Bola.com, Jakarta - Kegagalan tim bulutangkis Indonesia pada ajang dunia beregu campuran Piala Sudirman 2017 mengundang banyak evaluasi, salah satunya menyangkut posisi Ketua Umum PBSI Wiranto. Masih layakkah Wiranto menjadi ketua umum organisasi yang mengurusi cabang olahraga kebanggaan kita itu?
Baca Juga
Keraguan itu menyangkut posisi Wiranto yang menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Apalagi dengan kondisi polhukam di dalam negeri yang memanas, pastilah ia mendahulukan membantu Presiden daripada harus mengurusi bulutangkis.
Memang Wiranto bisa mendelegasikan kepada pembantunya di PBSI, misalnya soal prestasi kepada Kepala Bidang Pembinaan Prestasi Susy Susanti. Namun, dalam organisasi modern yang berada dalam lingkaran persaingan ketat, pendelegasian sudah tidak model lagi. Sang ketua harus full time, tidak lagi bekerja sambilan. Profesionalitas tinggi dituntut di sini.
Untuk evaluasi saja Menpora Imam Nahrawi masih "ewuh pakewuh" memanggil Wiranto yang notabene koordinator kementerian. Menjadi aneh, yang diminta oleh Kemenpora hadir dalam evaluasi justru cukup Susy Susanti, bukan Wiranto. Padahal kegagalan yang hendak dievaluasi adalah kejuaraan tingkat dunia.
Kalau hanya Susy yang hadir, pastilah hasil evaluasi tidak menjadi tuntas, hanya berupa laporan di lapangan oleh Susy yang kebetulan juga ketua kontingen. Hasilnya bakal tidak sesuai harapan untuk menjadi bahan kemajuan ke depan.
Bagaimana bisa seperti ini?
Didahului memang oleh proses pemilihan dan didasari oleh keinginan kuat insan bulutangkis yang tergabung dalam pengurus provinsi yang hanya ingin dipimpin oleh ketua yang memiliki waktu penuh untuk bulutangkis. Pemilihan jangan hanya didasari oleh jabatan seseorang.
Dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional tahun 2005 memang tidak disebutkan pelarangan pejabat publik memimpin organisasi olahraga. Hanya pelarangan pada Ketua Komite Olahraga Nasional (KONI) Pusat dan Daerah. Walau untuk KONI Pengprov masih ada pemimpin daerah yang menjadi ketuanya. Walau juga soal ini pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi namun keputusannya dikembalikan kepada insan olahraga itu sendiri.
Jabatan seseorang mungkin masih bisa tidak terpengaruh jika bidang yang dibawahi masih searah. Misalnya bulutangkis dipegang Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Transmigrasi, karena organisasi mempunyai tujuan agar bulutangkis juga masuk ke desa-desa. Tapi kalau Menko Polhukam, apa yang mau diamankan dan dipolitikkan dalam bulutangkis?
Harus Menyediakan Waktu
Lepas dari itu, sebaiknya kepemimpinan dipegang oleh tokoh yang memiliki waktu banyak untuk bulutangkis. Hal itu sudah menjadi tuntutan era sekarang yang menempatkan olahraga menjadi industri internasional. Sangat sulit untuk ditawar-tawar lagi, kecuali kalau memang kita tidak menghendaki masa depan lebih baik lagi untuk prestasi bulutangkis nasional.
Di masa Wiranto, kegagalan demi kegagalan dialami. Meski belum berumur setahun tapi belum ada prestasi menggembirakan. Target dua emas di All-England, hanya satu emas diperoleh. Untuk Piala Sudirman, inilah prestasi terburuk sejak kejuaraan diikuti oleh Indonesia.
Selama kepemimpinannya, Wiranto juga belum pernah menyediakan waktu untuk membicarakan jalan keluar persoalan bulutangkis kita, setidaknya seperti dilaporkan oleh media. Sementara itu, Susy yang ditunjuk di bidang pembinaan prestasi perlu belajar lagi untuk menerima sekaligus mencari jalan keluar keterpurukan ini. Meski ia adalah mantan juara dunia dan Olimpiade, belum menjamin mampu melahirkan bintang penggantinya di lapangan. Memerlukan jam terbang dulu sebagai pelatih.
