Curhat Pelatih Sriwijaya FC dan Mitra Kukar soal Tren Pemecatan

oleh Riskha Prasetya diperbarui 07 Jun 2017, 09:30 WIB
Oswaldo Lessa, pekerjaan melatih di Indonesia amat berat. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Bola.com, Palembang - Pelatih Sriwijaya FC, Oswaldo Lessa, dan nakhoda Mitra Kukar, Jafri Sastra, buka suara soal tren pemecatan pelatih di kompetisi Liga 1 2017 yang belakangan menghangat. Mereka menganggap pekerjaan menjadi pelatih di Indonesia berisiko tinggi. 

Oswaldo Lessa mengaku dirinya sudah mempersiapkan diri terhadap semua kemungkinan yang akan dihadapinya usai laga melawan Mitra Kukar, Rabu (7/6/2017) di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang. Di laga ini posisi Lessa sebagai pelatih kepala Laskar Wong Kito dipertaruhkan. Hanya kemenangan yang akan mampu menyelamatkan arsitek asal Brasil ini.

Advertisement

“Memang benar saya sudah dipanggil oleh manajemen dan menjelaskan situasi yang harus saya hadapi ke depannya. Mereka mengatakan bahwa saya hanya punya satu kesempatan terakhir saat melawan Mitra Kukar untuk memperbaiki tim. Jika tidak menang, maka bisa dipastikan manajemen Sriwijaya FC akan mencari pelatih baru nantinya,” ungkapnya.

Hal ini sendiri dianggap wajar oleh Lessa. Manajemen SFC punya pertanggungjawaban moral memperbaiki tim agar bisa tetap bersaing di perburuan juara Liga 1 2017.

 

“Di Brasil hal seperti ini biasa, dan menurut saya memang lebih gampang mengganti seorang orang pelatih ketimbang 11 pemain. Tidak cuma di Brasil, tapi di seluruh dunia juga terjadi,” ujar arsitek yang sebelumnya didepak Persipura Jayapura pasca turnamen Bhayangkara Cup 2016 lalu.

 

Lessa sadar betul saat memutuskan menggeluti karier sebagai pelatih sepak bola, dirinya sudah mengetahui bahwa hal seperti ini bisa saja terjadi kepada dirinya.

“Saya tidak mungkin tidak siap, karena hal seperti ini bisa terjadi kapanpun dan inilah hidup. Karena itu saya selalu berpesan kepada seluruh pemain agar tidak terlena setelah meraih satu kemenangan saja. Soal tekanan tentu tidak juga bisa dihadapi hanya omongan, harus dijawab di lapangan, saya masih ingin melatih di Sriwijaya FC, karena itu tim ini mesti menang,” ujar Oswaldo Lessa.

2 dari 2 halaman

Simpati ala Jafri Sastra

Jafri Sastra, pelatih di Indonesia selalu dibayangi pemecatan. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Jafri Sastra, mengaku bersimpati dengan apa yang dialami rekan sejawatnya. “Saat tiba di Palembang, saya sempat merenungi hal ini. Bukan karena pelatih Sriwijaya FC tengah terancam, namun banyak rekan seprofesi saya yang juga mengalami hal sama. Musim lalu saya pun sudah pernah di posisi seperti mereka,” ungkap Jafri yang sepanjang karier profesionalnya merasakan dua kali dipecat oleh Semen Padang serta Persipura.

Menurut Jafri kondisi seperti ini tidak memberikan pengaruh positif bagi sepakbola di tanah air. “Tren pemecatan belakangan ini jadi pemikiran saya, karena jika acuannya adalah sepak bola Eropa yang lebih baik, maka apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini, terutama bagi pelatihnya bukanlah faktor positif,” papar arsitek asal Payakumbuh, Sumatera Barat itu.

Jafri memberikan contoh bagaimana pelatih di daratan Eropa biasanya mendapatkan kontrak panjang hingg 3-4 tahun.

“Karena itu saya senang saat Indra Sjafri mendapat kontrak panjang selama lima tahun dari Bali United. Ia punya cukup waktu untuk membangun tim. Ketika kemudian ia diberi mandat melatih Timnas Indonesia U-19, klub yang ditinggalkannya tidak terlalu goyang. Widodo Cahyono Putro yang kini jadi pelatih Bali United pencapaiannya di Liga 1 2017 cukup lumayan,” ungkap Jafri.

Walau pelatih yang sukses mengantarkan Mitra Kukar juara Bhayangkara Cup 2016 juga tak bisa menutup mata, sebelum Widodo melatih Bali United, klub tersebut memecat Hans peter Schaller setelah klub melempem di dua laga awal kompetisi. Artinya tekanan jadi pelatih klub di Indonesia amat tinggi.

Menurut Jafri Sastra ada beberapa penyebab yang membuat klub bertindak tangan besi ke para pelatih.

“Ada kecemasan dari manajemen atau para pendukung, namun seharusnya kebijakan tidak popular seperti itu tidak terjadi. Di Eropa, Pep Guardiola atau sekelas Jose Mourinho pun sama, mendapat dukungan dan kepercayaan terlebih dulu. Tekanan pasti ada dan tidak ada jaminan di musim ini kita juara, maka ke depan tidak ada kesulitan, tetapi jika semua kondisi diperlakukan sama, maka rasanya kurang bijak. Ada baiknya kita belajar hal positif dari sepak bola belahan dunia seperti Eropa.”