membuat saya harus mengambil keputusan untuk meninggalkan bangku sekolah pada kelas 3 SMP dan sepenuhnya jadi atlet," ucapnya.
"Bapak juga punya peran penting dalam kesuksesan saya di bulutangkis. Dia setia menemani saya latihan fisik terutama lari, jadi dia naik sepeda dan membututi saya dari belakang," imbuh Tati.
Usaha dan dukungan yang diberikan kepada ayahnya, langsung dibayar sempurna. Tati merengkuh sejumlah gelar juara. Rasa terima kasih yang sampai saat ini masih terus diucapkan Tati untuk sang ayah yang tutup usia pada awal 1990-an.
Terlupakan di Usia Senja
Setelah meraih sejumlah kesuksesan di bulutangkis, Tati Sumirah kemudian memantapkan diri gantung raket pada awal 1980-an. Seleksi alam karena munculnya generasi dan bakat baru bulutangkis yang muda dari segi usia membuat Tati sadar diri.
Namun, sebelum memutuskan gantung raket Tati sudah memiliki pegangan pekerjaan. Bahkan dua tahun sebelum pensiun, Tati sudah memiliki penghasilan tetap.
Penghasilan tersebut diberikan pemilik apotek yang sangat mencintai dunia bulutangkis. Tati ketika itu diberi upah setara karyawan apotek lainnya. Baru setelah benar-benar pensiun, Tati kemudian bekerja di apotek Ratu Mustika di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
"Pemilik apotek itu sangat gila bulutangkis dan membiarkan saya memakan gaji buta selama dua tahun. Jadi, setelah pensiun saya langsung bekerja di tempat dia," kenang Tati.
Tak hanya menjadi karyawan apotek, Tati juga sempat menjadi pelatih bulutangkis di daerah Kelapa Gading. Pekerjaan itu dilakoninya semata-mata karena kecintaannya kepada bulutangkis.
"Selain jadi pegawai apotek, saya sempat melatih. Namun, hanya beberapa bulan karena sudah tak ada anak-anak yang gemar bulutangkis. Mereka beralih ke renang dan tenis," ucap Tati yang hingga saat ini masih hidup melajang.
Jarak yang jauh antara rumah dan tempat kerjanya membuat Tati harus mengendarai sepeda motor. Namun, kebiasaan itu tak berlangsung lama karena Tati sempat mengalami kecelakaan yang membuat lutut kakinya patah.
Permasalahan jarak yang cukup jauh membuat Tati akhirnya mengambil keputusan untuk berhenti bekerja. Sejak menjadi pengangguran, hidup Tati kemudian bertambah susah. Berbekal pendidikan SMP yang tak tamat, membuat Tati memilih menghabiskan waktu di rumah.
Sejak saat itu, kehidupan Tati tak pernah lagi tersentuh perhatian. Jangankan mengharap santunan, pemerintah dan media yang dahulu mengelu-elukan nama Tati mulai melupakan sosok pahlawan bangsa ini.
Baru pada 2010 nama Tati kembali terendus setelah diundang dan mendapatkan penghargaan dari salah satu stasiun televisi swasta. Kondisi Tati kemudian terangkat setelah mendapatkan pekerjaan sebagai buruh pabrik yang diberikan legenda bulutangkis Indonesia, Rudy Hartono.
"Saya mulai dikenal lagi ketika diundang ke televisi. Setelah itu, Rudy memberikan saya pekerjaan hingga akhirnya pensiun pada 2016," ucap Tati.
Berharap Jaminan Hari Tua
Setelah pensiun, hari-hari Tati Sumirah kini diisi dengan merawat ibunya yang sedang sakit. Tinggal di sebuah rumah yang berada di gang selebar 1,5 meter, Tati kini menikmati masa-masa tuanya dengan sederhana.
Bulutangkis sudah tak menjadi prioritasnya. Bahkan, Tati mengaku sudah lupa kapan terakhir dia menonton pertandingan bulutangkis via layar kaca.
Jika bisa memutar waktu, Tati mengaku sedikit menyimpan penyesalan dalam hidupnya. Namun, dia bangga karena telah memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara meski kini terlupakan.
"Ada sedikit penyesalan sih. Cuma ya mau bagaimana lagi? Saya juga terlalu berfoya-foya ketika muda sehingga tidak sempat menyisihkan uang untuk tabungan di hari tua," sesal Tati.
"Meski begitu, saya merasa bangga pernah memberikan prestasi untuk bangsa Indonesia. Orang-orang boleh lupa siapa saya, bahkan tetangga pun tak tahu saya mantan atlet bulutangkis, tetapi sejarah bangsa ini sudah mencatat nama saya kok," tambahnya.
Tati Sumirah menjadi satu dari banyak mantan atlet Indonesia yang kini hidup merana dan terlupakan. Keinginan mereka semua sebenarnya hanya satu yakni jaminan akan masa depan. Hal yang sampai saat ini belum terealisasi.
Sedikit ada rasa iri terbit dalam dirinya ketika membandingkan kondisi dirinya dan atlet sekarang yang lebih mendapat perhatian dari pemerintah. Tati pun masih menaruh harapan agar dia dan para mantan atlet mendapatkan perhatian berupa tunjangan pensiun.
"Atlet sekarang sih sudah enak, mereka pasti aman untuk masa depan. Kalau saya dan yang lainnya? Semoga lewat pemerintah yang sekarang bisa menaruh perhatian untuk kami, para mantan atlet, jangan dilupakan begitu saja," ketus Tati.
Melihat dari semua perjalanan hidup Tati Sumirah, semangat yang diusung R.A Kartini sebenarnya sudah ada dalam diri wanita Indonesia. Semangat dengan mental baja untuk berjuang membela bangsa dan menjalani kerasnya kehidupan sebagai seorang perempuan.
Di bulutangkis, Tati Sumirah adalah pahlawan nyata yang membela Merah Putih tanpa pamrih. Baginya, uang itu nomor kesekian setelah prestasi. Adapun untuk kehidupan sehari-hari, Tati tak pernah menyerah meski pada akhirnya kini hidup seadanya. Jadi, bukan sesuatu yang berlebihan jika menyebut Tati Sumirah adalah salah satu sosok yang menggambarkan semangat R.A Kartini di bulutangkis Indonesia.
"Orang-orang boleh lupa siapa saya, tetapi sejarah bangsa ini sudah mencatat nama saya kok," -Tati Sumirah