Kita jangan sampai menunggu kehancuran lebih parah lagi. Di depan masih banyak kejuaraan yang harus diincar oleh Indonesia. Ada Piala Thomas dan Piala Uber, ada pula Asian Games. Walau tingkat Asia, tapi negara peserta Asian Games adalah kekuatan inti dunia, apalagi pada 2018 diselenggarakan di Tanah Air.
Piala Thomas sudah direbut oleh Jepang dan Denmark. Piala Sudirman lalu sudah diraih lagi oleh Korea Selatan untuk ketiga kalinya. Indonesia kapan lagi mendulang prestasi emas di kejuaraan dunia beregu itu, termasuk pula Piala Uber?
Kita juga jangan sampai menunggu kehancuran prestasi cabang lain yang ketuanya dijabat oleh tokoh-tokoh super sibuk di jabatannya. Cabang sepakbola (PSSI) berada di dalamnya juga.
Dipimpin oleh Pangkostrad Edy Rahmayadi, prestasi sepak bola tinggal menunggu waktu semakin menukik. Kita lihat saja ajang yang sedang berlangsung, Liga 1 Gojek Traveloka, belum melahirkan permainan klub dan pemain lokal berkualitas tinggi. Mereka merata di bawah standar, jangankan Asia level Asia Tenggara masih bisa diperdebatkan.
Efeknya adalah jika mereka ditarik ke tim nasional. Memang belum terbukti dengan prestasi karena sejak kepengurusan era Edy, tim nasional belum pernah mengikuti kejuaraan resmi. Namun bisa dilihat, timnas yang diarsiteki oleh Luis Milla, sejauh ini belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Bagai Bom Waktu
Wiranto dan Rahmayadi serta ketua umum cabang berjenis seperti mereka bagai bom waktu yang dipasang oleh para pemilih, yang telah menempatkan mereka sebagai ketua umum. Bom ini bisa meledak sewaktu-waktu dan menurunkan prestasi olahraga Indonesia pada umumnya.
Sebenarnya bisa saja pihak Menpora mengambil alih pengawasan yang lebih ketat, tapi lagi-lagi melihat ketua umumnya lebih tinggi jabatannya di pemerintahan, si Menteri jadi kikuk dan hanya bisa berkonsultasi dengan kepala bidang.
Beruntung pula ada Satlak Prima yang berada di bawah Kemenpora, dari ketuanya (Achmad Soetjipto/pensiunan KSAL) dan jajarannya bekerja penuh waktu. Tapi lagi-lagi, karena ketua cabangnya super sibuk, evaluasi dan monitoring pun bisa menjadi kurang tuntas.
Jalan keluar yang bisa dilakukan sesegera mungkin adalah mengangkat ketua harian yang fulltime dan full wewenang. Pihak Kemenpora bisa menginstruksikan kebijakan ini. Tujuannya agar organisasi dan prestasi terawasi dengan ketat. Bukan hanya kepada sekretaris jendral untuk penuh waktu tapi juga ketua harian yang mampu membawahi bidang-bidang dalam struktur organisasi.
Untuk selanjutnya, Kemenpora bisa mengeluarkan keputusan untuk tidak lagi menempatkan pejabat publik sebagai ketua umum organisasi cabang olahraga, tingkat nasional maupun daerah. Saat ini sudah banyak non-pejabat publik yang mampu menjadi ketua umum suatu cabang. Mereka belum saja diberikan kesempatan lebar-lebar bahwa olahraga bisa menjadi ladang industri dengan mengelolanya secara profesional tinggi.
Sangat tertinggal jauh kita kalau cabang-cabang populer yang di luar negeri sudah menjadi ladang industri internasional, di dalam negeri masih saja dikelola secara amatiran. Para pemilik suara masih saja menempatkan pejabat publik yang tidak memilik waktu banyak mengurusi organisasi menjadi ketua umumnya.
Kalau sudah begini, kita diingatkan lagi, kapan mau revolusi mental?
Lilianto Apriadi
* Penulis adalah jurnalis senior dan pengajar ilmu komunikasi.